KAJIAN
PROSA FIKSI
“Analisis
Unsur-unsur Intrinsik dan Ekstrinsik
dalam
Drama Bapak Karya B. Soenarto”
PENDIDIKAN
BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DAN DAERAH
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
HALUOLEO
KENDARI
2012
KAJIAN
PROSA FIKSI
“Analisis
Unsur-unsur Intrinsik dan Ekstrinsik
dalam Drama Bapak
Karya B. Soenarto”
PENDIDIKAN BAHASA
DAN SASTRA INDONESIA DAN DAERAH
FAKULTAS KEGURUAN
DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
HALUOLEO
KENDARI
2012
|
Oleh:
JAFARUDIN
A1D1 11 066
|
Tugas
Makalah:
|
KATA
PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang
Maha Esa atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penyusunan makalah ini
dapat terselesaikan dengan sebaik-baiknya. Makalah ini disusun untuk memenuhi
tugas mata kuliah Kajian Prosa Fiksi yang diberikan oleh dosen mata kuliah
tersebut dengan judul “Analisis Unsur-unsur Intrinsik dan
Ekstrinsik dalam Drama Bapak Karya B. Soenarto”.
Makalah ini disusun berdasarkan referensi yang telah
ada sebelumnya di mana dalam pembahasannya lebih menitikberatkan pada cakupan
materi yang diambil dari berbagai sumber kepustakaan sehigga dalam penyusunannya
boleh dikatakan sempurna dalam hal cakupan serta penggunaan bahasa yang lebih
sederhana sehingga lebih mudah untuk dimengerti dan dipahami maksud dari
penyajian materi secara keseluruhan.
Penulis menyampaikan banyak terimah kasih kepada
seluruh kerabat kerja yang telah banyak membantu dalam penyusunan makalah ini,
sehingga penyusunan makalah ini dapat terselesaiakn tepat pada waktunya. Ucapan
terima kasih juga penulis sampaikan kepada dosen mata kuliah Kajian Prosa Fiksi yang telah
memberikan banyak bimbingan sehingga dalam penulisan makalah ini tak satu pun
ditemui adanya kesulitan.
Akhir kata penulis berharap agar makalah ini dapat
berguna bagi semua pihak, khususnya bagi mahasiswa untuk lebih meningkatkan
pengetahuan dan prestasi yang dimilikinya terutama pada mata kuliah Kajian Prosa Fiksi.
Kendari, Mei 2012
Penyusun
DAFTAR
ISI
HALAMAN
JUDUL
Halaman
KATA PENGANTAR................................................................. i
DAFTAR ISI............................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar belakang............................................................................................ 1
B.
Rumusan masalah....................................................................................... 2
C.
Tujuan ....................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A.
Drama ........................................................................................................ 3
B. Unsur
Intrinsik Drama............................................................................... 6
C. Unsur
Ekstrinsik Drama .......................................................................... 15
D. Analisis Unsur-unsur Drama Bapak......................................................... 20
BAB III PENUTUP
3.1
Kesimpulan............................................................................................ 51
3.2
Saran...................................................................................................... 51
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Sastra merupakan cabang seni yang
mengalami proses pertumbuhan sejalan dengan perputaran waktu dan perkembangan
pikiran masyarakat. Demikian pula sastra
Indonesia terus berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, karena sastra adalah
produk (sastrawan) yang lahir dengan
fenomena-fenomena yang ada dalam kehidupan masyarakat.
Salah satu jenis karya sastra
adalah prosa fiksi. Prosa fiksi merupakan karya sastra rekaan hasil perenungan seorang pengarang
atas suatu keadaan atau peristiwa yang diamati, dihayati, atau dialaminya. Cetusan ide atau hasil perenungan tersebut
dikemas dalam bahasa yang padat dan indah.
Sebagai salah satu karya sastra, prosa fiksi mempunyai dunia sendiri, yang
dibangun oleh unsur-unsur yang memiliki perpaduan seperti tema, alur atau plot,
tokoh dan penokohan, latar, sudut pandang, amanat, dan gaya bahasa, yang
selanjutnya disebut dengan unsur intrinsik.
Karya sastra (prosa fiksi) selain
menghibur dengan cara menyajikan keindahan, juga memberikan suatu yang bermakna
bagi kehidupan.
Dalam kaitannya dengan pembelajaran
sastra di sekolah, makalah ini dengan standar kompetensi menganalisis prosa
fiksi. Dengan demikian, pembelajaran
diharapkan dapat memberikan siswa pengetahuan yang luas dan memiliki sikap
positif terhadap karya sastra pada umumnya dan prosa fiksi pada khususnya. Serta dapat membantu siswa dalam memahami
lebih dalam tentang unsur-unsur intrinsik dalam prosa fiksi.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, maka
yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah unsur-unsur
intrinsik dalam cerpen Uang Jemputan karya Farizal Sikumbang?
1.3
Tujuan
Penelitian
ini bertujuan untuk mendeskripsikan unsur-unsur intrinsik dalam cerpen Uang
Jemputan karya Farizal Sikumbang.
1.4
Manfaat
Manfaat
yang diharapkan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Sumbangan
pemikiran dalam peningkatan pengajaran sastra pada umumnya dan prosa fiksi pada
khususnya.
2. Bahan
acuan bagi penulis selanjutnya yang bermaksud mengadakan penelitian yang lebih
luas dan mendalam tentang sastra pada umumnya dan prosa fiksi pada khususnya.
3. Memberi
gambaran bahwa unsur intrinsik dalam prosa fiksi merupakan sesuatu yang
bermanfaat di mana kita dapat mengetahui kelebihan dan kekurangan sebuah karya
prosa fiksi.
BAB II
PEMBAHASAN
Uang Jemputan
Oleh: Farizal Sikumbang
Aku
seperti seonggok batu yang bisu di malam hari.
Diam dan kaku. Tubuhku disepuh
cahaya bulan. Aku duduk di gubuk milik
Abak yang tak berdinding dan beratap daun rumbia. Udara dingin menyergap dari
berbagai arah. Entah sampai berapa lama
aku akan mampu bertahan dari udara malam ini.
Udara malam yang mengilu kulit sampai ke semua rusuk tulang. Juga sampai ke hati membuka diri untuk
membunuh rasa sepi dan pedih tak terperi ini.
Sebab bukankah kesedihan hati juga akan membuat suasana terkondisi?
Iya. Seperti malam ini entah apa. Kesedihan menyergap dari berbagai arah. Luka serasa semakin menyiksa karena malam yan
sunyi seperti sembilu yang turut melukai hati.
Tapi hanya malam dan di gubuk ini aku bisa merenung diri. Menimbang-nimbang nasib. Menyesali diri, mengapa dulu pindah ke
kampung halaman ini. Menyepelekan saran
sahabat dan kerabat. Kini aku
terperangkap dalam keputusan yang digulung adat. Mengunyah harapan dan mematikan
keinginan. Di bawah langit-langit yang
berbintang, berkali-kali berkelebat wajahmu sambil menusuk sepi ini. Wahai Faraswati, adakah engkau rasakan
deritaku ini?
***
Semua
berawal dari enam bulan yang lalu. Pada
sebuah perkenalan yang tak disengaja. Di
atas bus ANS pertama kali aku melihatmu.
Kala itu aku pulang ke Padang setelah pengajuan surat tugasku
dikabulkan. Kutahu engkau naik dari Bukittinggi pada pagi hari. Di kala kedua
mataku masih mengantuk dan tubuh terasa
penat setelah satu hari aku duduk di kursi bus itu.
Entah
sebuah kebetulan atau tidak. Kamu menghempaskan tubuh di tempat duduk di
sebelahku. Di antara kantukku yang masih menggantung, aroma tubuhmu
berputar-putar menusuk hidungku. Buru-buru aku sempat memperbaiki duduk.
Merapikan pakaian yang terlihat kusut. Meraba rambut supaya tidak kelihatan
semrawut. Faraswati, kau tahu, di masa itu aku sebenarnya gugup. Betapa tidak.
Engkau muncul di sisiku bagai bidadari di pagi hari. Tubuhmu ramping, kulitmu
putih bersih. Pakaian yang engkau kenakan memperlihatkan lekuk tubuhmu.
Maka
ketika bus melaju meninggalkan terminal Bukittinggi yang sempit itu, aku mulai
mencari kata untuk mengenalmu.
Di
dalam bus yang melaju. Berlari gegas menyusuri jalan berkelok. Kuperhatikan
wajahmu. Kamu seperti memikirkan sesuatu. Tatapanmu lurus ke depan
memperhatikan ujung-ujung jalan yang akan dilewati bus itu.
Tepat
pada jalan yang agak meluncur, kamu terlihat agak susah payah mengeluarkan
handphone di saku celana jeans-mu yang ketat. Lalu kamu mengutak-atik
handphone-mu itu. Sepertinya kamu ingin mengirimkan pesan
singkat buat seseorang. Setelah selesai kembali kau sorongkan handphone ke
dalam celana jeans-mu. Dan saat itulah, siku tanganmu menyentuh bahuku.
“Maaf,”
katamu pelan sambil sedikit tersenyum.
“Tak apa,” jawabku pula.
Lalu kamu kembali duduk seperti
semula. Menatap ke depan.
“Mau ke mana,” tanyaku.
“Ke Padang” jawabmu.
Aku terdiam mencoba mencari kata
kembali mengajakmu berbicara.
“Ke Padang tempat siapa?” begitu
kataku selanjutnya.
Sejenak engkau diam. Seperti
mencari sebuah jawaban.
“Ke rumah orang tua,” jawabmu.
“Lalu di Bukittinggi tempat siapa?”
“Tempat kakak.”
“O.”
“Kalau Uda dari mana?”
“Dari Medan,” jawabku.
“Dari Medan,” katamu pelan.
Lalu
selanjutnya kita terus berbicara berbagai hal. Menghabiskan jam demi jam. Sampai
kau ceritakan tentang dirimu yang akan segera wisuda di Universitas Negeri
Padang. Di atas bus yang menderu, kita bagai dua orang yang sudah lama cukup
kenal. Aku pun tak mengerti , mengapa kita lekas begitu akrab. Ketika kamu akan
turun di tempat tujuan, tidak lupa kuminta nomor handphone-mu.
***
Esok
harinya aku mencari rumahmu lewat SMS yang engkau kirim. Seperti seekor kumbang dengan sayap penuh
dengan bunga aku terbang menyusuri kampungmu.
Kutahu kampungmu masih dipenuhi sawah-sawah membentang. Ada jalan setapak dari simpang tiga yang
menuju ke rumahmu seperti yang kau tulis lewat SMS. Setelah terbang cukup lama akhirnya aku
menemukan rumahmu.
Rumahmu
berupa rumah panggung. Dipagari
bilah-bilah bambu yang melingkar.
Bunga-bunga mekar di dalamnya.
Setumpuk bunga mawar yang tumbuh di dekat anak tangga memperlihatkan
bunganya yang merah hati. Sewaktu
kuinjak anak tangga pertama, jantungku berdebar kencang membayangkan kamu akan
membukakan pintu dengan tersenyum. Tapi
ternyata tidak. Setelah pintu kuketuk,
ternyata bukan kamu yang membukakan pintu.
Akhirnya kutahu dia ayahmu.
Badannya kekar. Berkumis
tebal. Faraswati, di saat itu aku merasa
penakut. Namun setelah bicara dengan
ayahmu, nyatanya dia sangat baik.
Kebaikan
itu pulalah yang membuat aku di hari-hari berikutnya kembali ke rumahmu. Menemuimu di saat aku merasa seekor kumbang
yang ingin hinggap pada sekuntum bunga.
Hari dan bulan berlalu. Aku
seekor kumbang yang semakin mabuk harum bunga.
Akhirnya pada suatu malam, kita memutuskan untuk menikah.
***
“Menikah?
Dengan siapa? Anak siapa, ha? Di mana rumahnya?” Tanya Abak setelah kunyatakan
keinginanku itu.
“Rumahnya di Air Dingin.” Jawabku.
“Di
Air Dingin? Ham. Bagus, berarti masih
orang Minang juga. Kutakut, kau bawa
pula gadis Batak itu ke mari,” jawab Amak.
“Tidak-lah
Mak. Sewaktu bertugas di Medan. Sudah kutanamkan bahwa aku tak akan kawin di
sana.”
“Kalau
memang sudah begitu, kau suruhlah orang tuanya ke mari. Biar kita buat kesepakatan.”
“Iya Bak.”
***
Lalu
dua hari selanjutnya kedua orang tuamu datang.
Kuingat itu pada suatu malam. Di
dalam kamar, di antara hati yang berbunga-bunga aku berusaha mencuri percakapan
mereka. Ternyata di malam itu, semuanya
berubah. Semuanya seperti yang tidak
kita duga.
“Apa? Sepuluh juta?”
“Ya.”
“Bagaimana
kalau tiga juta. Karena kami tidak punya
uang sebanyak itu. Belum lagi uang untuk
pesta dan membeli perlengkapan lain.”
“Itu
sudah sepantasnya. Kalau tiga juta
itu-kan, untuk laki-laki yang tidak mempunyai pekerjaan tetap. Tapi anak kami seorang guru pegawai negeri. Kami rasa sepuluh juta itu sudah sepadan.”
“Terus
terang kami tidak bisa memenuhi uang jemputan sebanyak itu. Untuk saat ini kami mengalah. Uang itu terlalu besar buat kami.”
Lalu tidak berapa lama kemudian
kedua orang tuamu minta pamit diri.
***
“Abak,
mengapa jadi begitu? Mengapa harus ada uang jemputan sebanyak itu?” tanyaku.
“Sepuluh
juta itu sudah biasa Buyung. Kau tahu,
si Husen anak Pak Kahar yang bekerja
sebagai montir Honda dijemput lima juta.
Apalagi kau, seorang pegawai negeri.”
“Tapi
Abak, aku tak butuh uang sebanyak itu.
Aku punya uang untuk pesta pernikahanku.”
“Ini
soal adat dan harga diri Buyung. Apa
kata orang nanti? Masa anak seorang pegawai negeri tidak ada uang jemputan.”
“Itu kan lebih bagus Abak.”
“Tidak. Tidak ada uang jemputan itu lebih tidak
bagus. Pokoknya uang jemputannya
sebanyak itu. Jika tidak, jangan harap
kau bisa menikah dengannya. Kau sudah
susah payah aku sekolahkan. Biayamu
terlalu besar. Kau tahu.”
***
Malam
itu aku tidak bisa tidur. Aku
mondar-mandir di kamar seperti orang yang kesurupan. Hatiku gelisah. Ruangan kamar itu berubah seperti sebuah
petakan yang siap hendak menjepit tubuhku.
Setelah lelah berputar, aku akhirnya menghempaskan diri di atas
kasur. Tidak lama kemudian kuterima
kiriman SMS-mu.
“Uda, ayah sudah
pulang dari rumah Uda. Ayah sudah
menceritakan semuanya. Katanya ayah
tidak punya sebanyak itu. Itu memang
benar. Ayah beberapa bulan yang lalu
sudah menjual satu ekor sapinya untuk uang wisudaku yang lalu. Kami bukan orang kaya Uda. Jadi bagaimana kami bisa memenuhi uang
sebanyak itu? Aku bingung Uda. Apakah
kasih kita akan patah sampai di sini? Aku tunggu jawaban Uda.”
Begitu
bunyi SMS-mu yang semakin membuat mataku tidak bisa dipejamkan malam itu.
***
Kini,
di malam ini aku belum juga bisa membalas SMS-mu itu. Aku tidak bisa memutuskan apa-apa. Aku tidak bisa menentang Abak. Aku benar-benar menjelma seperti batu. Diam dan kaku. Oh Faraswati, di bawah cahaya bulan, di dalam
gubuk tak berdinding ini kuharap kau mengerti deritaku ini.
Sumber: Kompas, 6
Januari 2008
2.1
Tema
Menurut Ensiklopedi Sastra Indonesia, tema
adalah gagasan, ide pokok, atau pokok persoalan yang menjadi dasar cerita. Kata
tema berasal dari bahasa latin theme yang
berarti pokok pikiran. Tema merupakan
gagasan atau ide sentral yang menjadi pangkal tolak penyusunan cerita
(Darmawati, dkk, 2008: 19).
2.1.1 Jenis-jenis Tema
Berdasarkan
pokok pembicaraan, tema dapat dibedakan menjadi tema jasmaniah, tema organik,
tema sosial, tema egoik dan tema ketuhanan.
Tema jasmaniah adalah tema yang berkaitan dengan keadaan jasmani
manusia, yaitu mempunyai fokus pada manusia sebagai molekul, zat, dan
jasad. Tema organik adalah tema yang
mencakup hal-hal yang berhubungan dengan moral manusia, misalnya tentang
hubungan antarmanusia, antar pria dan wanita.
Tema sosial adalah tema yang mencakup masalah sosial, yaitu hal-hal di
luar masalah pribadi, yang jelasnya dalam tema ini, dibahas mengenai kehidupan
manusia sebagai makhluk sosial, yaitu interaksinya dengan masyarakat. Tema egoik adalah tema yang mencakup
reaksi-reaksi pribadi manusia sebagai individu yang senantiasa menuntut
pengakuan atas hak individualitasnya, tentunya dalam kedudukannya sebagai
makhluk individu, manusia mempunyai permasalahan dan konflik, misalanya
perbedaan pendapat. Tema ketuhanan
adalah tema yang mencakup kondisi dan situasi manusia sebagai makhluk ciptaan
Tuhan, yaitu hubungan antar manusia dengan Tuhannya.
Berdasarkan
ketradisian, tema dibedakan menjadi tema tradisional, dan tema
nontradisional. Tema tradisional adalah
tema yang berkaitan dengan kejahatan dan kebenaran. Tema nontradisional adalah tema yang
mempunyai ide utama yang melawan arus atau tidak lazim.
Berdasarkan
cakupan, tema dibedakan atas tema pokok, dan tema tambahan. Tema pokok adalah tema yang mengandung makna
pokok cerita yang terdapat dalam keseluruhan bagian. Tema tambahan adalah tema yang mangandung
makna pokok cerita yang terdapat pada bagian tertentu saja.
2.1.2 Analisis Tema dalam Cerpen Uang
Jemputan
Jika dilihat
berdasarkan pokok pembicaraan, tema yang terdapat dalam cerpen ini adalah tema
egoik “Uang Jemputan”, karena cerpen
ini mencakup reaksi pribadi manusia sebagai individu yang menuntut pengakuan
atas hak individualitasnya, di mana manusia mempunyai permasalahan dan konflik
misalnya perbedaan pendapat. Hal
tersebut dapat dilihat dari kutipan cerpen berikut:
“Abak, mengapa jadi begitu? Mengapa harus ada
uang jemputan sebanyak itu?” tanyaku.
“Sepuluh
juta itu sudah biasa Buyung. Kau tahu,
si Husen anak Pak Kahar yang bekerja
sebagai montir Honda dijemput lima juta.
Apalagi kau, seorang pegawai negeri.”
“Tapi
Abak, aku tak butuh uang sebanyak itu.
Aku pumya uang untuk pesta pernikahanku.”
“Ini
soal adat dan harga diri Buyung. Apa
kata orang nanti? Masa anak seorang pegawai negeri tidak ada uang jemputan.”
“Itu kan lebih bagus Abak.”
“Tidak. Tidak ada uang jemputan itu lebih tidak
bagus. Pokoknya uang jemputannya
sebanyak itu. Jika tidak, jangan harap
kau bisa menikah dengannya. Kau sudah
susah payah aku sekolahkan. Biayamu terlalu
besar. Kau tahu.”
Jika dilihat dari segi ketradisian,
tema yang terdapat dalam cerpen ini adalah tema nontradisional “Cinta yang Terhalang Adat”, karena ide
utamanya melawan arus yang tidak lazim, di mana pembaca merasa kecewa karena
jalan ceritanya tidak sesuai harapannya.
Hal ini dapat dilihat dari kutipan cerpen berikut:
Lalu
dua hari selanjutnya kedua orang tuamu datang.
Kuingat itu pada suatu malam. Di
dalam kamar, di antara hati yang berbunga-bunga aku berusaha mencuri percakapan
mereka. Ternyata di malam itu, semuanya
berubah. Semuanya seperti yang tidak
kita duga.
“Apa? Sepuluh juta?”
“Ya.”
“Bagaimana
kalau tiga juta. Karena kami tidak punya
uang sebanyak itu. Belum lagi uang untuk
pesta dan membeli perlengkapan lain.”
“Itu
sudah sepantasnya. Kalau tiga juta
itu-kan, untuk laki-laki yang tidak mempunyai pekerjaan tetap. Tapi anak kami seorang guru pegawai
negeri. Kami rasa sepuluh juta itu sudah
sepadan.”
“Terus
terang kami tidak bisa memenuhi uang jemputan sebanyak itu. Untuk saat ini kami mengalah. Uang itu terlalu besar buat kami.”
Jika dilihat dari segi cakupan,
tema yang terdapat dalam cerpen ini adalah tema pokok “Kasih Tak Sampai”, makna pokok cerita yang menjadi gagasan umum
terdapat dalam keseluruhan bagian. Hal
ini dapat dilihat dari kutipan cerpen berikut:
“Uda, ayah sudah pulang dari rumah Uda.
Ayah sudah menceritakan semuanya.
Katanya ayah tidak punya sebanyak itu.
Itu memang benar. Ayah beberapa
bulan yang lalu sudah menjual satu ekor sapinya untuk uang wisudaku yang
lalu. Kami bukan orang kaya Uda. Jadi bagaimana kami bisa memenuhi uang
sebanyal itu? Aku bingung Uda. Apakah
kasih kita akan patah sampai di sini? Aku tunggu jawaban Uda.”
Begitu
bunyi SMS-mu yang semakin membuat mataku tidak bisa dipejamkan malam itu.
***
Kini,
di malam ini aku belum juga bisa membalas SMS-mu itu. Aku tidak bisa memutuskan apa-apa. Aku tidak bisa menentang Abak. Aku benar-benar menjelma seperti batu. Diam dan kaku. Oh Faraswati, di bawah cahaya bulan, di dalam
gubuk tak berdinding ini kuharap kau mengerti deritaku ini.
2.2
Alur atau Plot
Alur
merupakan rangkaian peristiwa yang membentuk sebuah cerita. Peristiwa-peristiwa tersebut saling
berhubungan satu dengan yang lain secara runtut sehingga terjalin suatu cerita
yang bulat (Darmawati, dkk, 2009: 99).
Alur merupakan jalan cerita yang dibuat oleh pengarang dalam menjalin
kejadian secara beruntun dengan memerhatikan sebab-akibat sehingga merupakan
satu kesatuan yang bulat (Rohmadi, Muhammad & Kusumawati, 2008: 58).
Forster
dalam Aspec of Novel
mengartikan alur atau jalan cerita sebagai
sebuah narasi berbagai kejadian yang sengaja disusun berdasarkan urutan waktu.
Atau peristiwa demi peristiwa yang susul menyusul. Sedangkan plot adalah hubungan kausalitas (sebab-akibat) sebuah
peristiwa dengan peristiwa yang mendahuluinya atau peristiwa setelahnya. Bahasa
sederhananya, hubungan sebab-akibat antarperistiwa dalam sebuah cerita.
2.2.1 Jenis-jenis Alur
Alur terdiri atas tiga macam, yaitu
alur maju, alur mundur, dan alur campuran.
Alur maju adalah alur yang menampilakan peristiwa dari awal sampai
akhir. Alur mundur adalah alur yang
menampilakan peristiwa, di mana peristiwa yang menjadi bagian penutup
diutarakan terlebih dahulu, baru menceritakan peristiwa pokok melalaui kenangan
salah satu tokoh. Alur gabungan adalah
alur yang menampilkan peristiwa, di mana peristiwa pokok diutarakan dengan
mengajak pembaca mengenang peristiwa yang lampau kemudian kembali ke peristiwa
pokok lagi (Darmawati, dkk. 2009: 99).
2.2.2 Unsur Pembangun Plot
Seperti yang telah disebutkan di
awal, plot dibangun oleh unsur peristiwa. Namun, sebuah peristiwa tidak begitu
saja hadir. Tanpa adanya konflik, sebuah peristiwa hanya akan menjadi narasi
tak sempurna. Setiap konflik akan bergerak menuju titik intensitas tertinggi,
di mana pertentangan tak dapat lagi dihindari. Itulah yang disebut sebagai
klimaks. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sebuah plot dibangun oleh
peristiwa, konflik, dan klimaks.
2.2.3 Kaidah Pengembangan Plot
Yang dimaksud
dengan kaidah plot dalam hubungan ini merupakan generalisasi yang diambil dari
kenyataan-kenyataan praktis yang umum dilakukan oleh penulis-penulis (besar)
sepanjang zaman, dalam membentuk alur cerita karya yang mereka hasilkan. Dalam buku How to
Analyze Fiction, Kenny mengemukakan kaidah-kaidah pemlotan meliputi masalah
plausibilitas (plausibility), adanya unsur rasa ingin tahu (suspense), kejutan
(suprise), dan kesatupaduan (unity).
1. Kemasukakalan
atau Plausibilitas
Singkatnya, plausibilitas memiliki pengertian suatu hal yang dapat
dipercaya sesuai dengan logika cerita. Plot sebuah cerita harus memiliki sifat
plausibel atau dapat dipercaya oleh pembaca. Pengembangan cerita yang tak
plausibel dapat membingungkan dan meragukan pembaca. Sebuah cerita dikatakan memiliki sifat
plausibel jika tokoh-tokoh cerita dan dunianya dapat diimajinasikan dan jika
para tokoh dan dunianya tersebut serta peristiwa-peristiwa yang dikemukakan
mungkin saja dapat terjadi.
2. Suspense
Suspense memiliki
pengertian pada adanya perasaan semacam kurang pasti terhadap
peristiwa-peristiwa yang akan terjadi, khususnya yang menimpa tokoh protagonis
atau yang diberi simpati oleh pembaca.
3.Suprise
Surprise adalah sesuatu yang berfungsi untuk memperlambat tercapainya klimaks atau
sebaliknya untuk mempercepat tercapainya klimaks.
4. Keutuhan
Keutuhan memiliki pengertian keberkaitan unsur-unsur yang
ditampilkan, khususnya peristiwa-peristiwa fungsional, kaitan, dan acuan, yang
mengandung konflik atau pengalaman kehidupan yang hendak disampaikan.
2.2.4 Penahapan Alur
Tahapan
alur sebuah cerita dibagi atas beberapa bagian, antara lain paparan, konflik,
klimaks, leraian, penyelesaian (Darmawati,
dkk. 2009: 99).
1.
Paparan, yaitu bagian alur yang bertujuan
memperkenalkan cerita, tokoh, dan latar.
2.
Konflik, bagian alur yang menggambarkan
cerita di mana tokoh terlibat dalam permasalahan.
3.
Klimaks. Yaitu bagian alur yang
menggambarkan puncak dari permasalahan yang terjadi.
4.
Leraian, yaitu bagian alur yang
menggambarkan akhir dari permasalahan yang terjadi.
5.
Penyelesaian, yaitu bagian alur yang
menggambarkan konflik telah berakhir dan telah menghasilkan keputusan, serta
menandakan bahwa cerita akan segera usai.
2.2.5 Analisis Alur dan Plot dalam Cerpen Uang
Jemputan
Jenis alur yang terdapat dalam
cerpen ini adalah alur mundur, karena bagian akhir dari cerpen ini diutarakan
terlebih dahulu. Hal ini dapat dilihat
dari kutipan cerpen berikut:
“Aku
seperti seonggok batu yang bisu di malam hari.
Diam dan kaku. Tubuhku disepuh
cahaya bulan. Aku duduk di gubuk milik
Abak yang tak berdinding dan beratap daun rumbia. Udara dingin menyergap dari berbagai
arah. Entah sampai berapa lama aku akan
mampu bertahan dari udara malam ini.
Udara malam yang mengilu kulit sampai ke semua rusuk tulang. Juga sampai ke hati membuka diri untuk
membunuh rasa sepi dan pedih tak terperi ini.
Sebab bukankah kesedihan hati juga akan membuat suasana terkondisi?”
…
“Semua
berawal dari enam bulan yang lalu. Pada
sebuah perkenalan yang tak disengaja. Di
atas bus ANS pertama kali aku melihatmu.
Kala itu aku pulang ke Padang setelah pengajuan surat tugasku
dikabulkan. Kutahu engkau naik dari Bukittinggi pada pagi hari. Di kala kedua
mataku masih mengantuk dan tubuh terasa
penat setelah satu hari aku duduk di kursi bus itu.”
Struktur alur yang terdapat dalam
cerpen Uang Jemputan yaitu sebagai
berikut:
1.
Paparan, yaitu bagian alur yang
bertujuan memperkenalkan cerita, tokoh, dan latar. Hal ini dapat dilihat dari beberapa kutipan
cerpen berikut:
“Aku seperti seonggok batu yang bisu di malam hari. Diam dan kaku. Tubuhku disepuh cahaya bulan. Aku duduk di gubuk milik Abak yang tak berdinding
dan beratap daun rumbia.”
…
“Semua berawal
dari enam bulan yang lalu. Pada sebuah
perkenalan yang tak disengaja. Di atas
bus ANS pertama kali aku melihatmu. Kala
itu aku pulang ke Padang setelah pengajuan surat tugasku dikabulkan. Kutahu
engkau naik dari Bukittinggi pada pagi hari. Di kala kedua mataku masih mengantuk dan tubuh terasa penat
setelah satu hari aku duduk di kursi bus itu.”
…
“Faraswati, kau
tahu, di masa itu aku sebenarnya gugup. Betapa tidak. Engkau muncul di sisiku
bagai bidadari di pagi hari. Tubuhmu ramping, kulitmu putih bersih. Pakaian
yang engkau kenakan memperlihatkan lekuk tubuhmu.”
…
“Rumahmu berupa
rumah panggung. Dipagari bilah-bilah
bambu yang melingkar. Bunga-bunga mekar
di dalamnya. Setumpuk bunga mawar yang
tumbuh di dekat anak tangga memperlihatkan bunganya yang merah hati.”
…
“Akhirnya kutahu
dia ayahmu. Badannya kekar. Berkumis tebal. Faraswati, di saat itu aku merasa
penakut. Namun setelah bicara dengan
ayahmu, nyatanya dia sangat baik.”
2.
Konflik, bagian alur yang menggambarkan
cerita di mana tokoh terlibat dalam permasalahan. Hal ini dapat dilihat dari kutipan cerpen
berikut:
“Menikah?
Dengan siapa? Anak siapa, ha? Di mana rumahnya?” Tanya Abak setelah kunyatakan
keinginanku itu.
“Rumahnya
di Air Dingin.” Jawabku.
“Di
Air Dingin? Ham. Bagus, berarti masih
orang Minang juga. Kutakut, kau bawa
pula gadis Batak itu ke mari,” jawab amak.
“Tidak-lah
Mak. Sewaktu bertugas di Medan. Sudah kutanamkan bahwa aku tak akan kawin di
sana.”
“Kalau
memang sudah begitu, kau suruhlah orang tuanya ke mari. Biar kita buat kesepakatan.”
“Iya
Bak.”
3.
Klimaks. Yaitu bagian alur yang
menggambarkan puncak dari permasalahan yang terjadi. Hal ini dapat dilihat dari kutipan cerpen
berikut:
“Apa?
Sepuluh juta?”
“Ya.”
“Bagaimana
kalau tiga juta. Karena kami tidak punya
uang sebanyak itu. Belum lagi uang untuk
pesta dan membeli perlengkapan lain.”
“Itu
sudah sepantasnya. Kalau tiga juta
itu-kan, untuk laki-laki yang tidak mempunyai pekerjaan tetap. Tapi anak kami seorang guru pegawai negeri. Kami rasa sepuluh juta itu sudah sepadan.”
“Terus
terang kami tidak bisa memenuhi uang jemputan sebanyak itu. Untuk saat ini kami mengalah. Uang itu terlalu besar buat kami.”
4.
Leraian, yaitu bagian alur yang
menggambarkan akhir dari permasalahan yang terjadi. Hal ini dapat dilihat dari kutipan cerpen
berikut:
“Abak,
mengapa jadi begitu? Mengapa harus ada uang jemputan sebanyak itu?” tanyaku.
“Sepuluh
juta itu sudah biasa Buyung. Kau tahu,
si Husen anak Pak Kahar yang bekerja
sebagai montir Honda dijemput lima juta.
Apalagi kau, seorang pegawai negeri.”
“Tapi
Abak, aku tak butuh uang sebanyak itu.
Aku pumya uang untuk pesta pernikahanku.”
“Ini
soal adat dan harga diri Buyung. Apa
kata orang nanti? Masa anak seorang pegawai negeri tidak ada uang jemputan.”
“Itu
kan lebih bagus Abak.”
“Tidak. Tidak ada uang jemputan itu lebih tidak
bagus. Pokoknya uang jemputannya
sebanyak itu. Jika tidak, jangan harap
kau bisa menikah dengannya. Kau sudah
susah payah aku sekolahkan. Biayamu
terlalu besar. Kau tahu.”
***
Malam
itu aku tidak bisa tidur. Aku
mondar-mandir di kamar seperti orang yang kesurupan. Hatiku gelisah. Ruangan kamar itu berubah seperti sebuah petakan
yang siap hendak menjepit tubuhku.
Setelah lelah berputar, aku akhirnya menghempaskan diri di atas
kasur. Tidak lama kemudian kuterima
kiriman SMS-mu.
“Uda, ayah sudah pulang dari rumah Uda. Ayah sudah menceritakan semuanya. Katanya ayah tidak punya sebanyak itu. Itu memang benar. Ayah beberapa bulan yang lalu sudah menjual
satu ekor sapinya untuk uang wisudaku yang lalu. Kami bukan orang kaya Uda. Jadi bagaimana kami bisa memenuhi uang
sebanyak itu? Aku bingung Uda. Apakah
kasih kita akan patah sampai di sini? Aku tunggu jawaban Uda.”
Begitu
bunyi SMS-mu yang semakin membuat mataku tidak bisa dipejamkan malam itu.
5.
Penyelesaian, yaitu bagian alur yang
menggambarkan konflik telah berakhir dan telah menghasilkan keputusan, serta
menandakan bahwa cerita akan segera usai.
Hal ini dapat dilihat dari kutipan cerpen berikut:
“Kini,
di malam ini aku belum juga bisa membalas SMS-mu itu. Aku tidak bisa memutuskan apa-apa. Aku tidak bisa menentang Abak. Aku benar-benar menjelma seperti batu. Diam dan kaku. Oh Faraswati, di bawah cahaya bulan, di dalam
gubuk tak berdinding ini kuharap kau mengerti deritaku ini.”
…
“Aku
seperti seonggok batu yang bisu di malam hari.
Diam dan kaku. Tubuhku disepuh
cahaya bulan. Aku duduk di gubuk milik
Abak yang tak berdinding dan beratap daun rumbia. Udara dingin menyergap dari berbagai
arah. Entah sampai berapa lama aku akan mampu
bertahan dari udara malam ini. Udara
malam yang mengilu kulit sampai ke semua rusuk tulang. Juga sampai ke hati membuka diri untuk
membunuh rasa sepi dan pedih tak terperi ini.
Sebab bukankah kesedihan hati juga akan membuat suasana terkondisi?”
2.3
Tokoh dan Penokohan
2.3.1
Tokoh
Tokoh
merupakan pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita fiksi sehingga peristiwa
itu mampu menjalin cerita, atau tokoh ialah pelaku dalam karya sastra (Rohmadi
dan Kusumawati, 2008: 58). Tokoh
merupakan individu yang ada dalam karya sastra (Darmawati, dkk, 2009: 20).
Dilihat
dari segi peranan atau tingkat pentingnya tokoh dalam cerita, tokoh dibagi
menjadi tokoh utama dan tokoh tambahan.
1. Tokoh
utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam cerita yang
bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai
pelaku kejadian maupun dikenai kejadian.
2. Tokoh
tambahan adalah tokoh yang hanya muncul sedikit dalam cerita atau tidak
dipentingkan dan kehadirannya hanya jika ada keterkaitannya dengan tokoh utama,
secara langsung ataupun tak langsung dan hanya tampil menjadi latar belakang
cerita.
Dilihat
dari fungsi penampilan tokoh, tokoh dapat dibedakan menjadi tokoh protagonis
dan tokoh antagonis.
1. Tokoh
protagonis adalah tokoh yang kita kagumi. Ia merupakan tokoh yang taat
norma-norma, nilai-nilai yang ideal bagi kita.
2. Tokoh
antagonis adalah tokoh yang menyebabkan konflik.
Berdasarkan
perwatakannya, tokoh dibedakan menjadi tokoh sederhana dan tokoh bulat.
1. Tokoh
sederhana adalah tokoh yang hanya memiliki satu kualitas pribadi tertentu atau
sifat watak yang tertentu saja, bersifat datar dan monoton.
2. Tokoh
bulat adalah tokoh yang menunjukan berbagai segi baik buruknya, kelebihan dan
kelemahannya. Jadi, ada perkembangan yang terjadi pada tokoh ini.
Berdasarkan
kriteria berkembang atau tidaknya perwatakan tokoh, tokoh dibedakan menjadi
tokoh statis dan tokoh berkembang.
1. Tokoh
statis adalah tokoh cerita yang secara esensial tidak mengalami perubahan
perkembangan perwatakan sebagai akibat adanya peristiwa-peristiwa yang terjadi.
2. Tokoh
berkembang adalah tokoh yang cenderung akan menjadi tokoh yang kompleks. Hal
itu disebabkan adanya berbagai perubahan dan perkembangan sikap, dan tingkah
laku.
Berdasarkan
kemungkinan pencerminan tokoh cerita terhadap sekelompok manusia dalam
kehidupan nyata, tokoh dapat dibedakan menjadi tokoh tipikal dan tokoh netral.
1. Tokoh
tipikal adalah tokoh yang hanya sedikit ditampilkan kedaan individualitasnya,
dan lebih ditonjokan kualitas kebangsaannya atau pekerjaannya atau sesuatu yang
lain yang bersifat mewakili.
2. Tokoh
netral adalah tokoh yang bereksistensi dalam cerita itu sendiri. Ia merupakan
tokoh imajiner yang hanya hidup dan bereksistensi dalam dunia fiksi.
Dilihat
dari segi keterlibatannya dalam menggerakan alur, tokoh dibedakan menjadi tokoh
sentral, tokoh bawahan, dan tokoh latar.
1. Tokoh
sentral adalah tokoh yang amat potensial menggerakan alur dan merupakan pusat
cerita, dan penyebab munculnya konflik.
2. Tokoh
bawahan merupakan tokoh yang tidak begitu besar pengaruhnya terhadap
perkembangan alur, walaupun ia terlibat juga dalam pengembangan alur itu.
3. Tokoh
latar merupakan tokoh yang sangat sekali tidak berpengaruh terhadap
pengembangan alur. Kehadirannya sebagai pelengkap latar, berfungsi menghidupkn
latar
2.3.2
Penokohan
Penokohan
adalah cara pengarang menggambarkan atau melukiskan tokoh dalam cerita yang
ditulisnya (Darmawati, dkk, 2009: 20). Dalam penokohan, watak atau karakter
seorang tokoh dapat dilihat melalui dialog tokoh, penjelasan tokoh dan
penggambaran fisik.
Penokohan
terdiri atas tiga fariasi, yaitu teknik ekspositori
atau teknik analitis, teknik dramatik, dan teknik identifikasi tokoh.
1. Teknik
ekspositori adalah teknik pelukisan
tokoh cerita yang dilakukan dengan memberikan deskripsi, uraian, atau
penjelasan secara langsung. Hal semacam ini biasanya terdapat pada tahap perkenalan.
2. Teknik
dramatik adalah teknik pelukisan
tokoh cerita yang pengarangnya tidak mendeskripsikan secara eksplisit sifat dan
sikap serta tingkah laku tokoh. Sifatnya lebih sesuai dengan sisi kehidupan
nyata.
3.
Teknik identifikasi tokoh adalah teknik penggamabaran tokoh dengan
mengidentifikasi kedirian tokoh-tokoh secara cermat.
2.3.3
Analisis Tokoh dan Penokohan dalam Cerpen Uang
Jemputan
1.
Analisis Tokoh
Tokoh-tokoh
yang terdapat dalam cerpen Uang Jemputan
adalah sebagai berikut:
1. Faraswati
2. Buyung
(tokoh aku)
3. Abak
(Ayah Buyung)
4. Amak
(Ibu Buyung)
5. Ayah
Faraswati
6. Ibu
Faraswati
7. Kakak
Faraswati
8. Husen
9. Pak
Kahar
10. Sahabat
dan kerabat Buyung
1.
Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan
penceritaannya dalam cerita yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling banyak
diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun dikenai kejadian. Tokoh utama dalam cerpen Uang Jemputan ialah Buyung
(tokoh aku). Hal ini dapat dilihat dari
kutipan-kutipan cerpen berikut:
“Aku
seperti seonggok batu yang bisu di malam hari.
Diam dan kaku. Tubuhku disepuh
cahaya bulan.”
…
“Tapi
hanya malam dan di gubuk ini aku bisa merenung diri. Menimbang-nimbang nasib.”
…
“Itu
sudah sepantasnya. Kalau tiga juta
itu-kan, untuk laki-laki yang tidak mempunyai pekerjaan tetap. Tapi anak kami seorang guru pegawai
negeri. Kami rasa sepuluh juta itu sudah
sepadan.”
“Malam
itu aku tidak bisa tidur. Aku
mondar-mandir di kamar seperti orang yang kesurupan. Hatiku gelisah. Ruangan kamar itu berubah seperti sebuah
petakan yang siap hendak menjepit tubuhku.”
…
“Kini,
di malam ini aku belum juga bisa membalas SMS-mu itu. Aku tidak bisa memutuskan apa-apa. Aku tidak bisa menentang Abak. Aku benar-benar menjelma seperti batu. Diam dan kaku. Oh Faraswati, di bawah cahaya bulan, di dalam
gubuk tak berdinding ini kuharap kau mengerti deritaku ini.”
2. Tokoh
tambahan adalah tokoh yang hanya muncul sedikit dalam cerita atau tidak
dipentingkan dan kehadirannya hanya jika ada keterkaitannya dengan tokoh utama,
secara langsung ataupun tak langsung dan hanya tampil menjadi latar belakang
cerita. Tokoh tambahan dalam cerpen ini
adalah Husen, Pak Kahar, sahabat dan
kerabat Buyung. Hal ini dapat dilihat dari
kutipan-kutipan cerpen berikut:
“Menyesali
diri, mengapa dulu pindah ke kampung halaman ini. Menyepelekan saran sahabat dan kerabat. Kini aku terperangkap dalam keputusan yang
digulung adat.”
…
“Kau
tahu, si Husen anak Pak Kahar yang
bekerja sebagai montir Honda dijemput lima juta.”
3.
Tokoh protagonis adalah tokoh yang kita
kagumi. Ia merupakan tokoh yang taat norma-norma, nilai-nilai yang ideal bagi
kita. Tokoh protagonis dalam cerpen Uang Jemputan adalah Buyung (tokoh aku). Hal ini dapat dilihat dari kutipan cerpen
berikut:
“Aku
seperti seonggok batu yang bisu di malam hari.
Diam dan kaku. Tubuhku disepuh
cahaya bulan. Aku duduk di gubuk milik
Abak yang tak berdinding dan beratap daun rumbia. Udara dingin menyergap dari berbagai
arah. Entah sampai berapa lama aku akan
mampu bertahan dari udara malam ini.
Udara malam yang mengilu kulit sampai ke semua rusuk tulang. Juga sampai ke hati membuka diri untuk
membunuh rasa sepi dan pedih tak terperi ini.”
…
“Iya. Seperti malam ini entah apa. Kesedihan menyergap dari berbagai arah. Luka serasa semakin menyiksa karena malam
yang sunyi seperti sembilu yang turut melukai hati. Tapi hanya malam dan di gubuk ini aku bisa
merenung diri. Menimbang-nimbang nasib. Menyesali diri, mengapa dulu pindah ke
kampung halaman ini. Menyepelekan saran
sahabat dan kerabat. Kini aku
terperangkap dalam keputusan yang digulung adat. Mengunyah harapan dan mematikan keinginan.”
…
“Abak,
mengapa jadi begitu? Mengapa harus ada uang jemputan sebanyak itu?” tanyaku.
4.
Tokoh antagonis adalah tokoh yang
menyebabkan konflik. Tokoh antagonis
dalam cerpen Uang Jemputan adalah Abak (Ayah Buyung). Hal ini dapat dilihat dari kutipan cerpen
berikut:
“Menikah?
Dengan siapa? Anak siapa, ha? Di mana rumahnya?” Tanya Abak setelah kunyatakan
keinginanku itu.
…
“Kalau
memang sudah begitu, kau suruhlah orang tuanya ke mari. Biar kita buat kesepakatan.”
…
“Itu
sudah sepantasnya. Kalau tiga juta
itu-kan, untuk laki-laki yang tidak mempunyai pekerjaan tetap. Tapi anak kami seorang guru pegawai
negeri. Kami rasa sepuluh juta itu sudah
sepadan.”
5.
Tokoh sederhana adalah tokoh yang hanya
memiliki satu kualitas pribadi tertentu atau sifat watak yang tertentu saja,
bersifat datar dan monoton. Tokoh
sederhana dalam cerpen Uang Jemputan adalah
Faraswati. Hal ini dapat dilihat dari
kutipan-kutipan cerpen berikut:
“Maaf,”
katamu pelan sambil sedikit tersenyum.
“Tak apa,” jawabku pula.
Lalu kamu kembali duduk seperti
semula. Menatap ke depan.
“Mau ke mana,” tanyaku.
“Ke Padang” jawabmu.
Aku terdiam mencoba mencari kata
kembali mengajakmu berbicara.
“Ke Padang tempat siapa?” begitu
kataku selanjutnya.
Sejenak engkau diam. Seperti
mencari sebuah jawaban.
“Ke rumah orang tua,” jawabmu.
“Lalu di Bukittinggi tempat siapa?”
“Tempat kakak.”
‘O.”
“Kalau Uda dari mana?”
“Dari Medan,” jawabku.
“Dari
Medan,” katamu pelan.”
…
“Tidak lama kemudian kuterima
kiriman SMS-mu.
“Uda,
ayah sudah pulang dari rumah Uda. Ayah
sudah menceritakan semuanya. Katanya
ayah tidak punya sebanyak itu. Itu
memang benar. Ayah beberapa bulan yang
lalu sudah menjual satu ekor sapinya untuk uang wisudaku yang lalu. Kami bukan orang kaya Uda. Jadi bagaimana kami bisa memenuhi uang
sebanyal itu? Aku bingung Uda. Apakah
kasih kita akan patah sampai di sini? Aku tunggu jawaban Uda.”
6.
Tokoh bulat adalah tokoh yang menunjukan
berbagai segi baik buruknya, kelebihan dan kelemahannya. Jadi, ada perkembangan
yang terjadi pada tokoh ini. Tokoh bulat
dalam cerpen Uang Jemputan adalah ayah Faraswati. Hal ini dapat dilihat dari kutipan cerpen
berikut:
“Akhirnya
kutahu dia ayahmu. Badannya kekar. Berkumis tebal. Faraswati, di saat itu aku merasa
penakut. Namun setelah bicara dengan
ayahmu, nyatanya dia sangat baik.
Kebaikan
itu pulalah yang membuat aku di hari-hari berikutnya kembali ke rumahmu.”
…
“Bagaimana
kalau tiga juta. Karena kami tidak punya
uang sebanyak itu. Belum lagi uang untuk
pesta dan membeli perlengkapan lain.”
…
“Terus
terang kami tidak bisa memenuhi uang jemputan sebanyak itu. Untuk saat ini kami mengalah. Uang itu terlalu besar buat kami.”
Lalu
tidak berapa lama kemudian kedua orang tuamu minta pamit diri.
7.
Tokoh statis adalah tokoh cerita yang
secara esensial tidak mengalami perubahan perkembangan perwatakan sebagai
akibat adanya peristiwa-peristiwa yang terjadi.
Tokoh statis dalam cerpen Uang
Jemputan adalah Faraswati. Hal ini dapat dilihat dari kutipan cerpen
berikut:
“Sampai
kau ceritakan tentang dirimu yang akan segera wisuda di Universitas Negeri
Padang. Di atas bus yang menderu, kita bagai dua orang yang sudah lama cukup
kenal. Aku pun tak mengerti , mengapa kita lekas begitu akrab. Ketika kamu akan
turun di tempat tujuan, tidak lupa kuminta nomor handphone-mu.”
…
“Aku bingung Uda. Apakah kasih
kita akan patah sampai di sini? Aku tunggu jawaban Uda.”
8.
Tokoh berkembang adalah tokoh yang
cenderung akan menjadi tokoh yang kompleks. Hal itu disebabkan adanya berbagai
perubahan dan perkembangan sikap, dan tingkah laku. Tokoh berkembang dalam cerpen Uang Jemputan adalah Buyung
(tokoh aku). Hal ini dapat dilihat dari kutipan cerpen
berikut:
“Aku
seperti seonggok batu yang bisu di malam hari.
Diam dan kaku. Tubuhku disepuh
cahaya bulan. Aku duduk di gubuk milik
Abak yang tak berdinding dan beratap daun rumbia.”
…
“Semua
berawal dari enam bulan yang lalu. Pada
sebuah perkenalan yang tak disengaja. Di
atas bus ANS pertama kali aku melihatmu.
Kala itu aku pulang ke Padang setelah pengajuan surat tugasku
dikabulkan. Kutahu engkau naik dari Bukittinggi pada pagi hari. Di kala kedua
mataku masih mengantuk dan tubuh terasa
penat setelah satu hari aku duduk di kursi bus itu.”
…
“Esok
harinya aku mencari rumahmu lewat SMS yang engkau kirim. Seperti seekor kumbang dengan sayap penuh
dengan bunga aku terbang menyusuri kampungmu.
Kutahu kampungmu masih dipenuhi sawah-sawah membentang.”
…
“Abak,
mengapa jadi begitu? Mengapa harus ada uang jemputan sebanyak itu?” tanyaku.
“Sepuluh
juta itu sudah biasa Buyung. Kau tahu,
si Husen anak Pak Kahar yang bekerja
sebagai montir Honda dijemput lima juta.
Apalagi kau, seorang pegawai negeri.”
“Tapi
Abak, aku tak butuh uang sebanyak itu.
Aku pumya uang untuk pesta pernikahanku.”
…
“Kini,
di malam ini aku belum juga bisa membalas SMS-mu itu. Aku tidak bisa memutuskan apa-apa. Aku tidak bisa menentang Abak. Aku benar-benar menjelma seperti batu. Diam dan kaku. Oh Faraswati, di bawah cahaya bulan, di dalam
gubuk tak berdinding ini kuharap kau mengerti deritaku ini.”
9.
Tokoh tipikal adalah tokoh yang hanya
sedikit ditampilkan kedaan individualitasnya, dan lebih ditonjokan kualitas
kebangsaannya atau pekerjaannya atau sesuatu yang lain yang bersifat
mewakili. Tokoh tipikal dalam cerpen Uang Jemputan adalah Abak (Ayah Buyung). Hal ini dapat dilihat dari kutipan cerpen
berikut:
“Sepuluh
juta itu sudah biasa Buyung. Kau tahu,
si Husen anak Pak Kahar yang bekerja
sebagai montir Honda dijemput lima juta.
Apalagi kau, seorang pegawai negeri.”
…
“Ini
soal adat dan harga diri Buyung. Apa
kata orang nanti? Masa anak seorang pegawai negeri tidak ada uang jemputan.”
…
“Tidak. Tidak ada uang jemputan itu lebih tidak
bagus. Pokoknya uang jemputannya
sebanyak itu. Jika tidak, jangan harap
kau bisa menikah dengannya. Kau sudah
susah payah aku sekolahkan. Biayamu
terlalu besar. Kau tahu.”
10. Tokoh
netral adalah tokoh yang bereksistensi dalam cerita itu sendiri. Ia merupakan
tokoh imajiner yang hanya hidup dan bereksistensi dalam dunia fiksi. Tokoh netral dalam cerpen Uang Jemputan adalah Ibu Faraswati. Hal ini dapat dilihat dari kutipan cerpen
berikut:
“Lalu
dua hari selanjutnya kedua orang tuamu datang.
Kuingat itu pada suatu malam. Di
dalam kamar, di antara hati yang berbunga-bunga aku berusaha mencuri percakapan
mereka. Ternyata di malam itu, semuanya
berubah. Semuanya seperti yang tidak
kita duga.”
…
“Bagaimana
kalau tiga juta. Karena kami tidak punya
uang sebanyak itu. Belum lagi uang untuk
pesta dan membeli perlengkapan lain.”
…
“Terus
terang kami tidak bisa memenuhi uang jemputan sebanyak itu. Untuk saat ini kami mengalah. Uang itu terlalu besar buat kami.”
Lalu tidak berapa lama kemudian
kedua orang tuamu minta pamit diri.
11. Tokoh
sentral adalah tokoh yang amat potensial menggerakan alur dan merupakan pusat
cerita, dan penyebab munculnya konflik.
Tokoh sentral dalam cerpen Uang Jemputan
adalah Buyung (tokoh aku). Hal ini dapat dilihat dari kutipan cerpen
berikut:
“Aku
seperti seonggok batu yang bisu di malam hari.
Diam dan kaku. Tubuhku disepuh
cahaya bulan. Aku duduk di gubuk milik
Abak yang tak berdinding dan beratap daun rumbia. Udara dingin menyergap dari
berbagai arah. Entah sampai berapa lama
aku akan mampu bertahan dari udara malam ini.
Udara malam yang mengilu kulit sampai ke semua rusuk tulang. Juga sampai ke hati membuka diri untuk
membunuh rasa sepi dan pedih tak terperi ini.
Sebab bukankah kesedihan hati juga akan membuat suasana terkondisi?”
…
“Semua berawal dari enam bulan yang lalu. Pada sebuah perkenalan yang tak
disengaja. Di atas bus ANS pertama kali
aku melihatmu. Kala itu aku pulang ke
Padang setelah pengajuan surat tugasku dikabulkan. Kutahu engkau naik dari
Bukittinggi pada pagi hari. Di kala kedua mataku masih mengantuk dan tubuh terasa penat
setelah satu hari aku duduk di kursi bus itu. ”
…
“Esok
harinya aku mencari rumahmu lewat SMS yang engkau kirim. Seperti seekor kumbang dengan sayap penuh
dengan bunga aku terbang menyusuri kampungmu.
Kutahu kampungmu masih dipenuhi sawah-sawah membentang. Ada jalan setapak dari simpang tiga yang
menuju ke rumahmu seperti yang kau tulis lewat SMS. Setelah terbang cukup lama akhirnya aku
menemukan rumahmu.”
…
“Kebaikan
itu pulalah yang membuat aku di hari-hari berikutnya kembali ke rumahmu. Menemuimu di saat aku merasa seekor kumbang
yang ingin hinggap pada sekuntum bunga.
Hari dan bulan berlalu. Aku seekor
kumbang yang semakin mabuk harum bunga.
Akhirnya pada suatu malam, kita memutuskan untuk menikah.”
…
“Abak,
mengapa jadi begitu? Mengapa harus ada uang jemputan sebanyak itu?” tanyaku.
“Sepuluh
juta itu sudah biasa Buyung. Kau tahu,
si Husen anak Pak Kahar yang bekerja
sebagai montir Honda dijemput lima juta.
Apalagi kau, seorang pegawai negeri.”
“Tapi
Abak, aku tak butuh uang sebanyak itu.
Aku punya uang untuk pesta pernikahanku.”
“Ini
soal adat dan harga diri Buyung. Apa
kata orang nanti? Masa anak seorang pegawai negeri tidak ada uang jemputan.”
“Itu kan lebih bagus Abak.”
“Tidak. Tidak ada uang jemputan itu lebih tidak
bagus. Pokoknya uang jemputannya
sebanyak itu. Jika tidak, jangan harap
kau bisa menikah dengannya. Kau sudah
susah payah aku sekolahkan. Biayamu
terlalu besar. Kau tahu.”
…
“Kini,
di malam ini aku belum juga bisa membalas SMS-mu itu. Aku tidak bisa memutuskan apa-apa. Aku tidak bisa menentang Abak. Aku benar-benar menjelma seperti batu. Diam dan kaku. Oh Faraswati, di bawah cahaya bulan, di dalam
gubuk tak berdinding ini kuharap kau mengerti deritaku ini.”
12. Tokoh
bawahan merupakan tokoh yang tidak begitu besar pengaruhnya terhadap
perkembangan alur, walaupun ia terlibat juga dalam pengembangan alur itu. Tokoh bawahan dalam cerpen Uang Jemputan adalah Amak (Ibu Buyung). Hal ini dapat dilihat dari kutipan cerpen
berikut:
“Di Air Dingin? Ham. Bagus, berarti masih orang Minang juga. Kutakut, kau bawa pula gadis Batak itu ke
mari,” jawab Amak.
13. Tokoh
latar merupakan tokoh yang sama sekali tidak berpengaruh terhadap pengembangan
alur. Kehadirannya sebagai pelengkap latar, berfungsi menghidupakn latar. Tokoh latar dalam cerpen Uang Jemputan adalah Husen
dan kakak Faraswati. Hal ini dapat
dilihat dari kutipan cerpen berikut:
“Kau
tahu, si Husen anak Pak Kahar yang
bekerja sebagai montir Honda dijemput lima juta.”
…
“Lalu
di Bukittinggi tempat siapa?”
“Tempat kakak.”
‘O.”
2.
Analisis
Penokohan
1.
Teknik ekspositori adalah teknik pelukisan tokoh cerita yang dilakukan
dengan memberikan deskripsi, uraian, atau penjelasan secara langsung. Hal
semacam ini biasanya terdapat pada tahap perkenalan. Tokoh yang dianalisis dengan Teknik ekspositori dalam cerpen Uang Jemputan adalah Faraswati, Ayah Faraswati. Hal ini
dapat dilihat dari kutipan cerpen berikut:
“Faraswati,
kau tahu, di masa itu aku sebenarnya gugup. Betapa tidak. Engkau muncul di
sisiku bagai bidadari di pagi hari. Tubuhmu ramping, kulitmu putih bersih.
Pakaian yang engkau kenakan memperlihatkan lekuk tubuhmu.”
…
“Akhirnya
kutahu dia ayahmu. Badannya kekar. Berkumis tebal. Faraswati, di saat itu aku merasa
penakut. Namun setelah bicara dengan
ayahmu, nyatanya dia sangat baik.”
2. Teknik
dramatik adalah teknik pelukisan
tokoh cerita secara tidak langsung yang pengarangnya tidak mendeskripsikan
secara eksplisit sifat dan sikap serta tingkah laku tokoh. Sifatnya lebih
sesuai dengan sisi kehidupan nyata.
Tokoh yang dianalisis dengan teknik dramatik
dalam cerpen uang jemputan adalah Buyung
(tokoh aku), Amak (Ibu Buyung), Kakak Faraswati, Husen, Ibu Faraswati, sahabat
dan kerabat Buyung. Hal ini dapat
dilihat dari kutipan cerpen berikut:
“Aku seperti seonggok batu yang bisu
di malam hari. Diam dan kaku. Tubuhku disepuh cahaya bulan. Aku duduk di gubuk milik Abak yang tak
berdinding dan beratap daun rumbia.
Udara dingin menyergap dari berbagai arah. Entah sampai berapa lama aku akan mampu
bertahan dari udara malam ini.”
…
“Di
Air Dingin? Ham. Bagus, berarti masih orang
Minang juga. Kutakut, kau bawa pula
gadis Batak itu ke mari,” jawab Amak.
…
“Lalu di Bukittinggi tempat siapa?”
“Tempat kakak.”
‘O.”
…
“Kau
tahu, si Husen anak Pak Kahar yang
bekerja sebagai montir Honda dijemput lima juta. Apalagi kau, seorang pegawai negeri.”
…
“Lalu
dua hari selanjutnya kedua orang tuamu datang.
Kuingat itu pada suatu malam. Di
dalam kamar, di antara hati yang berbunga-bunga aku berusaha mencuri percakapan
mereka.”
…
“Menyepelekan
saran sahabat dan kerabat. Kini aku
terperangkap dalam keputusan yang digulung adat.”
…
3. Teknik
identifikasi tokoh adalah teknik penggamabaran tokoh dengan mengidentifikasi
kedirian tokoh-tokoh secara cermat.
Teknik ini tidak digunakan dalam cerpen ini, karena dalam cerpen ini
tidak ada tokoh yang diidentifikasi secara cermat.
2.4
Latar
Latar merupakan tempat,
waktu, dan suasana berlangsungnya suatu peristiwa dalam cerita (Kartamiharja,
2010: 35). Latar terbagi menjadi dua, yaitu latar netral dan latar tipikal.
Latar netral adalah latar yang tidak memiliki dan tidak mendeskripsikan sifat
khas tertentu yang menonjol yang terdapat dalam sebuah latar. Sifat yang
ditunjukan tersebut bersifat umum terhadap hal yang sejenis misalnya desa, kota, hutan, pasar, dan
lain-lain sehingga hal tersebut dapat berlaku di mana saja. Latar tipikal
merupakan latar yang memiliki dan menonjolkan sifat yang khas latar tertentu,
atau menggambarkan lingkungan sosial tertentu.
2.4.1 Unsur Latar
Secara
umum, unsur latar dibagi menjadi latar tempat, latar waktu, dan latar suasana.
Latar tempat ialah tempat atau daerah terjadinya sebuah peristiwa dalam cerita.
Latar waktu adalah waktu terjadinya sebuah peristiwa dalam cerita. Latar
suasana ialah suasana berlangsungnya suatu peristiwa.
2.4.2 Analisis Latar dalam Cerpen Uang
Jemputan
Latar tempat
dalam cerpen Uang Jemputan meliputi
gubuk, bus ANS, rumah faraswati, rumah Buyung (tokoh aku), kamar Buyung. Hal ini dapat dilihat dari kutipan cerpen
berikut:
“Aku
duduk di gubuk milik Abak yang tak berdinding dan beratap daun rumbia. Udara dingin
menyergap dari berbagai arah. Entah
sampai berapa lama aku akan mampu bertahan dari udara malam ini.”
…
“Di
atas bus ANS pertama kali aku melihatmu.
Kala itu aku pulang ke Padang setelah pengajuan surat tugasku
dikabulkan. Kutahu engkau naik dari Bukittinggi pada pagi hari. Di kala kedua
mataku masih mengantuk dan tubuh terasa
penat setelah satu hari aku duduk di kursi bus itu.”
…
“Kebaikan
itu pulalah yang membuat aku di hari-hari berikutnya kembali ke rumahmu. Menemuimu di saat aku merasa seekor kumbang
yang ingin hinggap pada sekuntum bunga.”
…
“Lalu
dua hari selanjutnya kedua orang tuamu datang.
Kuingat itu pada suatu malam.”
…
“Di
dalam kamar, di antara hati yang berbunga-bunga aku berusaha mencuri percakapan
mereka.”
…
“Malam
itu aku tidak bisa tidur. Aku
mondar-mandir di kamar seperti orang yang kesurupan. Hatiku gelisah. Ruangan kamar itu berubah seperti sebuah
petakan yang siap hendak menjepit tubuhku.
Setelah lelah berputar, aku akhirnya menghempaskan diri di atas
kasur. Tidak lama kemudian kuterima
kiriman SMS-mu.”
Latar
waktu dalam cerpen uang jemputan meliputi malam hari,
pagi hari. Hal tersebut dapat dilihat
dari kutipan cerpen berikut:
“Entah
sampai berapa lama aku akan mampu bertahan dari udara malam ini. Udara malam yang mengilu kulit sampai ke
semua rusuk tulang.”
…
“Seperti
malam ini entah apa. Kesedihan menyergap
dari berbagai arah. Luka serasa semakin
menyiksa karena malam yan sunyi seperti sembilu yang turut melukai hati. Tapi hanya malam dan di gubuk ini aku bisa merenung
diri.”
…
“Lalu
dua hari selanjutnya kedua orang tuamu datang.
Kuingat itu pada suatu malam. Di
dalam kamar, di antara hati yang berbunga-bunga aku berusaha mencuri percakapan
mereka.”
…
“Malam
itu aku tidak bisa tidur. Aku
mondar-mandir di kamar seperti orang yang kesurupan.”
…
“Kutahu engkau naik dari
Bukittinggi pada pagi hari.”
…
Latar suasana
dalam cerpen Uang Jemputan meliputi
sepih dan sedih, menyenangkan, mengesankan, menegangkan, mengesalkan. Hal ini dapat dilihat dari kutipan cerpen berikut:
“Aku
seperti seonggok batu yang bisu di malam hari.
Diam dan kaku. Tubuhku disepuh
cahaya bulan. Aku duduk di gubuk milik
Abak yang tak berdinding dan beratap daun rumbia. Udara dingin menyergap dari
berbagai arah. Entah sampai berapa lama
aku akan mampu bertahan dari udara malam ini.
Udara malam yang mengilu kulit sampai ke semua rusuk tulang. Juga sampai ke hati membuka diri untuk
membunuh rasa sepi dan pedih tak terperi ini.”
…
“Entah
sebuah kebetulan atau tidak. Kamu menghempaskan tubuh di tempat duduk di
sebelahku. Di antara kantukku yang masih menggantung, aroma tubuhmu
berputar-putar menusuk hidungku. Buru-buru aku sempat memperbaiki duduk.
Merapikan pakaian yang terlihat kusut. Meraba rambut supaya tidak kelihatan
semrawut. Faraswati, kau tahu, di masa itu aku sebenarnya gugup. Betapa tidak.
Engkau muncul di sisiku bagai bidadari di pagi hari. Tubuhmu ramping, kulitmu
putih bersih. Pakaian yang engkau kenakan memperlihatkan lekuk tubuhmu.
Maka
ketika bus melaju meninggalkan terminal Bukittinggi yang sempit itu, aku mulai
mencari kata untuk mengenalmu.”
…
“Esok
harinya aku mencari rumahmu lewat SMS yang engkau kirim. Seperti seekor kumbang dengan sayap penuh
dengan bunga aku terbang menyusuri kampungmu.
Kutahu kampungmu masih dipenuhi sawah-sawah membentang. Ada jalan setapak dari simpang tiga yang
menuju ke rumahmu seperti yang kau tulis lewat SMS. Setelah terbang cukup lama akhirnya aku
menemukan rumahmu.”
…
“Apa? Sepuluh juta?”
“Ya.”
“Bagaimana
kalau tiga juta. Karena kami tidak punya
uang sebanyak itu. Belum lagi uang untuk
pesta dan membeli perlengkapan lain.”
“Itu
sudah sepantasnya. Kalau tiga juta
itu-kan, untuk laki-laki yang tidak mempunyai pekerjaan tetap. Tapi anak kami seorang guru pegawai negeri. Kami rasa sepuluh juta itu sudah sepadan.”
“Terus
terang kami tidak bisa memenuhi uang jemputan sebanyak itu. Untuk saat ini kami mengalah. Uang itu terlalu besar buat kami.”
…
“Abak,
mengapa jadi begitu? Mengapa harus ada uang jemputan sebanyak itu?” tanyaku.
“Sepuluh
juta itu sudah biasa Buyung. Kau tahu,
si Husen anak Pak Kahar yang bekerja
sebagai montir Honda dijemput lima juta.
Apalagi kau, seorang pegawai negeri.”
“Tapi
Abak, aku tak butuh uang sebanyak itu.
Aku punya uang untuk pesta pernikahanku.”
“Ini
soal adat dan harga diri Buyung. Apa
kata orang nanti? Masa anak seorang pegawai negeri tidak ada uang jemputan.”
“Itu kan lebih bagus Abak.”
…
2.5
Sudut Pandang atau Point of View
Sudut pandang
adalah kedudukan pengarang dalam menyajikan cerita (Kartamiharja, 2010 :35).
2.5.1
Jenis-jenis
Sudut Pandang
Menurut
Kartamiharja, sudut pandang terbagi menjadi dua, yaitu sudut pandang orang
pertama (Aku-an), dan sudut pandang orang ketiga (Dia-an).
Sudut
pandang aku-an adalah sudut pandang
yang menenmpatkan pengarang menjadi pelaku dalam cerita, dengan menggunakan
kata aku/saya. Sudut pandang dia-an adalah susdut pandang yang menempatkan pengarang seolah-olah
barada di luar cerita dan hanya menceritakan apa yang terjadi di antara
tokoh-tokoh dalam ceritanya. Pengarang
menggunakan kata ia, dia, atau nama
orang (Kartamiharja, 2010 :35).
Sudut
pandang orang pertama dibedakan menjadi sudut pandang orang pertama tunggal,
dan sudut pandang orang pertama jamak.
Sudut pandang orang pertama tunggal adalah sudut pandang orang pertama
yang menggunakan kata ganti orang pertama tunggal. Sudut pandang orang pertama jamak adalah
sudut pandang orang pertama yang menggunakan kata ganti orang pertama jamak.
Bennison
Gray mengemukakan bahwa sudut pandang orang pertama (aku-an) dibedakan menjadi
sudut pandang aku-an sertaan, dan
sudut pandang aku-an tak sertaan. Aku-an sertaan yaitu sudut pandang di
mana pencerita menjadi tokoh sentral dalam cerita. Aku-an
tak sertaan adalah sudut pandang di mana pencerita tidak terlibat dalam
tokoh sentral di dalam cerita.
Sudut
pandang orang ketiga dibedakan menjadi sudut pandang orang ketiga tunggal dan
sudut pandang orang ketiga jamak. Sudut
pandang orang ketiga tunggal adalah sudut pandang orang ketiga yang menggunakan
kata ganti orang ketiga tunggal. Sudut
pandang orang ketiga jamak adalah sudut pandang orang ketiga yang menggunakan
kata ganti orang ketiga jamak.
Benison
Gray mengemukakan bahwa sudut pandang dia-an
dibedakan menjadi sudut pandang dia-an
serba tahu, dan sudut pandang dia-an
terbatas. Dia-an serba tahu artinya pengarang mengetahui segala sesuatu
tentang semua tokoh dan peristiwa dalam cerita.
Dia-an terbatas artinya
pengarang membatasi diri dengan
memaparkan atau melukiskan lakuan dramatik yang diamatinya, dia seolah-olah
hanya melaporkan apa yang dilihatnya saja.
2.5.2
Analisis
Sudut Pandang dalam Cerpen Uang Jemputan
Dalam cerpen Uang Jemputan, sudut pandang yang
digunakan adalah sudut pandang aku-an. Hai ini dapat dilihat dari kutipan cerpen
berikut:
“Aku
seperti seonggok batu yang bisu di malam hari.
Diam dan kaku. Tubuhku disepuh
cahaya bulan. Aku duduk di gubuk milik
Abak yang tak berdinding dan beratap daun rumbia”
…
“Entah
sebuah kebetulan atau tidak. Kamu menghempaskan tubuh di tempat duduk di
sebelahku. Di antara kantukku yang masih menggantung, aroma tubuhmu
berputar-putar menusuk hidungku.”
…
“Kini,
di malam ini aku belum juga bisa membalas SMS-mu itu. Aku tidak bisa memutuskan apa-apa. Aku tidak bisa menentang Abak. Aku benar-benar menjelma seperti batu. Diam dan kaku. Oh Faraswati, di bawah cahaya bulan, di dalam
gubuk tak berdinding ini kuharap kau mengerti deritaku ini.”
Jika
dilihat dari pandangan Bennison Gray, sudut pandang yang digunakan dalam cerpen
Uang Jemputan adalah sudut pandang aku-an sertaan. Hal ini dapat dilihat dari posisi tokoh
sentral, di mana tokoh sentral dalam cerpen ini adalah pengarang sendiri.
2.6
Amanat
Menurut Nurgyantoro,
amanat merupakan pesan moral atau hikmah yang dapat diambil dari sebuah cerita
untuk dijadikan sebagai cermin maupun panduan hidup. Amanat merupakan maksud yang terkandung dalam
suatu cerita (Rohmadi dan kusumawati, 2008: 58).
Amanat adalah ajaran moral atau pesan yang ingin disampaikan pengarang
kepada pembaca, akhir permasalahan ataupun jalan keluar dari permasalahan yang
timbul dalam sebuah cerita.
2.6.1
Jenis-jenis
Amanat
Amanat terbagi dua
yakni pesan religius/keagamaan dan pesan kritik sosial.
3
Pesan
Religius/Keagamaan
Pesan religius/keagamaan menyatakan
pesan keagamaan dari sesuatu sesuai dengan aturan agama yang ada.
4
Pesan Kritik
Sosial
Pesan kritik sosial yakni pesan
berupa kritik sosial di mana pengarang memberikan kritikan atas kehidupan
sosial di lingkungan tertentu.
2.6.2
Bentuk Penyampaian Amanat
Secara umum dapat dikatakan bahwa bentuk
penyampaian moral dalam karya fiksi mungkin bersifat langsung, atau sebaliknya
tak langsung. Penyampaian Langsung adalah penyampaian amanat secara langsung yang identik dengan cara pelukisan watak pelaku yang bersifat
uraian, pengarang secara langsung mendeskripsikan perwatakan tokoh-tokoh dalam
cerita. Penyampaian tak langsung adalah penyampaian pesan secara tersirat,
terpadu dalam unsur cerita lainnya. Jika
dibandingkan dengan teknik pelukisan watak tokoh, cara ini sejalan dengan
teknik ragaan.
2.6.3
Analisis Amanat dalam Cerpen Uang Jemputan
Bentuk penyampaian amanat dalam cerpen ini adalah secara tidak langsung,
Hal ini jelas karena pengarang tidak langsung menyajikan amanatnya kepada
pembaca.
Amanat
religius dalam cerpen Uang
Jemputan adalah sebagai berikut:
1.
Hendaknya
menutup aurat, wanita tidak pantas memperlihatkan auratnya. Amanat ini dapat dilihat dari kutipan cerpen
berikut:
“Tubuhmu
ramping, kulitmu putih bersih. Pakaian yang engkau kenakan memperlihatkan lekuk
tubuhmu.”
2. Hendaklah
kita selalu mengingat dan menyebut nama Allah dalam keadaan apapun, jangan
menyia-nyiakan waktu dengan percuma.
Amanat ini dapat dilihat dari kutipan cerpen
berikut:
“Aku
seperti seonggok batu yang bisu di malam hari.
Diam dan kaku. Tubuhku disepuh
cahaya bulan. Aku duduk di gubuk milik
Abak yang tak berdinding dan beratap daun rumbia. Udara dingin menyergap dari
berbagai arah. Entah sampai berapa lama aku
akan mampu bertahan dari udara malam ini.”
3. Kesedihan
tak harus menyiksa diri kita, anggaplah itu sebagai cobaan dari Allah.
Amanat ini dapat dilihat dari kutipan cerpen
berikut:
“Kesedihan
menyergap dari berbagai arah. Luka
serasa semakin menyiksa karena malam yang sunyi seperti sembilu yang turut
melukai hati. Tapi hanya malam dan di
gubuk ini aku bisa merenung diri.
Menimbang-nimbang nasib.
Menyesali diri, mengapa dulu pindah ke kampung halaman ini.”
4. Sebelum
bertindak, pikirkan dulu baik dan buruknya agar penyesalan tidak selalu datang
terakhir. Menyesal sama saja dengan
menolak dan melawan takdir Tuhan.
Amanat ini dapat dilihat dari kutipan cerpen
berikut:
“Menyesali
diri, mengapa dulu pindah ke kampung halaman ini. Menyepelekan saran sahabat dan kerabat. Kini aku terperangkap dalam keputusan yang
digulung adat.”
5. Hendaklah
selalu menerapkan kebaikan, banyak keuntungan yang akan kita dapatkan dari
kebaikan itu.
Amanat ini dapat dilihat dari kutipan cerpen
berikut:
“Namun
setelah bicara dengan ayahmu, nyatanya dia sangat baik.
Kebaikan
itu pulalah yang membuat aku di hari-hari berikutnya kembali ke rumahmu. Menemuimu di saat aku merasa seekor kumbang
yang ingin hinggap pada sekuntum bunga.
Hari dan bulan berlalu. Aku
seekor kumbang yang semakin mabuk harum bunga.
Akhirnya pada suatu malam, kita memutuskan untuk menikah.”
6. Pernikahan
merupakan anugrah dari Allah, sehingga tak harus dibeli dengan uang.
Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan cerpen
berikut:
“Abak,
mengapa jadi begitu? Mengapa harus ada uang jemputan sebanyak itu?” tanyaku.
“Sepuluh
juta itu sudah biasa Buyung. Kau tahu,
si Husen anak Pak Kahar yang bekerja
sebagai montir Honda dijemput lima juta.
Apalagi kau, seorang pegawai negeri.”
“Tapi
Abak, aku tak butuh uang sebanyak itu.
Aku punya uang untuk pesta pernikahanku.”
“Ini
soal adat dan harga diri Buyung. Apa
kata orang nanti? Masa anak seorang pegawai negeri tidak ada uang jemputan.”
“Itu kan lebih bagus Abak.”
“Tidak. Tidak ada uang jemputan itu lebih tidak
bagus. Pokoknya uang jemputannya
sebanyak itu. Jika tidak, jangan harap
kau bisa menikah dengannya.”
7. Jangan
suka menyebut-nyebut pengorbanan, hal tersebut akan mengurangi pahala dari apa
yang telah kita korbankan.
Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan cerpen
berikut:
“Jika
tidak, jangan harap kau bisa menikah dengannya.
Kau sudah susah payah aku sekolahkan.
Biayamu terlalu besar. Kau tahu.”
Amanat
kritik sosial yang terdapat dalam cerpen Uang Jemputan adalah sebagai berikut:
8. Janganlah
jadikan adat sebagai penghalang sebuah cinta.
Amanat ini dapat dilihat dari kutipan cerpen
berikut:
“Kini
aku terperangkap dalam keputusan yang digulung adat. Mengunyah harapan dan mematikan
keinginan. Di bawah langit-langit yang
berbintang, berkali-kali berkelebat wajahmu sambil menusuk sepi ini. Wahai Faraswati, adakah engkau rasakan
deritaku ini?”
9. Keputusan
selalu berada di tangan kita, janganlah selalu tergantung pada orang lain untuk
menentukan keputusan.
Hal ini dapat dilihat dari kutipan cerpen berikut:
“Kini,
di malam ini aku belum juga bisa membalas SMS-mu itu. Aku tidak bisa memutuskan apa-apa. Aku tidak bisa menentang Abak. Aku benar-benar menjelma seperti batu. Diam dan kaku. Oh Faraswati, di bawah cahaya bulan, di dalam
gubuk tak berdinding ini kuharap kau mengerti deritaku ini.”
10.
Janganlah terlalu dimabukkan oleh cinta,
jadikanlah cinta sebagai keindahan hidup di dunia.
Hal ini dapat dilihat dari kuitpan
cerpen berikut:
“Malam
itu aku tidak bisa tidur. Aku
mondar-mandir di kamar seperti orang yang kesurupan. Hatiku gelisah. Ruangan kamar itu berubah seperti sebuah
petakan yang siap hendak menjepit tubuhku.
Setelah lelah berputar, aku akhirnya menghempaskan diri di atas kasur.”
2.7
Gaya Bahasa atau Majas
Menurut
kamus besar bahasa Indonesia, gaya
bahasa adalah pemanfaatan atas kekayaan bahasa oleh seseorang dalam bertutur
atau menulis; pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek tertentu;
keseluruhan cirri-ciri bahasa sekelompok penulis sastra; cara khas dalam
menyatakan pikiran dan perasaan dalam bentuk tulis atau lisan.
Gaya
bahasa dapat dibedakan menjadi empat kelompok, yaitu gaya bahasa perbandingan,
gaya bahasa sindiran, gaya bahasa pertentangan, dan gaya bahasa penegasan.
2.7.1
Gaya
Bahasa Perbandingan
Gaya
bahasa perbandingan terbagi menjadi alegori,
litotes, metafora, personifikasi, simile, simbolik, dan tropen.
Alegori adalah
gaya bahasa perbandingan yang membandingkan dua buah keutuhan berdasarkan
persamaannya secara menyeluruh. Contoh, kami
semua berdoa semoga sanggup dalam mengarungi samudra kehidupan ini – kamu
berdua akan sanggup menghadapi badai dan gelombang.
Litotes adalah
gaya bahasa perbandingan yang menyatakan sesuatu dengan memperendah derajat
keadaan sebenarnya, atau yang menggunakan kata-kata yang artinya berlawanan
dari yang dimaksud untuk merendahkan diri. Contoh, singgahlah tuan ke gubuk saya.
Metafora adalah
gaya bahasa perbandingan yang membandingkan dua hal yang berbeda berdasarkan
persamannya. Contoh, gelombang demonstrasi
melanda pemerintah orde lama – semangat juangnya berkobar, tak gentar
menghadapi musuh.
Personifikasi adalah
gaya bahasa perbandingan yang menganggap benda-benda mati dianggap berwatak
atau berperilaku seperti manusia. Contoh, folpen
menari-nari di atas kertas.
Simile adalah
gaya bahasa perbandingan yang mempergunakan kata-kata pembanding seperti seperti, laksana, bagaikan, ibarat, dan
lain-lain. Contoh, hidup tanpa cinta
bagaikan sayur tanpa garam.
Simbolik adalah
gaya bahasa perbandingan yang mempergunakan lambing-lambang atau simbol-simbol
untuk menyatakan sesuatu. Contoh, janganlah kau menjadi bunglon. (bunglon, lambang
manusia yang tidak jelas pendiriannya)
Tropen adalah
gaya bahasa perbandingan yang mempergunakan kata-kata yang maknanya sejajar
dengan pengertian yang dimaksudkan. Contoh, seharian ia berkubur dalam
kamarnya.
2.7.2
Gaya
Bahasa Sindiran
Inuendo adalah
gaya bahasa sindiran yang mempergunakan pernyataan yang mengecilkan kenyataan
sebenarnya. Contoh, ia menjadi kaya raya lantaran mau sedikit korupsi.
Ironi adalah
gaya bahasa sindiran paling halus yang menggunakan kata-kata yang artinya
justru sebaliknya dengan maksud sebenarnya. Contoh, cepat sekali engkau datang, sudah tertidur dua kali aku menunggumu.
Sarkasme adalah
gaya bahasa sindiran yang menggunakan kata-kata yang kasar, dan biasanya
dipakai untuk menyatakan amarah. Contoh, “jangan
coba-coba mengganggu adikku lagi, Monyet!”
Sinisme adalah
gaya bahasa sindiran semacam ironi, tetapi agak lebih kasar. Contoh, “Hai, harum benar baumu, tolong agak jauh
sedikit!”
2.7.3
Gaya
Bahasa Pertentangan
Anakronisme adalah
gaya bahasa pertentangan yang mengandung uraian atau pernyataan yang tidak
sesuai dengan sejarah atau zaman tertentu. Contoh, Mahapatih Gajah Mada menggempur pertahanan Sriwijaya dengan peluru
kendali jarak menengah.
Kontradiksio in terminis adalah
gaya bahasa pertentangan di mana apa yang dikatakan terlebih dahulu diingkari
oleh pernyataan yang kemudian. Contoh, suasana
sepi tak ada bunyi apapun, hanya jam dinding yang terus kedengaran
berdetak-detik.
Okupasi adalah
gaya bahasa pertentangan yang mengandung bantahan dan penjelasan. Contoh, sebelumnya dia sangat baik, tetapi sekarang
menjadi berandal karena tidak ada perhatian dari orang tuanya.
Paradox adalah
gaya bahasa pertentangan yang mengandung dua pernyataan yang bertentangan, yang
membentuk satu kalimat. Contoh, dengan
kelemahannya, wanita mampu menundukkan pria.
2.7.4
Gaya
Bahasa Penegasan
Alusio adalah
gaya bahasa penegasan yang menggunakan peribahasa yang maksudnya sudah dipahami
unun. Contoh, segala yang berkilau
bukanlah berarti emas.
Antithesis adalah
gaya bahasa penegasan yang menggunakan paduan kata-kata yang artinya
bertentangan. Contoh, tinggi-rendah harga
dirimu bukan elok tubuhnu yang menentukan, tetapi kelakuanmu.
Antiklimaks adalah
gaya bahasa penegasan yang menyatakan beberapa hal berturut-turut, makin lama
makin rendah tingkatannya. Contoh, kakeknya,
ayahnya, dia sendiri, anaknya, dan sekarang cucunya tak luput dari penyakit
keturunan itu.
Klimaks adalah
gaya bahasa penegasan yang menyatakan beberapa hal berturut-turut, makin lama
makin tinggi tingkatannya. Contoh, di
dusun-dusun, di desa-desa, di kota-kota, sampai ke ibu kota, hari proklamasi
itu dirayakan dengan meriah.
Antonomasia
adalah gaya bahasa penegasan yang mempergunakan kata-kata tertentu untuk
menggantikan nama seseorang. Contoh, Si
Pelit dan Si Centil sedang bercanda di halaman rumah Si Jangkung.
Asyndeton adalah
gaya bahasa penegasan yang menyebutkan beberapa hal berturut-turut tanpa
menggunakan kata penghubung. Contoh, buku
tulis, buku bacaan, majalah, koran, surat-surat kantor semua dapat anda beli di
toko.
Polisindeton adalah
gaya bahasa penegasan yang menyebutkan beberapa hal berturut-turut dengan
menggunakan kata penghubung. Contoh, buku
tulis-majalah-dan surat-surat kantor dapat anda beli di toko.
Elipsis adalah
gaya bahasa penegasan yang menggunakan kalimat elips/kalimat tak lengkap, yakni
kalimat yang predikat atau subyeknya dilepaskan karena dianggap sudah diketahui
oleh lawan bicara. Contoh, “kalau belum
jelas, akan saya jelaskan lagi.”
Eufemisme adalah
gaya bahasa penegasan yang menggunakan ungkapan pelembut yang digunakan untuk
tuntutan tatakrama atau menghindari
kata-kata pantang atau kata-kata kasar dan kurang sopan. Contoh, putra bapak tidak naik kelas karena kurang
mampu mengikuti pelajaran.
Hiperbolisme adalah
gaya bahasa penegasan yang menyatakan suatu hal dengan melebih-lebihkan keadaan
yang sebenarnya. Contoh, suaranya
mengguntur membelah angkasa.
Interupsi
adalah gaya bahasa penegasan yang mempergunakan kata-kata atau frase yang
disisipkan di tengah-tengah kalimat. Contoh, saya, kalau bukan terpaksa, tak mau bertemu dengan dia lagi.
Inversi adalah
gaya bahasa penegasan yang menggunakan kalimat inversi, yakni kalimat yang
predikatnya mendahului subyek, hal ini sengaja dibuat untuk memberikan
ketegasan pada predikatnya. Contoh, pergilah
ia meninggalkan kampung halamannya untuk mencari harapan baru di kota.
Koreksio adalah
gaya bahasa penegasan yang menggunakan kata-kata pembetulan untuk mengoreksi
atau menggantikan kata yang dianggap salah. Contoh, setelah acara ini selesai, silakan saudara-saudara pulang. Eh, maaf,
silakan saudara-saudara mencicipi hidangan yang telah tersedia.
Metonimia adalah
gaya bahasa penegasan yang mempergunakan sebuah kata atau sebuah nama yang
berhubungan dengan suatu benda untuk menyebut benda yang dimaksud. Contoh, ayah pergi ke Bandung mengendarai kijang.
Paralelisme adalah
gaya bahasa penegasan yang berupa pengulangan seperti repetisi yang khusus
terdapat dalam puisi. Pengulangan di awal dinamakan anafora, sedangkan di bagian akhir dinamakan epifora. Contoh, Anafora:
Sunyi itu duka
Sunyi itu kudus
Epifora:
Rinduku hanya untukmu
Cintaku
hanya untukmu
Pleonasme adalah
gaya bahasa penegasan yang menggunakan kata-kata yang sebenarnya tidak perlu
karena artinya sudah terkandung dalam kata sebelumnya. Contoh, saya melihat dengan mata kepala saya sendiri.
Paraphrase
adalah gaya bahasa penegasan dengan menggunakan ungkapan atau frase yang lebih panjang daripada kata
semula. Contoh, “pagi-pagi Ali pergi ke sawah.” dijadikan “ketika mentari membuka lembaran hari, anak sulung Pak Sastra itu
melangkahkan kakinya ke sawah.”
Repetisi
adalah gaya bahasa penegasan yang mengulang-ulang sebuah kata berturut-turut
dalam suatu wacana, gaya bahasa ini sering dipakai dalam pidato, atau karangan
berbentuk prosa. Contoh, harapan kita
memang demikian, dan demikian pula harapan setiap pejuang.
Retoris adalah
gaya bahasa penegasan yang menggunakan kalimat tanya, tetapi sebenarnya tidak
bertanya. Contoh, inikah yang kau namakan
kerja?
Sinekdoke
adalah gaya bahasa penegasan yang menyebutkan sebagian untuk menyatakan
keseluruhan (pars pro toto), dan
menyebutkan keseluruhan untuk menyatakan sebagian (totem pro parte). Contoh, setiap
kepala diwajibkan membayar iuran Rp. 1.000,00 (pars pro toto), Cina
mengalahkan Indonesia dalam babak final perebutan Piala Thomas (totem pro parte).
Tautology adalah
gaya bahasa penegasan yang menggunakan kata-kata yang sama artinya dalam satu
kalimat. Contoh, engkau harus dan wajib
mematuhi semua peraturan.
2.7.5
Analisis
Gaya Bahasa dalam Cerpen Uang Jemputan
Gaya bahasa perbandingan
yang terdapat dalam cerpen uang jemputan adalah sebagai barikut:
1.
Aku seperti seonggok batu yang bisu di
malam hari (simile). Hal ini dapat
dilihat pada kutipan cerpen berikut:
“Aku seperti seonggok batu yang bisu di malam hari. Diam dan kaku. Tubuhku disepuh cahaya bulan. Aku duduk di gubuk milik Abak yang tak
berdinding dan beratap daun rumbia.”
2.
Udara dingin menyergap dari berbagai
arah (personifikasi). Hal ini dapat
dilihat pada kutipan cerpen berikut:
“Aku seperti seonggok batu yang bisu di malam hari. Diam dan kaku. Tubuhku disepuh cahaya bulan. Aku duduk di gubuk milik Abak yang tak
berdinding dan beratap daun rumbia. Udara dingin menyergap dari berbagai
arah. Entah sampai berapa lama aku akan
mampu bertahan dari udara malam ini.”
3.
Udara malam yang mengilu kulit sampai ke
semua rusuk tulang. Juga sampai ke hati
membuka diri untuk membunuh rasa sepi dan pedih tak terperi ini
(personifikasi). Hal ini dapat dilihat
dari kutipan cerpen berikut:
“Aku seperti seonggok batu yang bisu di malam hari. Diam dan kaku. Tubuhku disepuh cahaya bulan. Aku duduk di gubuk milik Abak yang tak
berdinding dan beratap daun rumbia. Udara dingin menyergap dari berbagai
arah. Entah sampai berapa lama aku akan
mampu bertahan dari udara malam ini.
Udara malam yang mengilu kulit sampai ke semua rusuk tulang. Juga sampai ke hati membuka diri untuk
membunuh rasa sepi dan pedih tak terperi ini.
”
4.
Kesedihan menyergap dari berbagai arah
(personifikasi). Hal ini dapat dilihat
pada kutipan cerpen berikut:
“Iya. Seperti malam ini entah
apa. Kesedihan menyergap dari berbagai
arah. Luka serasa semakin menyiksa
karena malam yang sunyi seperti sembilu yang turut melukai hati.”
5.
Malam yang sunyi seperti sembilu yang
turut melukai hati (simile). Hal ini
dapat dilihat dari kutipan cerpen berikut:
“Iya. Seperti malam ini entah
apa. Kesedihan menyergap dari berbagai
arah. Luka serasa semakin menyiksa
karena malam yang sunyi seperti sembilu yang turut melukai hati.”
6.
Kini aku terperangkap dalam keputusan
yang digulung adat. Mengunyah harapan
dan mematikan keinginan (personifikasi).
Hal ini dapat dilihat dari kutipan cerpen berikut:
“Menyepelekan saran sahabat dan kerabat.
Kini aku terperangkap dalam keputusan yang digulung adat. Mengunyah harapan dan mematikan keinginan. Di bawah langit-langit yang berbintang,
berkali-kali berkelebat wajahmu sambil menusuk sepi ini. Wahai Faraswati, adakah engkau rasakan
deritaku ini?”
7.
Di bawah langit-langit yang berbintang,
berkali-kali berkelebat wajahmu sambil menusuk sepi ini (personifikasi). Hal ini dapat dilihat dari kutipan cerpen
berikut:
“Mengunyah harapan dan mematikan keinginan. Di bawah langit-langit yang berbintang,
berkali-kali berkelebat wajahmu sambil menusuk sepi ini. Wahai Faraswati, adakah engkau rasakan deritaku
ini?”
8.
Aroma tubuhmu berputar-putar menusuk
hidungku (personifikasi). Hal ini dapat
dilihat dari kutipan cerpen berikut:
“Entah sebuah kebetulan atau tidak. Kamu menghempaskan tubuh di tempat
duduk di sebelahku. Di antara kantukku yang masih menggantung, aroma tubuhmu
berputar-putar menusuk hidungku. Buru-buru aku sempat memperbaiki duduk.
Merapikan pakaian yang terlihat kusut. Meraba rambut supaya tidak kelihatan
semrawut.”
9. Engkau
muncul di sisiku bagai bidadari di pagi hari (simile). Hal ini dapat dilihat dari kutipan cerpen
berikut:
“Faraswati, kau tahu, di masa itu aku sebenarnya gugup. Betapa tidak.
Engkau muncul di sisiku bagai bidadari di pagi hari. Tubuhmu ramping, kulitmu
putih bersih. Pakaian yang engkau kenakan memperlihatkan lekuk tubuhmu.”
10. Aku
mondar-mandir di kamar seperti orang yang kesurupan (simile). Hal ini dapat dilihat dari kutipan cerpen
berikut:
“Malam itu aku tidak bisa tidur.
Aku mondar-mandir di kamar seperti orang yang kesurupan. Hatiku gelisah. Ruangan kamar itu berubah seperti sebuah
petakan yang siap hendak menjepit tubuhku.
Setelah lelah berputar, aku akhirnya menghempaskan diri di atas
kasur. Tidak lama kemudian kuterima
kiriman SMS-mu.”
11. Ruangan
kamar itu berubah seperti sebuah petakan yang siap hendak menjepit tubuhku
(simile). Hal ini dapat dilihat dari
kutipan cerpen berikut:
“Malam itu aku tidak bisa tidur.
Aku mondar-mandir di kamar seperti orang yang kesurupan. Hatiku gelisah. Ruangan kamar itu berubah seperti sebuah
petakan yang siap hendak menjepit tubuhku.
Setelah lelah berputar, aku akhirnya menghempaskan diri di atas
kasur. Tidak lama kemudian kuterima
kiriman SMS-mu.”
12. Aku
benar-benar menjelma seperti batu (simile).
Hal ini dapat dilihat dari kutipan cerpen berikut:
“Kini, di malam ini aku belum juga bisa membalas SMS-mu itu. Aku tidak bisa memutuskan apa-apa. Aku tidak bisa menentang Abak. Aku benar-benar menjelma seperti batu. Diam dan kaku. Oh Faraswati, di bawah cahaya bulan, di dalam
gubuk tak berdinding ini kuharap kau mengerti deritaku ini.”
13. Aku
terbang menyusuri kampungmu (tropen).
Hal ini dapat dilihat dari kutipan cerpen berikut:
“Esok harinya aku mencari rumahmu lewat SMS yang engkau kirim. Seperti seekor kumbang dengan sayap penuh
dengan bunga aku terbang menyusuri kampungmu.”
14. Setelah
terbang cukup lama akhirnya aku menemukan rumahmu (tropen). Hal ini dapat dilihat dari kutipan cerpen
berikut:
“Kutahu kampungmu masih dipenuhi sawah-sawah membentang. Ada jalan setapak dari simpang tiga yang
menuju ke rumahmu seperti yang kau tulis lewat SMS. Setelah terbang cukup lama akhirnya aku
menemukan rumahmu.”
Gaya bahasa sindiran tidak terdapat
dalam cerpen Uang Jemputan.
Gaya bahasa pertentangan yang
terdapat dalam cerpen Uang Jemputan
adalah sebagai berikut:
1.
Di bawah cahaya bulan, di dalam gubuk
tak berdinding ini kuharap kau mengerti deritaku ini (kontradiksio in
terminis). Hal ini dapat dilihat dari
kutipan cerpen berikut:
“Kini, di malam ini aku belum juga bisa membalas SMS-mu itu. Aku tidak bisa memutuskan apa-apa. Aku tidak bisa menentang Abak. Aku benar-benar menjelma seperti batu. Diam dan kaku. Oh Faraswati, di bawah cahaya bulan, di dalam
gubuk tak berdinding ini kuharap kau mengerti deritaku ini.”
Gaya
bahasa penegasan yang tedapat dalam cerpen Uang
Jemputan adalah sebagai berikut:
1.
Aku merasa seekor kumbang yang ingin
hinggap pada sekuntum bunga (alusio).
Hal ini dapat dilihat dari kutipan cerpen berikut:
“Kebaikan itu pulalah yang membuat aku di hari-hari berikutnya kembali
ke rumahmu. Menemuimu di saat aku merasa
seekor kumbang yang ingin hinggap pada sekuntum bunga. Hari dan bulan berlalu. Aku seekor kumbang yang semakin mabuk harum
bunga. Akhirnya pada suatu malam, kita
memutuskan untuk menikah.”
2.
Husen anak Pak Kahar yang bekerja sebagai montir Honda dijemput
lima juta (metonimia). Hal ini dapat
dilihat pada kutipan cerpen berikut:
“Sepuluh
juta itu sudah biasa Buyung. Kau tahu,
si Husen anak Pak Kahar yang bekerja
sebagai montir Honda dijemput lima juta.
Apalagi kau, seorang pegawai negeri.”
3.
Sebab bukankah kesedihan hati juga akan
membuat suasana terkondisi? (retoris).
Hal ini dapat dilihat dari kutipan cerpen berikut:
“Udara malam yang mengilu kulit sampai ke semua rusuk tulang. Juga sampai ke hati membuka diri untuk
membunuh rasa sepi dan pedih tak terperi ini.
Sebab bukankah kesedihan hati juga akan membuat suasana terkondisi?”
4.
Wahai Faraswati, adakah engkau rasakan
deritaku ini? (retoris). Hal ini dapat
dilihat pada kutipan cerpen berikut:
“Di bawah langit-langit yang berbintang, berkali-kali berkelebat wajahmu
sambil menusuk sepi ini. Wahai
Faraswati, adakah engkau rasakan deritaku ini?”
BAB
III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Berdasarkan
hasil pengamatan dan pembahasan unsur-unsur intrinsik cerpen yang telah
diuraikan sebelumnya dalam cerpen Uang
Jemputan karya Farizal Sikumbang, maka dapat disimpulkan bahwa dalam cerpen
tersebut, pengarang telah menggambarkan kesempurnaan dalam hal menguraikan
unsur-unsur intrinsik cerpen yang meliputi tema, alur, tokoh dan penokohan,
latar, sudut pandang, amanat, dan gaya bahasa.
Namun, gaya bahasa yang digunakan sangat terbatas. Dalam cerpen ini
jenis gaya bahasa sindiran tidak digunakan.
Jenis gaya bahasa perbandingan yang banyak digunakan dalam cerpen ini
adalah gaya bahasa personifikasi, dan
simile. Gaya bahasa pertentangan dan penegasan tidak
terlalu dominan atau sedikit sekali digunakan.
3.2
Saran
Saran
yang dapat penulis sampaikan dalam makalah ini yaitu agar pengarang prosa fiksi
khususnya cerpen selanjutnya diharapkan dapat menggunakan semua jenis gaya
bahasa dalam ceritanya agar keindahannya menjadi lebih sempurna.
DAFTAR PUSTAKA
Darmawati, dkk.
2009. Terampil Berbahasa Indonesia.
Depdiknas: Jakarta
Kartamiharja, Akhidat. 2010. Bahasa Indonesia SMA. Fokus: Bandung
Pratiwi, Yuni,
dkk. 2007. Modul
Bahasa Indonesia. Jakarta: Universitas Terbuka
Rohmadi,
Muhammad & Kusumawati. 2008. Bahasa
dan Sastra Indonesia. Depdiknas:
Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar