Nama : JAFARUDIN
Stambuk : A1D1 11 066
Tugas : Sejarah Sastra
Angkatan
Balai Pustaka
Angkatan
Balai Pusataka merupakan karya sastra di Indonesia yang terbit sejak tahun
1920, yang dikeluarkan oleh penerbit Balai pustaka. Prosa (roman, novel, cerita
pendek dan drama) dan Puisi mulai menggantikan kedudukan syair, pantun,
gurindam dan hikayat dalam khazanah sastra di Indonesia pada masa ini. Roman
merupakan suatu cerita fiktif yang mengisahkan kehidupan orang dari masa kecil
hingga meninggal dunia. Unsur-unsurnya di mulai dari eksposisi, komplikasi, klimaks,
antiklimaks, dan konklusi. Novel sebenarnya tidak jauh berbeda dengan roman,
novel itu prosa fiktif yang menceritakan kejadian yang luar biasa pada
pelakunya sehingga terjadi konflik dan pada akhirnya ada perubahan nasib.
Sedangkan cerpen hanya menceritakan peristiwa atau kejadian sesaat yang di
anggap penting. Berikut ini saya lampirkan penulis dan karya sastra angkatan
1920.
Angkatan ini juga disebut angkatan dua
puluh. Tokohnya antara lain: Marah Rusli [Siti Nurbaya-novel-1922, La
Hami-novel-1952, Anak dan Kemanakan-novel-1956, Memang Jodoh-otobiografi, Gadis
yang Malang-terjemahan-1922], Merari Siregar [Azab dan Sengsara-novel-1920, Cerita
Si Jamin dan Si Johan-saduran-1918], Nur Sutan Iskandar [Apa Dayaku karena Aku
Perempuan-novel-1922, Cinta yang Membawa Maut-novel-1926], Aman Datuk Madjoindo [Si
Cebol Rindukan Bulan-novel-1932, Menembus Dosa-novel-1932], I Gusti Nyoman Panji Tisna [Ni
Rawit Ceti Penjual Orang-novel-1935, Sukreni Gadis Bali-novel-1935], Suman Hs [Kasih tak
Terelai-novel-1929, Percobaan Setia-novel-1931], Abdul Muis [Salah
Asuhan-novel-1928, Pertemuan Jodoh-novel-1933], Tulis Sutan Sati [Sengsara
Membawa Nikmat-novel-1928, Memutuskan Pertalian-novel-1932].
Biografi
Tokoh-tokoh Angkatan Balai Pustaka
Muhammad
Yamin dilahirkan di Sawahlunto, Sumatera Barat, pada tanggal 23 Agustus 1903.
Ia menikah dengan Raden Ajeng Sundari Mertoatmadjo. Salah seorang anaknya yang
dikenal, yaitu Rahadijan Yamin. Ia meninggal dunia pada tanggal 17 Oktober 1962
di Jakarta. Di zaman penjajahan, Yamin termasuk segelintir orang yang beruntung
karena dapat menikmati pendidikan menengah dan tinggi. Lewat pendidikan itulah,
Yamin sempat menyerap kesusastraan asing, khususnya kesusastraan Belanda.
Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa tradisi sastra Belanda diserap Yamin sebagai
seorang intelektual sehingga ia tidak menyerap mentah-mentah apa yang
didapatnya itu. Dia menerima konsep sastra Barat, dan memadukannya dengan gagasan
budaya yang nasionalis.
Pendidikan
yang sempat diterima Yamin, antara lain, Hollands
inlands School (HIS) di Palembang, tercatat sebagai peserta kursus pada
Lembaga Pendidikan Peternakan dan Pertanian di Cisarua, Bogor, Algemene Middelbare School (AMS)
‘Sekolah Menengah Umum’ di Yogya, dan HIS di Jakarta. Yamin menempuh pendidikan
di AMS setelah menyelesaikan sekolahnya di Bogor yang dijalaninya selama lima
tahun. Studi di AMS Yogya sebetulnya merupakan persiapan Yamin untuk
mempelajari kesusastraan Timur di Leiden. Di AMS, ia mempelajari bahasa Yunani,
bahasa Latin, bahasa Kaei, dan sejarah purbakala. Dalam waktu tiga tahun saja
ia berhasil menguasai keempat mata pelajaran tersebut, suatu prestasi yang
jarang dicapai oleh otak manusia biasa. Dalam mempelajari bahasa Yunani, Yamin
banyak mendapat bantuan dari pastor-pastor di Seminari Yogya, sedangkan dalam
bahasa Latin ia dibantu Prof. H. Kraemer dan Ds. Backer.
Setamat
AMS Yogya, Yamin bersiap-siap berangkat ke Leiden. Akan tetapi, sebelum sempat
berangkat sebuah telegram dari Sawahlunto mengabarkan bahwa ayahnya meninggal
dunia. Karena itu, kandaslah cita-cita Yamin untuk belajar di Eropa sebab uang
peninggalan ayahnya hanya cukup untuk belajar lima tahun di sana. Padahal,
belajar kesusastraan Timur membutuhkan waktu tujuh tahun. Dengan hati masgul
Yamin melanjutkan kuliah di Recht Hogeschool (RHS) di Jakarta dan berhasil
mendapatkan gelar Meester in de Rechten ‘Sarjana Hukum’ pada tahun 1932.
Sebelum
tamat dari pendidikan tinggi, Yamin telah aktif berkecimpung dalam perjuangan
kemerdekaan. Berbagai organisaasi yang berdiri dalam rangka mencapai Indonesia
merdeka yang pernah dipimpin Yamin, antara lain, adalah, Yong Sumatramen Bond
‘Organisasi Pemuda Sumatera’ (1926–1928). Dalam Kongres Pemuda II (28 Oktober
1928) secara bersama disepakati penggunaan bahasa Indonesia. Organisasi lain
adalah Partindo (1932–1938).
Pada
tahun 1938—1942 Yamin tercatat sebagai anggota Pertindo, merangkap sebagai
anggota Volksraad ‘Dewan Perwakilan
Rakyat’. Setelah kemerdekaan Indonesia terwujud, jabatan-jabatan yang pernah
dipangku Yamin dalam pemerintahan, antara lain, adalah Menteri Kehakiman
(1951), Menteri Pengajaran, Pendidikan dan Kebudayaan (1953–1955), Ketua Dewan
Perancang Nasional (1962), dan Ketua Dewan Pengawas IKBN Antara (1961–1962).
Dari
riwayat pendidikannya dan dari keterlibatannya dalam organisasi politik maupun
perjuangan kemerdekaan, tampaklah bahwa Yamin termasuk seorang yang berwawasan
luas. Walaupun pendidikannya pendidikan Barat, ia tidak pernah menerima
mentah-mentah apa yang diperolehnya itu sehingga ia tidak menjadi
kebarat-baratan. Ia tetap membawakan nasionalisme dan rasa cinta tanah air dalam
karya-karyanya. Barangkali halini merupakan pengaruh lingkungan keluarganya
karena ayah ibu Yamin adalah keturunan kepala adat di Minangkabau. Ketika kecil
pun, Yamin oleh orang tuanya diberi pendidikan adat dan agama hingga tahun
1914. Dengan demikian, dapat dipahami apabila Yamin tidak terhanyut begitu saja
oleh hal-hal yang pernah diterimanya, baik itu berupa karya-karya sastra Barat
yang pernah dinikmatinya maupun sistem pendidikan Barat yang pernah dialaminya.
Umar
Junus dalam bukunya Perkembangan Puisi Indonesia dan Melayu Modern (1981)
menyatakan bahwa puisi Yamin terasa masih berkisah, bahkan bentul-betul terasa
sebagai sebuah kisah. Dengan demikian, puisi Yamin memang dekat sekali dengan
syair yang memang merupakan puisi untuk mengisahkan sesuatu.”Puisi Yamin itu
dapat dirasakan sebagai syair dalam bentuk yang bukan syair”, demikian Umar
Junus. Karena itu, sajak-sajak Yamin dapat dikatakan lebih merupakan suatu
pembaruan syair daripada suatu bentuk puisi baru. Akan tetapi, pada puisi Yamin
seringkali bagian pertamanya merupakan lukisan alam, yang membawa pembaca
kepada suasana pantun sehingga puisi Yamin tidak dapat dianggap sebagai syair
baru begitu saja. Umar Junus menduga bahwa dalam penulisan sajak-sajaknya,
Yamin menggunakan pantun, syair, dan puisi Barat sebagai sumber. Perpaduan
ketiga bentuk itu adalah hal umum terjadi terjadi pada awal perkembangan puisi
modern di Indonesia.
Jika
Umar Junus melihat adanya kedekatan untuk soneta yang dipergunakan Yamin dengan
bentuk pantun dan syair, sebetulnya hal itu tidak dapat dipisahkan dari tradisi
sastra yang melingkungi Yamin pada waktu masih amat dipengaruhi pantun dan
syair. Soneta yang dikenal Yamin melalui kesusastraan Belanda ternyata hanya
menyentuh Yamin pada segi isi dan semangatnya saja. Karena itu, Junus menangkap
kesan berkisah dari sajak-sajak Yamin itu terpancar sifat melankolik, yang
kebetulan merupakan sifat dan pembawaan soneta. Sifat soneta yang melankolik
dan kecenderungan berkisah yang terdapat didalamnya tidak berbeda jauh dengan
yang terdapat dalam pantun dan syair. Dua hal yang disebut terakhir, yakni
sifat melankolik dan kecenderungan berkisah, kebetulan sesuai untuk gejolak
perasaan Yamin pada masa remajanya. Karena itu, soneta yang baru saja dikenal
Yamin dan yang kemudian digunakannya sebagai bentuk pengungkapan estetiknyha
mengesankan bukan bentuk soneta yang murni.
2.
Nur Sutan
Iskandar
Nur Sutan Iskandar (lahir di Sungai Batang, Sumatera Barat, 3 November 1893 – meninggal di Jakarta,28 November 1975 pada umur 82 tahun) adalah sastrawan Angkatan Balai Pustaka.
Nur Sutan
Iskandar memiliki nama asli Muhammad Nur. Seperti umumnya lelaki Minangkabau lainnya Muhammad
Nur mendapat gelar ketika menikah. Gelar Sutan Iskandar yang diperolehnya
kemudian dipadukan dengan nama aslinya dan Muhammad Nur pun lebih dikenal
sebagai Nur Sutan Iskandar sampai sekarang.
Setelah
menamatkan sekolah rakyat pada tahun 1909, Nur Sutan Iskandar bekerja sebagai
guru bantu. Pada tahun 1919 ia hijrah ke Jakarta. Di sana ia bekerja di Balai Pustaka, pertama
kali sebagai korektor naskah karangan sampai akhirnya menjabat sebagai Pemimpin
Redaksi Balai Pustaka (1925-1942). Kemudian ia diangkat menjadi Kepala Pengarang Balai
Pustaka, yang dijabatnya 1942-1945.
Nur Sutan
Iskandar tercatat sebagai sastrawan terproduktif di angkatannya. Selain
mengarang karya asli ia juga menyadur dan menerjemahkan buku-buku karya pengarang
asing seperti Alexandre Dumas, H.
Rider Haggard dan Arthur Conan Doyle.
3.
Marah roesli
Marah Rusli, sang sastrawan itu, bernama lengkap Marah
Rusli bin Abu Bakar. Ia dilahirkan di Padang pada tanggal 7 Agustus 1889.
Ayahnya, Sultan Abu Bakar, adalah seorang bangsawan dengan gelar Sultan
Pangeran. Ayahnya bekerja sebagai demang. Marah Rusli mengawini gadis Sunda
kelahiran Bogor pada tahun 1911. Mereka dikaruniai tiga orang anak, dua orang
laki-laki dan seorang perempuan. Perkawinan Marah Rusli dengan gadis Sunda
bukanlah perkawinan yang diinginkan oleh orang tua Marah Rusli, tetapi Marah
Rusli kokoh pada sikapnya, dan ia tetap mempertahankan perkawinannya.
Meski lebih terkenal sebagai sastrawan, Marah Rusli
sebenarnya adalah dokter hewan. Berbeda dengan Taufiq Ismail dan Asrul Sani
yang memang benar-benar meninggalkan profesinya sebagai dokter hewan karena
memilih menjadi penyair, Marah Rusli tetap menekuni profesinya sebagai dokter
hewan hingga pensiun pada tahun 1952 dengan jabatan terakhir Dokter Hewan
Kepala. Kesukaan Marah Rusli terhadap kesusastraan sudah tumbuh sejak ia masih
kecil. Ia sangat senang mendengarkan cerita-cerita dari tukang kaba, tukang
dongeng di Sumatera Barat yang berkeliling kampung menjual ceritanya, dan
membaca buku-buku sastra. Marah Rusli meninggal pada tanggal 17 Januari 1968 di
Bandung dan dimakamkan di Bogor, Jawa Barat.
Dalam sejarah sastra Indonesia, Marah Rusli tercatat sebagai pengarang roman yang pertama dan diberi gelar oleh H.B. Jassin sebagai Bapak Roman Modern Indonesia. Sebelum muncul bentuk roman di Indonesia, bentuk prosa yang biasanya digunakan adalah hikayat.
Marah Rusli berpendidikan tinggi dan buku-buku bacaannya banyak yang berasal dari Barat yang menggambarkan kemajuan zaman. Ia kemudian melihat bahwa adat yang melingkupinya tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Hal itu melahirkan pemberontakan dalam hatinya yang dituangkannya ke dalam karyanya, Siti Nurbaya. Ia ingin melepaskan masyarakatnya dari belenggu adat yang tidak memberi kesempatan bagi yang muda untuk menyatakan pendapat atau keinginannya.
Dalam sejarah sastra Indonesia, Marah Rusli tercatat sebagai pengarang roman yang pertama dan diberi gelar oleh H.B. Jassin sebagai Bapak Roman Modern Indonesia. Sebelum muncul bentuk roman di Indonesia, bentuk prosa yang biasanya digunakan adalah hikayat.
Marah Rusli berpendidikan tinggi dan buku-buku bacaannya banyak yang berasal dari Barat yang menggambarkan kemajuan zaman. Ia kemudian melihat bahwa adat yang melingkupinya tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Hal itu melahirkan pemberontakan dalam hatinya yang dituangkannya ke dalam karyanya, Siti Nurbaya. Ia ingin melepaskan masyarakatnya dari belenggu adat yang tidak memberi kesempatan bagi yang muda untuk menyatakan pendapat atau keinginannya.
Dalam Siti Nurbaya, telah diletakkan landasan pemikiran
yang mengarah pada emansipasi wanita. Cerita itu membuat wanita mulai
memikirkan akan hak-haknya, apakah ia hanya menyerah karena tuntutan adat (dan
tekanan orang tua) ataukah ia harus mempertahankan yang diinginkannya.
Ceritanya menggugah dan meninggalkan kesan yang mendalam kepada pembacanya.
Kesan itulah yang terus melekat hingga sampai kini. Setelah lebih delapan puluh
tahun novel itu dilahirkan, Siti Nurbaya tetap diingat dan dibicarakan.
Selain Siti Nurbaya, Marah Rusli juga menulis beberapa
roman lainnya. Akan tetapi, Siti Nurbaya itulah yang terbaik. Roman itu
mendapat hadiah tahunan dalam bidang sastra dari Pemerintah Republik Indonesia
pada tahun 1969 dan diterjemahkan ke dalam bahasa Rusia.Karya-karyanya yang
terkenal antara lain :
a) Siti
Nurbaya. Jakarta : Balai Pustaka. 1920 mendapat hadiah dari Pemerintah RI tahun
1969.
b) La
Hami. Jakarta : Balai Pustaka. 1924.
c) Anak
dan Kemenakan. Jakarta : Balai Pustaka. 1956.
d) Memang
Jodoh (naskah roman dan otobiografis)
e) Tesna
Zahera (naskah Roman)
Marah Roesli atau sering kali dieja
Marah Rusli (lahir di Padang, Sumatera Barat, 7 Agustus 1889, meninggal di
Bandung, Jawa Barat, 17 Januari 1968 adalah sastrawan Indonesia angkatan Balai
Pustaka. Keterkenalannya karena karyanya Siti Nurbaya (roman) yang diterbitkan
pada tahun 1920 sangat banyak dibicarakan orang, bahkan sampai kini. Siti
Nurbaya telah melegenda, wanita yang dipaksa kawin oleh orang tuanya, dengan
lelaki yang tidak diinginkannya
a. Riwayat
a. Riwayat
Marah Rusli, sang sastrawan itu, bernama
lengkap Marah Rusli bin Abu Bakar. Ia dilahirkan di Padang pada tanggal 7 Agustus
1889. Ayahnya, Sultan Abu Bakar, adalah seorang bangsawan dengan gelar Sultan
Pangeran. Ayahnya bekerja sebagai demang. Marah Rusli mengawini gadis Sunda
kelahiran Bogor pada tahun 1911. Mereka dikaruniai tiga orang anak, dua orang
laki-laki dan seorang perempuan. Perkawinan Marah Rusli dengan gadis Sunda
bukanlah perkawinan yang diinginkan oleh orang tua Marah Rusli, tetapi Marah
Rusli kokoh pada sikapnya, dan ia tetap mempertahankan perkawinannya.
Meski lebih terkenal
sebagai sastrawan, Marah Rusli sebenarnya adalah dokter hewan. Berbeda dengan
Taufiq Ismail dan Asrul Sani yang memang benar-benar meninggalkan profesinya
sebagai dokter hewan karena memilih menjadi penyair, Marah Rusli tetap menekuni
profesinya sebagai dokter hewan hingga pensiun pada tahun 1952 dengan jabatan
terakhir Dokter Hewan Kepala. Kesukaan Marah Rusli terhadap kesusastraan sudah
tumbuh sejak ia masih kecil. Ia sangat senang mendengarkan cerita-cerita dari
tukang kaba, tukang dongeng di Sumatera Barat yang berkeliling kampung menjual
ceritanya, dan membaca buku-buku sastra. Marah Rusli meninggal pada tanggal 17
Januari 1968 di Bandung dan dimakamkan di Bogor, Jawa Barat.
b. Kiprah
b. Kiprah
Dalam sejarah sastra
Indonesia, Marah Rusli tercatat sebagai pengarang roman yang pertama dan diberi
gelar oleh H.B. Jassin sebagai Bapak Roman Modern Indonesia. Sebelum muncul
bentuk roman di Indonesia, bentuk prosa yang biasanya digunakan adalah hikayat.
Marah Rusli berpendidikan tinggi dan buku-buku bacaannya banyak yang berasal dari Barat yang menggambarkan kemajuan zaman. Ia kemudian melihat bahwa adat yang melingkupinya tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Hal itu melahirkan pemberontakan dalam hatinya yang dituangkannya ke dalam karyanya, Siti Nurbaya. Ia ingin melepaskan masyarakatnya dari belenggu adat yang tidak memberi kesempatan bagi yang muda untuk menyatakan pendapat atau keinginannya.
Marah Rusli berpendidikan tinggi dan buku-buku bacaannya banyak yang berasal dari Barat yang menggambarkan kemajuan zaman. Ia kemudian melihat bahwa adat yang melingkupinya tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Hal itu melahirkan pemberontakan dalam hatinya yang dituangkannya ke dalam karyanya, Siti Nurbaya. Ia ingin melepaskan masyarakatnya dari belenggu adat yang tidak memberi kesempatan bagi yang muda untuk menyatakan pendapat atau keinginannya.
Dalam Siti Nurbaya,
telah diletakkan landasan pemikiran yang mengarah pada emansipasi wanita.
Cerita itu membuat wanita mulai memikirkan akan hak-haknya, apakah ia hanya
menyerah karena tuntutan adat (dan tekanan orang tua) ataukah ia harus
mempertahankan yang diinginkannya. Ceritanya menggugah dan meninggalkan kesan
yang mendalam kepada pembacanya. Kesan itulah yang terus melekat hingga sampai
kini. Setelah lebih delapan puluh tahun novel itu dilahirkan, Siti Nurbaya
tetap diingat dan dibicarakan.
Selain Siti Nurbaya,
Marah Rusli juga menulis beberapa roman lainnya. Akan tetapi, Siti Nurbaya
itulah yang terbaik. Roman itu mendapat hadiah tahunan dalam bidang sastra dari
Pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1969 dan diterjemahkan ke dalam bahasa
Rusia.
4.
Merari Siregar
Merari Siregar (lahir di Sipirok, Sumatera Utara pada 13
Juli 1896 dan wafat di Kalianget, Madura, Jawa Timur pada 23 April 1941) adalah
sastrawan Indonesia angkatan Balai Pustaka.
Setelah lulus sekolah Merari Siregar bekerja sebagai guru
bantu di Medan. Kemudian dia pindah ke Jakarta dan bekerja di Rumah Sakit CBZ
(sekarang Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo). Terakhir pengarang ini pindah ke
Kalianget, Madura, tempat ia bekerja di Opium end Zouregie sampai akhir
hayatnya.
Karya-karyanya yang terkenal adalah
a) Azab
dan Sengsara. Jakarta: Balai Pustaka. Cet. 1 tahun 1920,Cet.4 1965.
b) Binasa
Karena Gadis Priangan. Jakarta: Balai Pustaka 1931.
c) Cerita
tentang Busuk dan Wanginya Kota Betawi. Jakarta: Balai Pustaka 1924.
d) Cinta
dan Hawa Nafsu. Jakarta: t.th.
e) Si
Jamin dan si Johan. Jakarta: Balai Pustaka 1918.
f)
5.
Nur Sutan
Iskandar
Nur Sutan
Iskandar (Sungai Batang, Sumatera Barat, 3 November 1893 – Jakarta, 28 November
1975) adalah sastrawan Angkatan Balai Pustaka.
Nur Sutan
Iskandar memiliki nama asli Muhammad Nur. Seperti umumnya lelaki Minangkabau
lainnya Muhammad Nur mendapat gelar ketika menikah. Gelar Sutan Iskandar yang
diperolehnya kemudian dipadukan dengan nama aslinya dan Muhammad Nur pun lebih
dikenal sebagai Nur Sutan Iskandar sampai sekarang.
Setelah
menamatkan sekolah rakyat pada tahun 1909 Nur Sutan Iskandar bekerja sebagai
guru bantu. Pada tahun 1919 ia hijrah ke Jakarta. Di sana ia bekerja di Balai
Pustaka, pertama kali sebagai korektor naskah karangan sampai akhirnya menjabat
sebagai Pemimpin Redaksi Balai Pustaka (1925-1942). Kemudian ia diangkat
menjadi Kepala Pengarang Balai Pustaka, yang dijabatnya 1942-1945.
Nur Sutan
Iskandar tercatat sebagai sastrawan terproduktif di angkatannya. Selain
mengarang karya asli ia juga menyadur dan menerjemahkan buku-buku karya
pengarang asing seperti Alexandre Dumas, H. Rider Haggard dan Arthur Conan
Doyle. Karya-karyanya yang terkenal antara lain :
a)
Apa
Dayaku karena Aku Perempuan (Jakarta: Balai Pustaka, 1923)
b)
Cinta
yang Membawa Maut (Jakarta: Balai Pustaka, 1926)
c)
Salah
Pilih (Jakarta: Balai Pustaka, 1928)
d)
Abu
Nawas (Jakarta: Balai Pustaka, 1929)
e)
Karena
Mentua (Jakarta: Balai Pustaka, 1932)
f)
Tuba
Dibalas dengan Susu (Jakarta: Balai Pustaka, 1933)
g)
Dewi
Rimba (Jakarta: Balai Pustaka, 1935)
h)
Hulubalang
Raja (Jakarta: Balai Pustaka, 1934)
i)
Katak
Hendak Jadi Lembu (Jakarta: Balai Pustaka, 1935)
j)
Neraka
Dunia (Jakarta: Balai Pustaka, 1937)
k)
Cinta
dan Kewajiban (Jakarta: Balai Pustaka, 1941)
l)
Jangir
Bali (Jakarta: Balai Pustaka, 1942)
m)
Cinta
Tanah Air (Jakarta: Balai Pustaka, 1944)
n)
Cobaan
(Turun ke Desa) (Jakarta: Balai Pustaka, 1946)
o)
Mutiara
(Jakarta: Balai Pustaka, 1946)
p)
Pengalaman
Masa Kecil (Jakarta: Balai Pustaka, 1949)
q)
Ujian
Masa (Jakarta: JB Wolters, 1952, cetakan ulang)
r)
Megah
Cerah: Bacaan untuk Murid Sekolah Rakyat Kelas II (Jakarta: JB Wolters, 1952)
s)
Megah
Cerah: Bacaan untuk Murid Sekolah Rakyat Kelas III (Jakarta: JB Wolters, 1952)
t)
Peribahasa
(Karya bersama dengan K. Sutan Pamuncak dan Aman Datuk Majoindo. Jakarta: JB
Wolters, 1946)
u)
Sesalam
Kawin (t.t.)
6. Abdul Muis
Abdul Muis (lahir di Sungai Puar, Bukittinggi, Sumatera
Barat, 3 Juli 1883 – wafat di Bandung, Jawa Barat, 17 Juni 1959 pada umur 75
tahun) adalah seorang sastrawan dan wartawan Indonesia. Pendidikan terakhirnya
adalah di Stovia (sekolah kedokteran, sekarang Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia), Jakarta akan tetapi tidak tamat. Ia juga pernah menjadi anggota
Volksraad yang didirikan pada tahun 1916 oleh pemerintah penjajahan Belanda. Ia
dimakamkan di TMP Cikutra – Bandung dan dikukuhkan sebagai pahlawan nasional
oleh Presiden RI, Soekarno, pada 30 Agustus 1959 (Surat Keputusan Presiden
Republik Indonesia No. 218 Tahun 1959, tanggal 30 Agustus 1959).
Karir yang pernah dia jalani :Dia pernah bekerja sebagai
klerk di Departemen Buderwijs en Eredienst dan menjadi wartawan di Bandung pada
surat kabar Belanda, Preanger Bode, harian Kaum Muda dan majalah Neraca
pimpinan Haji Agus Salim. Selain itu ia juga pernah aktif dalam Syarikat Islam
dan pernah menjadi anggota Dewan Rakyat yang pertama (1920-1923). Setelah
kemerdekaan, ia turut membantu mendirikan Persatuan Perjuangan Priangan.
Riwayat Perjuangan melawan penjajah antara lain :
a. Mengecam
tulisan orang-orang Belanda yang sangat menghina bangsa Indonesia melalui
tulisannya di harian berbahasa Belanda, De Express
b. Pada
tahun 1913, menentang rencana pemerintah Belanda dalam mengadakan perayaan
peringatan seratus tahun kemerdekaan Belanda dari Perancis melalui Komite
Bumiputera bersama dengan Ki Hadjar Dewantara
c. Pada
tahun 1922, memimpin pemogokan kaum buruh di daerah Yogyakarta sehingga ia diasingkan
ke Garut, Jawa Barat
d. Mempengaruhi
tokoh-tokoh Belanda dalam pendirian Technische Hooge School – Institute Teknologi
Bandung (ITB)
Karya-karyanya
yang terkenal :
a. Salah
Asuhan (novel, 1928, difilmkan Asrul Sani, 1972)
b. Pertemuan
Jodoh (novel, 1933)
c. Surapati
(novel, 1950)
d. Robert
Anak Surapati(novel, 1953)
Novel
asing yang pernah diterjemahkan oleh Abdul Muis antara lain :
a. Don
Kisot (karya Cerpantes, 1923)
b. Tom
Sawyer Anak Amerika (karya Mark Twain, 1928)
c. Sebatang
Kara (karya Hector Melot, 1932)
d. Tanah
Airku (karya C. Swaan Koopman, 1950)
7.
Tulis Sutan Sati
Tulis Sutan Sati (Bukittinggi, Sumatra Barat, 1898 – 1942)
adalah penyair dan sastrawan Indonesia Angkatan Balai Pustaka. Karya-karyanya
yang terkenal antara lain :
a. Tak
Disangka (1923)
b. Sengsara
Membawa Nikmat (1928)
c. Syair
Rosina (1933)
d. Tjerita
Si Umbut Muda (1935)
e. Tidak
Membalas Guna
f. Memutuskan
Pertalian (1978)
g. Sabai
nan Aluih: cerita Minangkabau lama (1954)
8.
Aman Datuk
Madjoindo
Aman Datuk Madjoindo (Supayang, Solok, Sumatera Barat 1896
– Sirukam, Solok, Sumatera Barat 6 Desember 1969) adalah sastrawan Angkatan
Balai Pustaka.
Salah satu karyanya yang terkenal adalah Si Doel Anak
Betawi, yang kemudian dijadikan film Si Doel Anak Betawi oleh sutradara
Syumanjaya, dan menjadi inspirasi sinetron Si Doel Anak Sekolahan. Aman pernah mengenyam pendidikan di HIS di
Solok, serta Kweekschool (Sekolah Raja) di Bukittinggi. Setelah lulus sekolah
dia sempat menjadi guru di Padang di tahun 1919 sebelum pindah ke Jakarta dan
bekerja di Balai Pustaka pada tahun 1920.
Pada awal masuk Balai Pustaka Aman pertama kali bekerja sebagai sebagai korektor, sebelum menjadi ajudan redaktur dan kemudian redaktur. Dia juga pernah menjabat direktur penerbit Balai Pustaka.
Pada awal masuk Balai Pustaka Aman pertama kali bekerja sebagai sebagai korektor, sebelum menjadi ajudan redaktur dan kemudian redaktur. Dia juga pernah menjabat direktur penerbit Balai Pustaka.
Ada lebih 20 buku yang telah dikarang Aman Datuk
Madjoindo.Si Doel Anak Betawiditulis pada tahun1956. Namun jauh dia sebelumnya
telah menulis berbagai cerita lain, di antaranya Menebus dosa (1932), Rusmala
Dewi (1932, bersama S. Hardjosoemarto), Sebabnya Rafiah Tersesat (1934, bersama
S. Hardjosoemarto), Si Cebol Rindukan Bulan (1934), Perbuatan Dukun (1935),
Sampaikan Salamku Kepadanya (1935).
Selain cerita Aman juga menulis karya Melayu lama
berbentuk syair dan hikayat. Syair-syairnya antara lain Syair Si Banto Urai
(1931) dan Syair Gul Bakawali (1936)
Karya-karya yang berbentuk hikayat adalah Cerita Malin Deman dan Puteri Bungsu (1932), Cindur Mata (1951), Hikayat Si Miskin (1958), Hikayat Lima Tumenggung (1958).
Dia juga menyelenggarakan penerbitan edisi Sejarah Melayu pada 1959.
Karya-karya yang berbentuk hikayat adalah Cerita Malin Deman dan Puteri Bungsu (1932), Cindur Mata (1951), Hikayat Si Miskin (1958), Hikayat Lima Tumenggung (1958).
Dia juga menyelenggarakan penerbitan edisi Sejarah Melayu pada 1959.
9.
Suman Hasibuan
Suman Hasibuan (lahir di Bengkalis, Riau, 4 April 1904 –
wafat di Pekanbaru, Riau, 8 Mei 1999 pada umur 95 tahun) adalah sastrawan
Indonesia. Hasil karya dari Suman Hasibuan antara lain adalah “Mencari Pencuri
Anak Perawan”, “Kawan Bergelut” (kumpulan cerpen), “Tebusan Darah”, “Kasih Tak
Terlerai”, dan “Percobaan Setia”. Ia digolongkan sebagai sastrawan dari
Angkatan Balai Pustaka. Karya-karyanya yang terkenal antara lain :
a) “Pertjobaan
Setia” (1940)
b) “Mentjari
Pentjuri Anak Perawan” (1932)
c) “Kasih
Ta’ Terlarai” (1961)
d) “Kawan
Bergelut” (kumpulan cerpen)
e) “Tebusan Darah”
10.
Adinegoro
Adinegoro (lahir di Talawi, Sumatera Barat, 14 Agustus
1904 – wafat di Jakarta, 8 Januari 1967 pada umur 62 tahun) adalah sastrawan
Indonesia dan wartawan kawakan. Ia berpendidikan STOVIA (1918-1925) dan pernah
memperdalam pengetahuan mengenai jurnalistik, geografi, kartografi, dan
geopolitik di Jerman dan Belanda (1926-1930).
Nama aslinya sebenarnya bukan Adinegoro, melainkan Djamaluddin gelar Datuk Madjo Sutan. Ia adalah adik sastrawan Muhammad Yamin. Mereka saudara satu bapak, tetapi lain ibu. Ayah Adinegoro bernama Usman gelar Baginda Chatib dan ibunya bernama Sadarijah, sedangkan nama ibu Muhammad Yamin adalah Rohimah. Ia memiliki seorang istri bernama Alidas yang berdarah Sulit Air ,Solok, Sumatera Barat.
Nama aslinya sebenarnya bukan Adinegoro, melainkan Djamaluddin gelar Datuk Madjo Sutan. Ia adalah adik sastrawan Muhammad Yamin. Mereka saudara satu bapak, tetapi lain ibu. Ayah Adinegoro bernama Usman gelar Baginda Chatib dan ibunya bernama Sadarijah, sedangkan nama ibu Muhammad Yamin adalah Rohimah. Ia memiliki seorang istri bernama Alidas yang berdarah Sulit Air ,Solok, Sumatera Barat.
Dua buah novel Adinegoro yang terkenal (keduanya dibuat
pada tahun 1928), yang membuat namanya sejajar dengan nama-nama novelis besar
Indonesia lainnya, adalah Asmara Jaya dan Darah Muda. Ajip Rosidi dalam buku
Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia (1982), mengatakan bahwa Adinegoro merupakan
pengarang Indonesia yang berani melangkah lebih jauh menentang adat kuno yang
berlaku dalam perkawinan. Dalam kedua romannya Adinegoro bukan hanya menentang
adat kuno tersebut, melainkan juga dengan berani memenangkan pihak kaum muda
yang menentang adat kuno itu yang dijalankan oleh pihak kaum tua.
Di samping kedua novel itu, Adinegoro juga menulis novel lainnya, yaitu Melawat ke Barat, yang merupakan kisah perjalanannya ke Eropa. Kisah perjalanan ini diterbitkan pada tahun 1930.
Selain itu, ia juga terlibat dalam polemik kebudayaan yang terjadi sekitar tahun 1935. Esainya, yang merupakan tanggapan polemik waktu itu, berjudul “Kritik atas Kritik” terhimpun dalam Polemik Kebudayaan yang disunting oleh Achdiat K. Mihardja (1977). Dalam esainya itu, Adinegoro beranggapan bahwa suatu kultur tidak dapat dipindah-pindahkan karena pada tiap bangsa telah melekat tabiat dan pembawaan khas, yang tak dapat ditiru oleh orang lain. Ia memberikan perbandingan yang menyatakan bahwa suatu pohon rambutan tidak akan menghasilkan buah mangga, dan demikian pun sebaliknya. Karyanya antara lain:
Di samping kedua novel itu, Adinegoro juga menulis novel lainnya, yaitu Melawat ke Barat, yang merupakan kisah perjalanannya ke Eropa. Kisah perjalanan ini diterbitkan pada tahun 1930.
Selain itu, ia juga terlibat dalam polemik kebudayaan yang terjadi sekitar tahun 1935. Esainya, yang merupakan tanggapan polemik waktu itu, berjudul “Kritik atas Kritik” terhimpun dalam Polemik Kebudayaan yang disunting oleh Achdiat K. Mihardja (1977). Dalam esainya itu, Adinegoro beranggapan bahwa suatu kultur tidak dapat dipindah-pindahkan karena pada tiap bangsa telah melekat tabiat dan pembawaan khas, yang tak dapat ditiru oleh orang lain. Ia memberikan perbandingan yang menyatakan bahwa suatu pohon rambutan tidak akan menghasilkan buah mangga, dan demikian pun sebaliknya. Karyanya antara lain:
a. Buku
a) Revolusi
dan Kebudayaan (1954)
b) Ensiklopedi
Umum dalam Bahasa Indonesia (1954),
c) Ilmu
Karang-mengarang
d) Falsafah
Ratu Dunia
b. Novel
a) Darah
Muda. Batavia Centrum : Balai Pustaka. 1931
b) Asmara
Jaya. Batavia Centrum : Balai Pustaka. 1932.
c) Melawat
ke Barat. Jakarta : Balai Pustaka. 1950.
c. Cerita
pendek
a) Bayati
es Kopyor.
b) Etsuko.
Varia.
c) Lukisan
Rumah Kami.
d) Nyanyian
Bulan April.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar