Rabu, 20 Juni 2012

teori mimetik


TEORI MIMETIK
          Jika kita berbicara tentang teori Mimetik, kita tidak dapat terlepas dari pengaruh dua orang filsuf besar dari Yunani, yaitu Plato dan Aristoteles. Plato menganggap bahwa karya seni berada di bawah kenyataan karena hanya berupa tiruan dari tiruan yang ada dipikiran manusia yang meniru kenyataan. Sementara, Aristoteles sebagai murid dari Plato berbeda pendapat. Aristoteles menganggap karya seni adalah berada di atas kenyataan karena karya seni sebagai katalisator untuk menyucikan jiwa manusia.
           Menurut Abrams (1976), Pendekatan Mimetik merupakan pendekatan estetis yang paling primitif. Akar sejarahnya terkandung dalam pandangan Plato dan Aristoteles. Menurut Plato, dasar pertimbangannya adalah dunia pengalaman yaitu karya sastra itu sendiri tidak bisa mewakili kenyataan yang sesungguhnya, melainkan hanya sebagai peniruan. Secara hierarkis dengan demikian karya seni berada di bawah kenyataan. Pandangan ini ditolak oleh Aristoteles dengan argumentasi bahwa karya seni berusaha menyucikan jiwa manusia, sebagai katharsis. Di samping itu juga karya seni berusaha membangun dunianya sendiri (Ratna, 2011: 70).

    Pandangan Plato mengenai mimetik sangat dipengaruhi oleh pandangannya mengenai konsep ide-ide yang kemudian mempengaruhi bagaimana pandangannya mengenai seni. Plato menganggap ide yang dimiliki manusia terhadap suatu hal merupakan sesuatu yang sempurna dan tidak dapat berubah. Ide merupakan dunia ide yang terdapat pada manusia. Ide oleh manusia hanya dapat diketahui melalui rasio, tidak mungkin untuk dilihat atau disentuh dengan pancaindra. Ide bagi Plato adalah hal yang tetap atau tidak dapat berubah,  misalnya ide mengenai bentuk segitiga, ia hanya satu tetapi dapat ditransformasikan dalam bentuk segitiga yang terbuat dari kayu dengan jumlah lebih dari satu. Ide mengenai segitiga tersebut tidak dapat berubah, tetapi segitiga yang terbuat dari kayu bisa berubah (Bertnens, 1979: 13).
          Berdasarkan pandangan Plato mengenai konsep ide tersebut, Plato sangat memandang rendah seniman dan penyair dalam bukunya yang berjudul Republic bagian kesepuluh. Bahkan, ia mengusir seniman dan sastrawan dari negerinya karena menganggap seniman dan sastrawan tidak berguna bagi Athena. Mereka dianggap hanya akan meninggikan nafsu dan emosi saja. Pandangan tersebut muncul karena mimetik yang dilakukan oleh seniman dan sastrawan hanya akan menghasilkan khayalan tentang kenyataan dan tetap jauh dari ‘kebenaran’. Seluruh barang yang dihasilkan manusia menurut Plato hanya merupakan copy dari ide, sehingga barang tersebut tidak akan pernah sesempurna bentuk aslinya (dalam ide-ide mengenai barang tersebut). Bagi Plato seorang tukang lebih mulia dari pada seniman atau penyair. Seorang tukang yang membuat kursi, meja, lemari, dan lain sebagainya mampu menghadirkan ide ke dalam bentuk yang dapat disentuh pancaindra. Sedangkan penyair dan seniman hanya menjiplak kenyataan yang dapat disentuh pancaindra (seperti yang dihasilkan tukang), Mereka oleh Plato hanya dianggap menjiplak dari jiplakan (Luxemberg, 1989: 16).
           Menurut Plato mimetik hanya terikat pada ide pendekatan. Tidak pernah menghasilkan kopi sungguhan, mimetik hanya mampu menyarankan tataran yang lebih tinggi. Mimetik yang dilakukan oleh seniman dan sastrawan tidak mungkin mengacu secara langsung terhadap dunia ide  (Teew, 1984: 220). Hal itu disebabkan pandangan Plato bahwa seni dan sastra hanya mengacu kepada sesuatu yang ada secara faktual seperti yang telah disebutkan di muka. Bahkan, seperti yang telah dijelaskan di muka, Plato mengatakan bila seni hanya menimbulkan nafsu karena cenderung menghimbau emosi, bukan rasio (Teew, 1984: 221).
Aristoteles adalah seorang pelopor penentangan pandangan Plato tentang mimetik yang berarti juga menentang pandangan rendah Plato terhadap seni. Apabila Plato beranggapan bahwa seni hanya merendahkan manusia karena menghimbau nafsu dan emosi, Aristoteles justru menganggap seni sebagai sesuatu yang bisa meninggikan akal budi.  Aristoteles memandang seni sebagai katharsis, ‘penyucian terhadap jiwa’. Karya seni oleh Aristoteles dianggap menimbulkan kekhawatiran dan rasa khas kasihan yang dapat membebaskan dari nafsu rendah penikmatnya” (Teew, 1984: 221).
Aristoteles menganggap seniman dan sastrawan yang melakukan mimetik tidak semata-mata menjiplak kenyataan, melainkan sebuah proses kreatif untuk menghasilkan kebaruan. Seniman dan sastrawan menghasilkan suatu bentuk baru dari kenyataan indrawi yang diperolehnya. Dalam bukunya yang berjudul Poetica, Aristoteles mengemukakakan bahwa sastra bukan copy (sebagaimana uraian Plato) melainkan suatu ungkapan mengenai “universalia” (konsep-konsep umum). Dari kenyataan yang menampakkan diri kacau balau seorang seniman atau penyair memilih beberapa unsur untuk kemudian diciptakan kembali menjadi ‘kodrat manusia yang abadi’, kebenaran yang universal. Itulah yang membuat Aristoteles dengan keras berpendapat bahwa seniman dan sastrawan jauh lebih tingi dari tukang kayu dan tukang-tukang lainnya (Luxemberg, 1989: 17).
Pandangan positif Aristoteles terhadap seni dan mimetik dipengaruhi oleh pemikirannya terhadap ‘ada’ dan ide-ide. Aristoteles menganggap ide-ide manusia bukan sebagai kenyataan.  Jika Plato beranggapan bahwa hanya ide-lah yang tidak dapat berubah, Aristoteles justru mengatakan bahwa yang tidak dapat berubah (tetap) adalah benda-benda jasmani itu sendiri. Benda jasmani oleh Aristoteles diklasifikasikan ke dalam dua kategori, bentuk dan kategori. Bentuk adalah wujud suatu hal, sedangkan materi adalah bahan untuk membuat bentuk tersebut, dengan kata lain bentuk dan meteri adalah suatu kesatuan (Bertens, 1979: 13).
Mimetik yang menjadi pandangan Plato dan Aristoteles saat ini telah ditransformasikan ke dalam berbagai bentuk teori estetika (filsafat keindahan) dengan berbagai pengembangan di dalamnya. Pada zaman Renaissaince pandangan Plato dan Aristoteles mengenai mimetik saat ini telah dipengaruhi oleh pandangan Plotinis, seorang filsuf Yunani pada abad ke-3 Masehi. Mimetik tidak lagi diartikan suatu pencerminan tentang kenyataan indrawi, tetapi merupakan pencerminan langsung terhadap ide. Berdasarkan pandangan di atas, dapat diasumsikan bahwa susunan kata dalam teks sastra tidak meng-copy secara dangkal dari kenyataan indrawi yang diterima penyair, tetapi mencerminkan kenyataan hakiki yang lebih luhur. Melalui pencerminan tersebut kenyataan indrawi dapat disentuh  dengan dimensi lain yang lebih luhur (Luxemberg, 1989: 18).
Konsep mimetik zaman reanaissance tersebut kemudian tergeser pada zaman romantic. Aliran romantic justru memperhatikan kembali yang aneh-aneh, tidak riil dan tidak masuk akal. Apakah dalam sebuah karya seni dan sastra mencerminkan kembali realitas indrawi tidak diutamakan lagi. Sastra dan seni tidak hanya menciptakan kembali kenyataan indrawi, tetapi juga menciptakan bagan mengenai kenyataan. Kaum romantic lebih memperhatikan sesuati dibalik mimetik, misalnya persoalan plot dalam drama. Plot atau alur drama bukan suatu urutan peristiwa saja, melainkan juga dipandang sebagai kesatuan organik dan karena itulah drama memaparkan suatu pengertian mengenai perbuatan-perbuatan manusia  (diakses tanggal 3 Mei 2012).
Pendekatan ini menghubungkan karya sastra dengan alam semesta (dalam istilah Abrams: univers). Universe ‘aiam semesta’ ini berkaitan dengan aspek dan masalah yang cukup luas dan rumit, tidak hanya menyangkut masalah ilmu sastra, tetapi juga antara lain filsafat, psikologi, dan sosiologi dengan segala aspeknya. Sesuai dengan judul tulisan ini, masalahnya dibatasi pada ilmu sastra saja.
Dalam ilmu sastra barat, masalah ini dimulai oleh filsuf plato dan muridnya, namun yang sekaligus bertentangan pendapat, yaitu aristoteles. Hamper dua ribu tahun yang lalu mereka telah memperdebatkan karya sastra dalam hubungannya dengan kenyataan, dan persoalan itu masih tetap relevan sampai sekarang.
Dalam hubungan karya sastra dengan nimesis ‘kenyataan; plato berpendapat bahwa sastra hanyalah tiruan dan tidak menghasilkan kopi yang sungguh-sungguh. Seni hanyalah mweniru dan membayangkan hal yang tampak; jadi, berdirih dibawah kenyataan. Seni seharusnya trutbful ‘penuh kebenaran’ dan seorang seniman harus modest’  ‘rendah hati’; seniman cenderung mengumbar nafsu, padahal manusia yang berasio seharusnya meredakan nafsu.
Adapun aristoteles berpendapat bahwa seni justru membuat suci jiwa manusia lewat proses yang disebut katbarsis. Penyair tidak meniru kenyataan; seniman mencipta dunia sendiri dengan probability ‘kemungkinan-kemungkinan ; Karya seni menjadi sarana pengetahuan yang khas, cara yang unik untuk membayangkan pemahaman tentang aspek atau situasi manusia yang tak dapat diungkapkan dengan jalan lain.
Hubungan universe dengan seni dalam pandangan berbagai kebudayaan boleh dikatakan sejalan. Dalam sejarah kebudayaan barat, hubungan seni dan alam cukup sentral. Pada abad pertengahan manusia hanya mengambil contoh ciptaan Tuhan yang mutlak baik dan indah. Juga dalam kebudayaan Arab, penyair terikat pada ciptaan Tuhan, yang merupakan model sempurna; dalam Al-Quran kebenaran diberikan melalui pemakaian bahasa yang tidak ada yang dapat mengunggulinya; dalam puitika Cina umumnya aspek mimetik ditekankan pada seni. Tata semesta kebenaran kesejarahan dan kemanusiaan harus menjadi teladan bagi sastra. Ciptaan dalam arti rekaan murni tidak dianggap sebgai seni. Dalam puisi Jawa kuno, khususnya dalam kakawin,aspek mimetic, yaitu alam sebagai teladan, bagi penyair sangat kuat pengaruhnya. Penyair mencari ilham dalam keindahan alam dengan berkelana menelusuri keindahan dan bagian yang paling puitik dalam arti luas. Kakawin d8isamakan dengan unio mystica, yaitu persatuan manusia dengan Tuhan melalui keindahan.
Apa bila dicari kaitan antara creation dan mimesis dari segi bahasa, maka penganut teori creatio menganggap karya seni sebagai sesuatu yang baru, suatu ciptaan dalam arti yang sungguh-sungguh. Ini dianut oleh kaum strukturalis yang menganggap karya sastra sebagai dunia kata-kata atau heterokosmos, sesuatu yang otonom dalam kenyataan.
Adapun teori mimesis menganggap karya sastra sebagai pencerminan, peniruan, atau pembayangan realitas. Pendapat ini kebanyakan dianut oleh peneliti sastra aliran Marxis - sosiologi sastra - dan - peneliti lain yang menganggap karya seni sebagai dokumen social. Sarana yang terkuat dalam pengarahan manusia pada penafsiran kenyataan ialah bahasa. Bahasa tidak saja mengintegrasikan berbagaibidang pengalaman menjadi keseluruhan yang berarti, tetapi juga memungkinkan mengatasi kenyataan sehari-hari.
Dalam sastra, sebuah roman misalnya, adalah suatu ketangangan antara kenyatan danj rekaan. Misalnya, dalam setting ‘latar’ sejarahnya cocok dengan informasi factual yang kita miliki mengenai waktu. Kenyataan itu diresapi oleh pemberian makna yang diharapkan pembaca, kemiripan dengan kenyataan; ini bukanlah suatu tujuan, tetapi sarana untuk menyampaikan sesuatu kepada pembaca yang mungkin lebih dari kenyataan tetapi justru kenyataan itu yang memberi makna pada kenyataan atau kenyataan ilmu.
Dalam tulisan sejarah, seorang sejarahwan mencoba membei makna pada peristiwa melalui penggumpulan dan pengupasan data yang digarap seteliti serta selengkap mungkin. Akan tetapi, dalam pemberian makna ia harus bersifat selektif dan objektif serta terikat pada model naratif dan ragam fiksional yang ada bagi dia selaku penanggap kebudayaan tertentu. Sementara itu, sastrawan memberi makna loewat kenyataan yang dapat diciptakannya denagan bebas, asal tetap dalam rangka konvensi kebebasan, kesastraan, dan sosio-kebudayaan yang dipahami pembaca. Dunia yang diciptakannya adalah dunia alternatif dan alternatif terhadap kenyataan hanya mungkin dibayangkan berdasarkan pengetahuan kenyataan itu sendiri (Ibid, 1984: 219-248).   

2 komentar:

  1. Terima Kasih atas dibuatnya makalah ini, saya izin ambil materinya untuk kepentingan kuliah ya...
    tetapi, sebagi saran, tolong cantumkan daftar pustakanya, supaya bisa diketahui referensinya..

    BalasHapus
  2. Sangat bermanfaat !
    Terima kasih kepada penulisyang telah meluangkan waktunya untuk menulis pembahasan ini.

    BalasHapus