Sejarah
Sastra Indonesia
1. Pengertian Sejarah
Menurut
Kuntowijoyo (dalam Yudiono, 2010:21), mengatakan bahwa sejarah masih merupakan
barang mewah yang sedikit peminatnya.
Sedangkan moedjanto mengatakan bahwa di dunia ini masih ada ilmuwan
social dan humaniora, bahkan ilmuwan eksakta, yang mempunyai keyakinan bahwa
dunia tidak hanya memerlukan insinyur, 8industriawan dan banker. Mereka berkeyakinan bahwa tertib dunia masa
sekarang dan masa depan manusia memerlukan berbagai disiplin ilmu, termasuk
sejarah. Disiplin sejarah, bersama
dengan berbagai disiplin humaniora yang lain, serta disiplin-disiplin social, diperlukan
demi pemanusiaan (hominisasi) dan pembudayaan (humanisasi) umat manusia. Dalam Mengerti
Sejarah (Gottschalk, 1975) dijelaskan secara panjang lebar pengertian
sejarah (history) yang berasal dari kata benda Yunani istoria yang berarti
‘ilmu’. Oleh filsuf Aristoteles, kata
tersebut diartikan sebagai suatu pertelaan sistematis mengenai seperangkat gejala
alam, entah susunan kronologi merupakan faktor atau tidak di dalam pertelaan.
Pengetahuan itu masih tetap hidup dalam bahasa inggris dengan sebutan natural history. Namun, dalam perkembangan kemudian, kata
latin scientia lebih sering dipergunakan untuk menyebut pertelaan sistematik
nonkronologis mengenai gejala alam, sedangkan istoria biasanya dipergunakan
untuk pertelaan mengenai gejala-gejala (terutama hal-ihwal manusioa) dalam
urutan kronologis.
Kini
history berarti masa lampau umat
manusia. Dalam bahasa jerman terdapat geschichte,
dari kat geschehen (=terjadi) yang seloanjutnya sering dipakai untuk pengertian
pelajaran sejarah. Dalam pengertian itu,
tergambar ketidakmungkinan masa lampau 7umat manusia untuk direkonstruksi. Sebab, pengalaman manusia di masa lampau
sangat banyak untuk diingat kembali, direkam, dicatat, apalagi direkonstruksi. Dengan kata lain, masa lampau manusia untuk
sebagian besar tidak dapat ditampilkan kembali.
Dalam kehidupan semua orang, pastilah ada peristiwa, orang, kata-kata,
pikiran-pikiran, tempat-tempat, dan bayangan-bayangan yang ketika terjadi sama
sekali tidak menimbulkan kesan atau yang kini telah dilupakan.
2. Sejarah Sastra
Secara
sederhana dapat dikatakan bahwa sejarah sastra merupakan cabang ilmu sastra
yang mempelajari pertumbuhan dan perkembangan sastra suatu bangsa. Misalnya,
sejarah sastra Indonesia, sejarah sastra Jawa, dan sejarah sastra Inggris.
Dengan pengertian dasar itu, tampak bahwa objek sejarah sastra adalah segala
peristiwa yang terjadi pada rentang masa pertumbuhan dan perkembangan suatu
bangsa. Telah disinggung di depan bahwa sejarah sastra itu bisa menyangkut
karya sastra, pengarang, penerbit, pengajaran, kritik, dan lain-lain.
Dalam
Pengantar Ilmu Sastara (Luxemburg,
1982: 200-212) dijelaskan bahwa dalam sejarah sastra dibahas periode-periode
kesusastraan, aliran-aliran, jenis-jenis, pengarang-pengarang, dan juga reaksi pembaca.
Semua itu dapat dihubungkan dengan perkembangan
di luar bidang sastra seperti, sosial dan filsafat. Jadi, sejarah sastra
meliputi penulisan perkembangan sastra dalam arussejarah dan di dalam
konteksnya. Perhatian para ahli sastra di Eropa terhadap sejarah sastra muncul
pada abad ke-19, berawal dari perhatian ilmuwan pada zaman Romantuik yang
menghubungkan segala sesuatu dengan masa lampau suatu bangsa. Adapun dasarnya
adalah filsafat positivisme yang
bertolak pada prinsip kausalitas, yaitu segala sesuatu dapat diterangkan bila sebabnya dapat dilacak kembali. Dalam
hal sastra, sebuah karya sastra dapat diterangkan atau ditelaah secara tuntas
apabila diketahui asal-usulnya yang bersumber pada riwayat hidup pengarang dan
zaman yang melingkunginya.
Tokoh
yang berpengaruh besar terhadap pandangan tersebut adalah Hypolite Taine
(1828-181893). Pandangannya menegaskan bahwa seorang pengarang dipengaruhi oleh
ras, lingkungan, dan momen atau saat. Ras ialah apa yang diwarisi manusia dalam
jiwa dan raganya, lingkungan meliputi keadaan alam dan sosial, sedangkan momen
ialah situasi sosio-pulitik pada zaman tertentu. Apabila ketiga fakta itu
diketahui dengan baik maka dimungkinkan simpulan mengenai iklim suatu
kebudayaan yang melahirkan seorang pengarang beserta karyanya.
Ahli
sejarah sastra Jerman, Wilhelm Scherer (1841-1886) mempergunakan tiga faktor
penentu, yaitu das Ererbte (warisan),
das Erlebte (pengalaman), dan das Erlernte (hasil proses belajar).
Penerapannya menuntut kerja sama yang erat antara ahli fisiologi, psikologi,
linguistic, dan sejarah kebudayaan. Dia menegaskan bahwa seorang penulis
sejarah sastra harus mampu menyelami seluruh kehidupan manusia, baik jasmani
maupun rohani, dalam kebertautan yang kausal.
3.
Sejarah
Sastara Indonesia
Perhatian
masyarakat sastra Indonesia terhadap masalah sejarah kebudayaan, termasuk
sastra, telah tampak sejak awal pertumbuhan sastra Indonesia di tahun 1930-an
sebagaimana terbaca dalam Polemik
Kebuadayaan suntingan Achdiat K.Mihardja (1977). Polemic yang berkembang
antara tokoh-tokoh S.Takdir Alisjahbana, Sanusi Pane, Poerbatjaraka, M.Amir, Ki
Hadjar Dewantara, Adinegoro dan lain-lain memang tidak secara khusus
memperdebatkan konsep kesusastraan Indonesia, tetapi telah memperlihatkan
kesadaran mereka terhadap sejarah kebudayaan Indonesia.
Takdir
Alisjahbana berpendapat bahwa sebutan Indonesia telah dipergunakan secara luas
dan kabur sehingga tidak secara tegas menunjuka pada semangat keindonesiaan
yang baru sebagai awal pembangunan kebudayaan Indonesia Raya. Menurut Takdir, semangat keindonesiaan yang
baru seharusnya berkiblat ke Barat dengan menyerap semangat atau jiwa
intelektulnya agar wajahnya berbeda dengan masyarakat kebudayaan pra-Indonesia.
Namun, pendapat yang teoretis itu sudah ada sejak sekian abad yang silam dalam
adat dan seni. Yang belum terbentuk adalah natie
atau bangsa Indonesia, tetapi perasaan kebangsaan itu sebenarnya sudah ada.
Menurut
Sanusi Pane, kebudayaan Barat yang mengutamakan intelektualitas untuk kehidupan
jasmani tidak dengan sendirinya istimewa karena terbentuk oleh tantangan alam yang keras sehingga orang
harus berpikir dan bekerja keras. Sementara itu, kebudayaan Timur pun memiliki
keunggulan, yaitu mengutamakan kehidupan rohani, karena kehidupan jasmani telah
dimanjakan oleh alam yang serba memberikan kemudahan. Oleh karena itu,
kebudayaan Indonesia baru dapat dibentuk dengan mempertemukan semangat
intelektualitas Barat dengan semangat Kerohanian Timur.
Poerbatjaraka
berpendapat bahwa sambungan kesejarahan itu sudah ada dan tidak boleh
diabaikan. Oleh karena itu, diperlukan penyelidikan tentang jalannya sejarah
sehingga orang dapat menengok ke belakang sebagai landasan melihat keadaan
zaman yang bersangkutan dan selanjutnya mengatur hari-hari yang akan datang.
Hingga
sekarang sejarah sastara Indonesia telah berlangsung relative panjagn dengan
perkembangan yang terbilang pesat dan dinamik sehingga dapat ditulis secara
panjang lebar. Hal itu dapat dipandang sebagai tantangan besar ahli sastra
Indonesia.akan tetapi, pada kenyataannya buku-buku sejarah sastra Indonesia
masihrelatif sangat sedikit dibandingkan
dengan buku-buku kritik, esai, dan apresiasi sastra. Sejumlah buku
sejarah sastra Indonesia tercata secara
kronologis sebagai berikut:
1.
Pokok
dan Tokoh dalam Kesusastraan Indonesia Baru oleh A.Teeuw
(1952),
2.
Sejarah
sastra Indonesia oleh Bakri Siregar (1964),
3.
Kesusastraan
Baru Indoneisa oleh Zuber Usman (1964),
4.
Ikhtisar
Sejarah Sastra Indonesia oleh Ajip Rosidi (1969),
5.
Modern
Indonesia Literature I-II oleh A.Teeuw (1979),
6.
Sastra
Baru Indonesia oleh A.Teeuw (1980),
7.
Sari
Kesusastaraan Indonesia oleh J.S. Badudu (1981),
8.
Ikhtisar
Kesusastraan Indonesia Modern oleh Pamusuk Eneste
(1988),
9.
Lintasan
Sejarah Sastra Indonesia 1 oleh Jakob Sumardjo (1992), dan
10.
Sejarah
Sastar Indonesia Modern oleh Sarwadi (2004).
Di
balik semua itu, barangkali sudah ditulis telaah sejarah sastra Indonesia dalam
skripsi, tesis dan disertasi. Akan tetapi, datanya masih sulit diandalkan
sebagai rujukan untuk kepentingan pelajaran ini apabila belum terbit sebagai
buku umum. Yang jelas, berbagai hasil penelitian itu merupakan bahan yang
penting untuk penyusunan sejarah sastra Indonesia secara menyeluruh. Adapun
sejumlah buku yang telah memperlihatkan persoalan-persoalan tertentu dalam sejarah
sastra Indonesia antara lain sebagai berikut:
1.
Bentuk
Lakon dalam Sastra Indonesia oleh Boen S.Oemarjati
(1971),
2.
Cerita
Pendek Indonesia Mutakhir Sebuah Pembicaraan oleh Korrie
Layun Rampan (1973),
3.
Kapankah
Kesusastraan Indonesia Lahir? Oleh Ajip Rosidi
(1985),
4.
Masalah
Angkatan dan Periodisasi Sejarah Sastra Indonesia oleh Ajip Rosidi (1973),
5.
Pengadilan
Puisi oleh Pamusik Eneste (1986),
6.
Perkembangan
Novel-Novel Indonesia oleh Umar junus (1974),
7.
Perkembangan
Puisi Indonesia dan Melayu Modern oleh Umar Junus (1984),
8.
Perkembangan
Teater Modern dan Sastara Drama Indonesia oleh Jakob
Sumardjo (1997),
9.
Prahara
Budaya oleh D.S.Moeljanto dan Taufiq Ismail (1995),
10.
Puisi
Indonesia Kini Sebuah Perkenalan oleh Korrie layun
Rampan (1980),
11.
Sejarah
Pertumbuhan Sastra Indonesia di Jawa Baratm oleh Diana
N.Muis,dkk. (200),
12.
Sejarah
dan Perkembangan Sastra Indonesia di Maluku oleh T.Tomasoa
dkk. (2000),
13.
Sejarah
Pertumbuhan Sastra Indonesia di Sumatra Utara oleh
Aiyub dkk. (2000), dan
14.
Wajah
Sastra Indonesia di Surabaya 1856-1994 oleh Suripan Sadi
Hutomo (1995).
4. Periodisasi Sejarah
Sastra Indonesia
Masalah
periodisasi sejarah sastra Indonesia secara eksplisit telah diperlihatkan oleh
Ajip Rosidi dalam Ikhtisar Sejarah Sastra
Indonesia (1969), Jakob Sumardjo
dalam Lintasan Sejarah Sastra Indonesia 1
(1992), dan Rahmat Joko Pradopo dalam Beberapa
Teori Sastra, Metode Kritik, dan penerapannya (1995).
Secara
garis besar Ajib Rosidi (1969: 13) membagi sejarah sastra Indonesia sebagai
berikut:
I.
Masa Kelahiran atau Masa Kebangkitan
yang mencakup kurun waktu 1900-1945 yang dapat dibagi lagi menjadi beberapa
period, yaitu
1.
Period awal hingga 1933
2.
Period 1933-1942
3.
Period 1942-1945
II.
Masa Perkembangan (1945-1968) yang dapat
dibagi-bagi menjadi beberapa period,
yaitu
1.
Period 1945-1953
2.
Period 1953-1961
3.
Period 1061-1968
Menurut
Ajip, warna yang menonjol pada periode awal (1900-1933) adalah persoalan adat
yang sedang menghadapai akulturasi sehingga menimbulkan berbagai problem bagi
kelangsungan eksistensi masing-masing, sedangkan periode 1933-1942 diwarnai
pencarian tempat di tengah pertarungan kebudayaan Timur dan Barat dengan
pandangan romantic-idealis.
Perubahan
terjadi pada periode 1942-1945 atau masa pendudukan Jepang yang melahirkan
warna pelarian, kegelisahan, dan peralihan, sedangkan warna perjuangan dan
pernyataan diri di tengah kebudayaan dunia tampak pada periode 1945-1953 dan
selanjutnya warna pencarian identitas diri dan sekaligus penilaian kembali
terhadap warisan leluhur tampak menonjol pada periode 1953-1961. Pada periode
1961-1968 tampak menonjol warna perlawanan dan perjuangan mempertahankan
martabat, sedangkan sesudahnya tampak warna percobaan dan penggalian berbagai kemungkinan
pengucapan sastra.
Pada
kenyataanya telah tercatat lima angkatan yang muncul dengan rentang waktu 10 –
15 tahun sehingga dapat disusun perodisasi sejarah sastra Indonesia modern
sebagai berikut:
1.
Sastra Awal (1900 – an ),
2.
Sastra Balai Pustaka (1920 – 1942)
3.
Sastra Pujangga Baru (1930 – 1942)
4.
Sastra Angkatan 45 (1942 – 1955)
5.
Sastra Generasi Kisah (1955 – 1965)
6.
Sastra Generasi Horison (1966)
Dikatakan
oleh Jakob bahwa penamaan itu didasarkan pada nama badan penerbitan yang
menyiarkan karya para sastrawan, seperti Penerbit Balai Pustaka, majalah Pujangga Baru, majalah Kisah, dan majalah Horison, kecuali angkatan 45 yang menggunakan tahun revolusi
Indonesia. Ada juga penamaan angkatan 66 yang dicetuskan H.B.Jassin dengan
merujuk gerakan politik yang penting di Indonesia pada sekitar tahun 1966.
Penulisan
sejarah sastra Indonesia dapat dilakukan dengan dua cara atau metode, yaitu (1)
menerapkan teori estetika resepsi atau
estetika tanggapan, dan (2) menerapkan teori penyusunan rangkaian perkembangan
sastra dari periode atau angkatan ke angkatan. Di samping itu, sejarah sastra
Indonesia dapat juga dilakukan secara sinkronis dan diakronis. Yang sinkronis
berarti penulisan sejarah sastra dalam salah satu tingkat perkembangan atau
periodenya, sedangkan yang diakronis berarti penulisan sejarah dalam berbagai
tingkat perkembangan, dari kelahiran hingga perkembangannya yang terakhir.
Kemungkinan lain adalah penulisan sejarah sastra dari sudut perkembangan
jenis-jenis sastra, baik prosa maupun puisi.
Setelah
meninjau periodisasi sejarah sastra Indonesia dari H.B.Jassin, Boejoeng Saleh,
Nugroho Notosusanto, Bakri Siregar, dan Ajip Rosidi, maka tawaran Rachmat Djoko
Pradopo mengenai periodisasi sejarah sastra Indonesia adalah sebagai berikut:
1.
Periode Balai Pustaka : 1920-1940
2.
Periode Pujangga Baru : 1930-1945
3.
Periode Angkatan 45 : 1940-1955
4.
Periode Angkatan 50 : 1950-1970
5.
Periode Angkatan 70 : 1965-1984
Dari
pendapat para pakar di atas, maka dapat disimpulkan periodisasi sastra sebagai
berikut:
1.
Angkatan balai pustaka,
2.
Angkatan pujangga baru,
3.
Angkatan ’45,
4.
Angkatan 50-an.
5.
Angkatan 60-an,
6.
Angkatan kontemporer (70-an--sekarang).
A. Angkatan Balai Pustaka
Nama
penerbit balai pustaka sudah tidak asing lagi bagi masyarakat terpelajar
Indonesia karena sekarang balai pustaka merupakan salah satu penerbit besar
yang banyak memproduksi berbagai jenis buku.
Nama tersebut telah bertahan selama lebih dari 90 tahun, kalau dihitung
dari berdirinya pada tahun 1917 yang merupakan pengukuhan Komisi untuk Sekolah
Bumiputra dan Bacaan Rakyat (commissie
voor de inlandsche school en volkslectuur) yang didirikan oleh pemerintah
colonial belanda pada 14 september 1908.
Jelas bahwa badan penerbit itu merupakan organ pemerintah colonial yang
semangatnya boleh dikatakan berseberangan dengan penerbit-penerbit swasta, baik
yang semata-mata bervisi komersial maupun bervisi kebangsaan. Akan tetapi, mengingat sejarahnya yang panjang
itu maka sepantasnya menjadi bagian khusus dalam pengkajian aatau telaah
sejarah sastra Indonesia.
Secara
teoretis dapat dikatakan banyak masalah yang dapa diungkapkan ari balai pustaka
selama ini, antara lain visi dan misi, status, program kerja, para tokoh,
kebijakan redaksi, pengarang,
distribusi, dan produksi. Telaah semacam
itu dapat dijadikan pengkajian sejarah mikro yang pasti relevan dengan sejarah
makro sastra Indonesia. Ditambah dengan
pengkajian berbagai gejala yang berkembang di sekitarnya pastilah memperluas
wawasan pengetahuan masyarakat. Mungkin
saja kemudian berkembang pendapat bahwa balai pustaka ternyata bukan
satu-satunya penerbit pada tahun 1920-an membuka tradisi sastra modern, atau
justru dilupakan saja karena berjejak colonial.
Ciri-ciri
umum roman angkatan balai pustaka:
1.
Bersifat kedaerahan, karena
mengungkapkan persoalan yang hanya berlaku di daerah tertentu, khususnya
Sumatra barat.
2.
Bersufat romantic-sentimental, karena
ternyata banyak roman yang mematikan tokoh-tokohnya atau mengalami penderitaan
yang luar biasa.
3.
Bergata bahasa seragam, karena dikemas
oleh redaksi balai pustaka, sehingga gaya bahsanya tidak berkembang.
4.
Bertema sosial, karena belum terbuka
kesempatan mempersoalkan masalah polotik, watak, agama, dan lain-lain.
Sejumlah
tokoh dan karyanya dalam angkatan balai pustaka, yaitu:
1.
Abdul
Muis
Abdul
muis (lahir di solok, Sumatra barat, tahun 1886, meninggal di bandung 17 juli
1959), Pendidikan terakhirnya adalah di Stovia (sekolah kedokteran, sekarang
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia), Jakarta akan tetapi tidak tamat. Ia
juga pernah menjadi anggota Volksraad yang didirikan pada tahun 1916 oleh
pemerintah penjajahan Belanda. Ia dimakamkan di TMP Cikutra – Bandung dan
dikukuhkan sebagai pahlawan nasional oleh Presiden RI, Soekarno, pada 30
Agustus 1959 (Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 218 Tahun 1959,
tanggal 30 Agustus 1959).
Karir yang pernah dia
jalani :Dia pernah bekerja sebagai klerk di Departemen Buderwijs en Eredienst
dan menjadi wartawan di Bandung pada surat kabar Belanda, Preanger Bode, harian
Kaum Muda dan majalah Neraca pimpinan Haji Agus Salim. Selain itu ia juga
pernah aktif dalam Syarikat Islam dan pernah menjadi anggota Dewan Rakyat yang
pertama (1920-1923). Setelah kemerdekaan, ia turut membantu mendirikan
Persatuan Perjuangan Priangan.
Riwayat Perjuangan
melawan penjajah antara lain :
a.
Mengecam tulisan orang-orang Belanda yang sangat
menghina bangsa Indonesia melalui tulisannya di harian berbahasa Belanda, De
Express
b.
Pada tahun 1913, menentang rencana pemerintah Belanda
dalam mengadakan perayaan peringatan seratus tahun kemerdekaan Belanda dari
Perancis melalui Komite Bumiputera bersama dengan Ki Hadjar Dewantara
c.
Pada tahun 1922, memimpin pemogokan kaum buruh di
daerah Yogyakarta sehingga ia diasingkan ke Garut, Jawa Barat
d.
Mempengaruhi tokoh-tokoh Belanda dalam pendirian
Technische Hooge School – Institute Teknologi Bandung (ITB)
Karya-karyanya yang terkenal :
a.
Salah Asuhan (novel, 1928, difilmkan Asrul Sani, 1972)
b.
Pertemuan Jodoh (novel, 1933)
c.
Surapati (novel, 1950)
d.
Robert Anak Surapati(novel, 1953)
Novel asing yang pernah diterjemahkan oleh
Abdul Muis antara lain :
a.
Don Kisot (karya Cerpantes, 1923)
b.
Tom Sawyer Anak Amerika (karya Mark Twain, 1928)
c.
Sebatang Kara (karya Hector Melot, 1932)
d.
Tanah Airku (karya C. Swaan Koopman, 1950)
2.
Marah
rusli
Marah Rusli, sang
sastrawan itu, bernama lengkap Marah Rusli bin Abu Bakar. Ia dilahirkan di
Padang pada tanggal 7 Agustus 1889. Ayahnya, Sultan Abu Bakar, adalah seorang
bangsawan dengan gelar Sultan Pangeran. Ayahnya bekerja sebagai demang. Marah
Rusli mengawini gadis Sunda kelahiran Bogor pada tahun 1911. Mereka dikaruniai
tiga orang anak, dua orang laki-laki dan seorang perempuan. Perkawinan Marah
Rusli dengan gadis Sunda bukanlah perkawinan yang diinginkan oleh orang tua
Marah Rusli, tetapi Marah Rusli kokoh pada sikapnya, dan ia tetap
mempertahankan perkawinannya.
Meski lebih terkenal
sebagai sastrawan, Marah Rusli sebenarnya adalah dokter hewan. Berbeda dengan
Taufiq Ismail dan Asrul Sani yang memang benar-benar meninggalkan profesinya
sebagai dokter hewan karena memilih menjadi penyair, Marah Rusli tetap menekuni
profesinya sebagai dokter hewan hingga pensiun pada tahun 1952 dengan jabatan
terakhir Dokter Hewan Kepala. Kesukaan Marah Rusli terhadap kesusastraan sudah
tumbuh sejak ia masih kecil. Ia sangat senang mendengarkan cerita-cerita dari
tukang kaba, tukang dongeng di Sumatera Barat yang berkeliling kampung menjual
ceritanya, dan membaca buku-buku sastra. Marah Rusli meninggal pada tanggal 17
Januari 1968 di Bandung dan dimakamkan di Bogor, Jawa Barat. Dalam sejarah sastra Indonesia, Marah Rusli
tercatat sebagai pengarang roman yang pertama dan diberi gelar oleh H.B. Jassin
sebagai Bapak Roman Modern Indonesia. Sebelum muncul bentuk roman di Indonesia,
bentuk prosa yang biasanya digunakan adalah hikayat. Marah Rusli berpendidikan tinggi dan
buku-buku bacaannya banyak yang berasal dari Barat yang menggambarkan kemajuan
zaman. Ia kemudian melihat bahwa adat yang melingkupinya tidak sesuai lagi
dengan perkembangan zaman. Hal itu melahirkan pemberontakan dalam hatinya yang
dituangkannya ke dalam karyanya, Siti Nurbaya. Ia ingin melepaskan
masyarakatnya dari belenggu adat yang tidak memberi kesempatan bagi yang muda
untuk menyatakan pendapat atau keinginannya.
Dalam Siti Nurbaya, telah
diletakkan landasan pemikiran yang mengarah pada emansipasi wanita. Cerita itu
membuat wanita mulai memikirkan akan hak-haknya, apakah ia hanya menyerah
karena tuntutan adat (dan tekanan orang tua) ataukah ia harus mempertahankan
yang diinginkannya. Ceritanya menggugah dan meninggalkan kesan yang mendalam
kepada pembacanya. Kesan itulah yang terus melekat hingga sampai kini. Setelah
lebih delapan puluh tahun novel itu dilahirkan, Siti Nurbaya tetap diingat dan
dibicarakan.
Selain Siti Nurbaya,
Marah Rusli juga menulis beberapa roman lainnya. Akan tetapi, Siti Nurbaya
itulah yang terbaik. Roman itu mendapat hadiah tahunan dalam bidang sastra dari
Pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1969 dan diterjemahkan ke dalam bahasa
Rusia.Karya-karyanya yang terkenal antara lain :
a)
Siti Nurbaya. Jakarta : Balai Pustaka. 1920 mendapat
hadiah dari Pemerintah RI tahun 1969.
b)
La Hami. Jakarta : Balai Pustaka. 1924.
c)
Anak dan Kemenakan. Jakarta : Balai Pustaka. 1956.
d)
Memang Jodoh (naskah roman dan otobiografis)
e)
Tesna Zahera (naskah Roman)
3.
Merari
Siregar
Merari Siregar (lahir di
Sipirok, Sumatera Utara pada 13 Juli 1896 dan wafat di Kalianget, Madura, Jawa
Timur pada 23 April 1941) adalah sastrawan Indonesia angkatan Balai Pustaka.
Setelah lulus sekolah
Merari Siregar bekerja sebagai guru bantu di Medan. Kemudian dia pindah ke
Jakarta dan bekerja di Rumah Sakit CBZ (sekarang Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo). Terakhir pengarang ini pindah ke Kalianget, Madura, tempat ia
bekerja di Opium end Zouregie sampai akhir hayatnya.
Karya-karyanya yang
terkenal adalah
a)
Azab dan Sengsara. Jakarta: Balai Pustaka. Cet. 1 tahun
1920,Cet.4 1965.
b)
Binasa Karena Gadis Priangan. Jakarta: Balai Pustaka
1931.
c)
Cerita tentang Busuk dan Wanginya Kota Betawi. Jakarta:
Balai Pustaka 1924.
d)
Cinta dan Hawa Nafsu. Jakarta: t.th.
e)
Si Jamin dan si Johan. Jakarta: Balai Pustaka 1918.
4.
Nur
Sutan Iskandar
Nur
Sutan Iskandar (Sungai Batang, Sumatera Barat, 3 November 1893 – Jakarta, 28
November 1975) adalah sastrawan Angkatan Balai Pustaka.
Nur
Sutan Iskandar memiliki nama asli Muhammad Nur. Seperti umumnya lelaki
Minangkabau lainnya Muhammad Nur mendapat gelar ketika menikah. Gelar Sutan
Iskandar yang diperolehnya kemudian dipadukan dengan nama aslinya dan Muhammad
Nur pun lebih dikenal sebagai Nur Sutan Iskandar sampai sekarang.
Setelah
menamatkan sekolah rakyat pada tahun 1909 Nur Sutan Iskandar bekerja sebagai
guru bantu. Pada tahun 1919 ia hijrah ke Jakarta. Di sana ia bekerja di Balai
Pustaka, pertama kali sebagai korektor naskah karangan sampai akhirnya menjabat
sebagai Pemimpin Redaksi Balai Pustaka (1925-1942). Kemudian ia diangkat
menjadi Kepala Pengarang Balai Pustaka, yang dijabatnya 1942-1945.
Nur
Sutan Iskandar tercatat sebagai sastrawan terproduktif di angkatannya. Selain
mengarang karya asli ia juga menyadur dan menerjemahkan buku-buku karya
pengarang asing seperti Alexandre Dumas, H. Rider Haggard dan Arthur Conan
Doyle. Karya-karyanya yang terkenal antara lain :
a) Apa
Dayaku karena Aku Perempuan (Jakarta: Balai Pustaka, 1923)
b) Cinta
yang Membawa Maut (Jakarta: Balai Pustaka, 1926)
c) Salah
Pilih (Jakarta: Balai Pustaka, 1928)
d) Abu
Nawas (Jakarta: Balai Pustaka, 1929)
e) Karena
Mentua (Jakarta: Balai Pustaka, 1932)
f) Tuba
Dibalas dengan Susu (Jakarta: Balai Pustaka, 1933)
g) Dewi
Rimba (Jakarta: Balai Pustaka, 1935)
h) Hulubalang
Raja (Jakarta: Balai Pustaka, 1934)
i)
Katak Hendak Jadi Lembu (Jakarta: Balai
Pustaka, 1935)
j)
Neraka Dunia (Jakarta: Balai Pustaka,
1937)
k) Cinta
dan Kewajiban (Jakarta: Balai Pustaka, 1941)
l)
Jangir Bali (Jakarta: Balai Pustaka,
1942)
m) Cinta
Tanah Air (Jakarta: Balai Pustaka, 1944)
n) Cobaan
(Turun ke Desa) (Jakarta: Balai Pustaka, 1946)
o) Mutiara
(Jakarta: Balai Pustaka, 1946)
p) Pengalaman
Masa Kecil (Jakarta: Balai Pustaka, 1949)
q) Ujian
Masa (Jakarta: JB Wolters, 1952, cetakan ulang)
r) Megah
Cerah: Bacaan untuk Murid Sekolah Rakyat Kelas II (Jakarta: JB Wolters, 1952)
s) Megah
Cerah: Bacaan untuk Murid Sekolah Rakyat Kelas III (Jakarta: JB Wolters, 1952)
t) Peribahasa
(Karya bersama dengan K. Sutan Pamuncak dan Aman Datuk Majoindo. Jakarta: JB
Wolters, 1946)
u) Sesalam
Kawin (t.t.)
5.
Tulis
Sutan Sati
Tulis Sutan Sati
(Bukittinggi, Sumatra Barat, 1898 – 1942) adalah penyair dan sastrawan
Indonesia Angkatan Balai Pustaka. Karya-karyanya yang terkenal antara lain :
a.
Tak Disangka (1923)
b.
Sengsara Membawa Nikmat (1928)
c.
Syair Rosina (1933)
d.
Tjerita Si Umbut Muda (1935)
e.
Tidak Membalas Guna
f.
Memutuskan Pertalian (1978)
g.
Sabai nan Aluih: cerita Minangkabau lama (1954)
Muhammad Yamin dilahirkan di
Sawahlunto, Sumatera Barat, pada tanggal 23 Agustus 1903. Ia menikah dengan
Raden Ajeng Sundari Mertoatmadjo. Salah seorang anaknya yang dikenal, yaitu
Rahadijan Yamin. Ia meninggal dunia pada tanggal 17 Oktober 1962 di Jakarta. Di
zaman penjajahan, Yamin termasuk segelintir orang yang beruntung karena dapat
menikmati pendidikan menengah dan tinggi. Lewat pendidikan itulah, Yamin sempat
menyerap kesusastraan asing, khususnya kesusastraan Belanda.
Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa tradisi sastra Belanda diserap Yamin sebagai seorang intelektual sehingga
ia tidak menyerap mentah-mentah apa yang didapatnya itu. Dia menerima konsep
sastra Barat, dan memadukannya dengan gagasan budaya yang nasionalis.
Pendidikan yang sempat diterima
Yamin, antara lain, Hollands inlands
School (HIS) di Palembang, tercatat sebagai peserta kursus pada Lembaga
Pendidikan Peternakan dan Pertanian di Cisarua, Bogor, Algemene Middelbare School (AMS) ‘Sekolah Menengah Umum’ di Yogya,
dan HIS di Jakarta. Yamin menempuh pendidikan di AMS setelah menyelesaikan
sekolahnya di Bogor yang dijalaninya selama lima tahun. Studi di AMS Yogya
sebetulnya merupakan persiapan Yamin untuk mempelajari kesusastraan Timur di
Leiden. Di AMS, ia mempelajari bahasa Yunani, bahasa Latin, bahasa Kaei, dan
sejarah purbakala. Dalam waktu tiga tahun saja ia berhasil menguasai keempat
mata pelajaran tersebut, suatu prestasi yang jarang dicapai oleh otak manusia
biasa. Dalam mempelajari bahasa Yunani, Yamin banyak mendapat bantuan dari
pastor-pastor di Seminari Yogya, sedangkan dalam bahasa Latin ia dibantu Prof.
H. Kraemer dan Ds. Backer.
Setamat AMS Yogya, Yamin
bersiap-siap berangkat ke Leiden. Akan tetapi, sebelum sempat berangkat sebuah
telegram dari Sawahlunto mengabarkan bahwa ayahnya meninggal dunia. Karena itu,
kandaslah cita-cita Yamin untuk belajar di Eropa sebab uang peninggalan ayahnya
hanya cukup untuk belajar lima tahun di sana. Padahal, belajar kesusastraan
Timur membutuhkan waktu tujuh tahun. Dengan hati masgul Yamin melanjutkan
kuliah di Recht Hogeschool (RHS) di Jakarta dan berhasil mendapatkan gelar
Meester in de Rechten ‘Sarjana Hukum’ pada tahun 1932.
Sebelum tamat dari pendidikan
tinggi, Yamin telah aktif berkecimpung dalam perjuangan kemerdekaan. Berbagai
organisaasi yang berdiri dalam rangka mencapai Indonesia merdeka yang pernah
dipimpin Yamin, antara lain, adalah, Yong Sumatramen Bond ‘Organisasi Pemuda
Sumatera’ (1926–1928). Dalam Kongres Pemuda II (28 Oktober 1928) secara bersama
disepakati penggunaan bahasa Indonesia. Organisasi lain adalah Partindo
(1932–1938).
Pada tahun 1938—1942 Yamin tercatat
sebagai anggota Pertindo, merangkap sebagai anggota Volksraad ‘Dewan Perwakilan Rakyat’. Setelah kemerdekaan Indonesia
terwujud, jabatan-jabatan yang pernah dipangku Yamin dalam pemerintahan, antara
lain, adalah Menteri Kehakiman (1951), Menteri Pengajaran, Pendidikan dan
Kebudayaan (1953–1955), Ketua Dewan Perancang Nasional (1962), dan Ketua Dewan
Pengawas IKBN Antara (1961–1962).
Dari riwayat pendidikannya dan dari
keterlibatannya dalam organisasi politik maupun perjuangan kemerdekaan,
tampaklah bahwa Yamin termasuk seorang yang berwawasan luas. Walaupun
pendidikannya pendidikan Barat, ia tidak pernah menerima mentah-mentah apa yang
diperolehnya itu sehingga ia tidak menjadi kebarat-baratan. Ia tetap membawakan
nasionalisme dan rasa cinta tanah air dalam karya-karyanya. Barangkali halini
merupakan pengaruh lingkungan keluarganya karena ayah ibu Yamin adalah
keturunan kepala adat di Minangkabau. Ketika kecil pun, Yamin oleh orang tuanya
diberi pendidikan adat dan agama hingga tahun 1914. Dengan demikian, dapat
dipahami apabila Yamin tidak terhanyut begitu saja oleh hal-hal yang pernah
diterimanya, baik itu berupa karya-karya sastra Barat yang pernah dinikmatinya
maupun sistem pendidikan Barat yang pernah dialaminya.
Umar Junus dalam bukunya
Perkembangan Puisi Indonesia dan Melayu Modern (1981) menyatakan bahwa puisi
Yamin terasa masih berkisah, bahkan bentul-betul terasa sebagai sebuah kisah.
Dengan demikian, puisi Yamin memang dekat sekali dengan syair yang memang
merupakan puisi untuk mengisahkan sesuatu.”Puisi Yamin itu dapat dirasakan
sebagai syair dalam bentuk yang bukan syair”, demikian Umar Junus. Karena itu,
sajak-sajak Yamin dapat dikatakan lebih merupakan suatu pembaruan syair
daripada suatu bentuk puisi baru. Akan tetapi, pada puisi Yamin seringkali
bagian pertamanya merupakan lukisan alam, yang membawa pembaca kepada suasana
pantun sehingga puisi Yamin tidak dapat dianggap sebagai syair baru begitu
saja. Umar Junus menduga bahwa dalam penulisan sajak-sajaknya, Yamin
menggunakan pantun, syair, dan puisi Barat sebagai sumber. Perpaduan ketiga
bentuk itu adalah hal umum terjadi terjadi pada awal perkembangan puisi modern
di Indonesia.
Jika Umar Junus melihat adanya
kedekatan untuk soneta yang dipergunakan Yamin dengan bentuk pantun dan syair,
sebetulnya hal itu tidak dapat dipisahkan dari tradisi sastra yang melingkungi
Yamin pada waktu masih amat dipengaruhi pantun dan syair. Soneta yang dikenal
Yamin melalui kesusastraan Belanda ternyata hanya menyentuh Yamin pada segi isi
dan semangatnya saja. Karena itu, Junus menangkap kesan berkisah dari
sajak-sajak Yamin itu terpancar sifat melankolik, yang kebetulan merupakan
sifat dan pembawaan soneta. Sifat soneta yang melankolik dan kecenderungan
berkisah yang terdapat didalamnya tidak berbeda jauh dengan yang terdapat dalam
pantun dan syair. Dua hal yang disebut terakhir, yakni sifat melankolik dan
kecenderungan berkisah, kebetulan sesuai untuk gejolak perasaan Yamin pada masa
remajanya. Karena itu, soneta yang baru saja dikenal Yamin dan yang kemudian
digunakannya sebagai bentuk pengungkapan estetiknyha mengesankan bukan bentuk
soneta yang murni.
7. Suman Hasibuan
Suman Hasibuan (lahir di
Bengkalis, Riau, 4 April 1904 – wafat di Pekanbaru, Riau, 8 Mei 1999 pada umur
95 tahun) adalah sastrawan Indonesia. Hasil karya dari Suman Hasibuan antara
lain adalah “Mencari Pencuri Anak Perawan”, “Kawan Bergelut” (kumpulan cerpen),
“Tebusan Darah”, “Kasih Tak Terlerai”, dan “Percobaan Setia”. Ia digolongkan
sebagai sastrawan dari Angkatan Balai Pustaka. Karya-karyanya yang terkenal
antara lain :
a)
“Pertjobaan Setia” (1940)
b)
“Mentjari Pentjuri Anak Perawan” (1932)
c)
“Kasih Ta’ Terlarai” (1961)
d)
“Kawan Bergelut” (kumpulan cerpen)
e)
“Tebusan Darah”
8. Adinegoro
Adinegoro (lahir di
Talawi, Sumatera Barat, 14 Agustus 1904 – wafat di Jakarta, 8 Januari 1967 pada
umur 62 tahun) adalah sastrawan Indonesia dan wartawan kawakan. Ia
berpendidikan STOVIA (1918-1925) dan pernah memperdalam pengetahuan mengenai
jurnalistik, geografi, kartografi, dan geopolitik di Jerman dan Belanda
(1926-1930). Nama aslinya sebenarnya
bukan Adinegoro, melainkan Djamaluddin gelar Datuk Madjo Sutan. Ia adalah adik
sastrawan Muhammad Yamin. Mereka saudara satu bapak, tetapi lain ibu. Ayah
Adinegoro bernama Usman gelar Baginda Chatib dan ibunya bernama Sadarijah,
sedangkan nama ibu Muhammad Yamin adalah Rohimah. Ia memiliki seorang istri
bernama Alidas yang berdarah Sulit Air ,Solok, Sumatera Barat.
Dua buah novel Adinegoro
yang terkenal (keduanya dibuat pada tahun 1928), yang membuat namanya sejajar
dengan nama-nama novelis besar Indonesia lainnya, adalah Asmara Jaya dan Darah
Muda. Ajip Rosidi dalam buku Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia (1982),
mengatakan bahwa Adinegoro merupakan pengarang Indonesia yang berani melangkah
lebih jauh menentang adat kuno yang berlaku dalam perkawinan. Dalam kedua
romannya Adinegoro bukan hanya menentang adat kuno tersebut, melainkan juga
dengan berani memenangkan pihak kaum muda yang menentang adat kuno itu yang
dijalankan oleh pihak kaum tua.
Di samping kedua novel itu, Adinegoro juga menulis novel lainnya, yaitu Melawat ke Barat, yang merupakan kisah perjalanannya ke Eropa. Kisah perjalanan ini diterbitkan pada tahun 1930. Selain itu, ia juga terlibat dalam polemik kebudayaan yang terjadi sekitar tahun 1935. Esainya, yang merupakan tanggapan polemik waktu itu, berjudul “Kritik atas Kritik” terhimpun dalam Polemik Kebudayaan yang disunting oleh Achdiat K. Mihardja (1977). Dalam esainya itu, Adinegoro beranggapan bahwa suatu kultur tidak dapat dipindah-pindahkan karena pada tiap bangsa telah melekat tabiat dan pembawaan khas, yang tak dapat ditiru oleh orang lain. Ia memberikan perbandingan yang menyatakan bahwa suatu pohon rambutan tidak akan menghasilkan buah mangga, dan demikian pun sebaliknya. Karyanya antara lain:
Di samping kedua novel itu, Adinegoro juga menulis novel lainnya, yaitu Melawat ke Barat, yang merupakan kisah perjalanannya ke Eropa. Kisah perjalanan ini diterbitkan pada tahun 1930. Selain itu, ia juga terlibat dalam polemik kebudayaan yang terjadi sekitar tahun 1935. Esainya, yang merupakan tanggapan polemik waktu itu, berjudul “Kritik atas Kritik” terhimpun dalam Polemik Kebudayaan yang disunting oleh Achdiat K. Mihardja (1977). Dalam esainya itu, Adinegoro beranggapan bahwa suatu kultur tidak dapat dipindah-pindahkan karena pada tiap bangsa telah melekat tabiat dan pembawaan khas, yang tak dapat ditiru oleh orang lain. Ia memberikan perbandingan yang menyatakan bahwa suatu pohon rambutan tidak akan menghasilkan buah mangga, dan demikian pun sebaliknya. Karyanya antara lain:
a.
Buku
a)
Revolusi dan Kebudayaan (1954)
b)
Ensiklopedi Umum dalam Bahasa Indonesia (1954),
c)
Ilmu Karang-mengarang
d)
Falsafah Ratu Dunia
b.
Novel
a)
Darah Muda. Batavia Centrum : Balai Pustaka. 1931
b)
Asmara Jaya. Batavia Centrum : Balai Pustaka. 1932.
c)
Melawat ke Barat. Jakarta : Balai Pustaka. 1950.
c.
Cerita pendek
a)
Bayati es Kopyor.
b)
Etsuko. Varia.
c)
Lukisan Rumah Kami.
d)
Nyanyian Bulan April.
B. Angkatan Pujangga Baru
1. Latar
belakang terbitnya Pujangga Baru
Buku Pujangga Baru, Prosa dan Puisi yang
disusun oleh H.B Jasin adalah sebuah bunga rampai (antologia) dari para
pengarang dan penyair yang oleh penyusunnya digolongkan ke dalam Angkatan
Pujangga Baru Seperti diketahui, oleh para ahli dan parapenyusun buku-buku
pelajaran sastra Indonesia, perkembangan sastra Indonesia dibagi-bagimenjadi
angkatan-angkatan. Angkatan Pujangga Baru biasanya ditempatkan sebagaiangkatan
kedua, yaitu setelah angkatan Balai Pustaka dan mendahului kelahiran
angkatan‘45. Tetapi kita lihat pembagian sejarah sastra Indonesia dalam
angkatan-angkatan ini, tidaklah disertai dengan alasan-alasan yang bisa kita
terima. Tidak sedikit pula para sastrawan yang menolak atau tidak mau dimasukan
dalam sesuatu angkatan, mereka memilih masuk angkatan yang disukainya. Misalnya
Achdiat K. Mihardja pernah menyatakan bahwa ia lebih suka digolongkan kepada
angkatan Pujangga Baru, padahal para ahli telah menggolongkannya kepada
angkatan ‘45.
Pujangga Baru muncul sebagai reaksi atas
banyaknya sensor yang dilakukan oleh Balai Pustaka terhadap karya tulis
sastrawan pada masa tersebut, terutama terhadap karya sastra yang menyangkut
rasa nasionalisme dan kesadaran kebangsaan. Sastra Pujangga Baru adalah sastra
intelektual, nasionalistik dan elitis.
Ketika sastra Indonesia dikuasai oleh
angkatan Pujangga Baru, masa-masa tersebut lebih dikenal sebagai Masa Angkatan
Pujangga Baru. Masa ini dimulai dengan terbitnya majalah Pujangga
Baru pada Mei 1933. Majalah inilah yang merupakan terompet serta penyambung
lidah para pujangga baru. Penerbitan majalah tersebut dipimpin oleh tiga
serangkai pujangga baru, yaitu Amir Hamzah, Armijn Pane, dan Sutan Takdir
Alisjahbana.
Dalam manivestasi pujangga baru
dinyatakan bahwa fungsi kesusastraan itu, selain melukiskan atau menggambarkan
tinggi rendahnya suatu bangsa, juga mendorong bangsa tersebut ke arah kemajuan.
Sebenarnya para pujangga baru serta
beberapa orang pujangga Siti Nurbaya sangat dipengaruhi oleh para
pujangga Belanda angkatan 1880 (De Tachtigers).
Hal ini tak mengherankan sebab pada
jaman itu banyak para pemuda Indonesia yang berpendidikan barat, bukan saja
mengenal, bahkan mendalami bahasa serta kesusastraan Belanda. Di antara para
pujangga Belanda angkatan 80-an, dapat kita sebut misalnya Willem Kloos dan
Jacques Perk. J.E. Tatengkeng, seorang pujangga baru kelahiran Sangihe yang
beragama Protestan dan merupakan penyair religius sangat dipengaruhi oleh
Willem Kloos.
Lain halnya dengan Hamka. Ia pengarang
prosa religius yang bernafaskan Islam, lebih dipengaruhi oleh pujangga Mesir
yang kenamaan, yaitu Al-Manfaluthi, sedangkan Sanusi Pane lebih banyak
dipengaruhi oleh India daripada oleh Barat, sehingga ia dikenal sebagai seorang
pengarang mistikus ke-Timuran.
Pujangga religius Islam yang terkenal
dengan sebutan Raja Penyair Pujangga Baru adalah Amir Hamzah. Ia sangat
dipengaruhi agama Islam serta adat istiadat Melayu. Jiwa Barat itu rupanya
jelas sekali terlihat pada diri Sutan Takdir Alisyahbana. Lebih jelas lagi
tampak pada Armijn Pane, yang boleh kita anggap sebagai perintis kesusastraan
modern.
Pada Armijn Pane rupanya pengaruh Barat
itu menguasai dirinya secara lahir batin. Masih banyak lagi para pujangga baru
lainnya seperti Rustam Effendi, A.M. Daeng Myala, Adinegoro, A. Hasjemi,
Mozasa, Aoh Kartahadimadja, dan Karim Halim. Mereka datang dari segala penjuru
tanah air dengan segala corak ragam gaya dan bentuk jiwa serta seninya.
Mereka berlomba-lomba, namun tetap satu
dalam cita-cita dan semangat mereka, yaitu semangat membangun kebudayaan
Indonesia yang baru dan maju. Itulah sebabnya mereka dapat bekerjasama,
misalnya saja dalam memelihara dan memajukan penerbitan majalah Pujangga
Baru.
2.
Karakteristik
Karya Angkatan Pujangga Baru
a. Dinamis
b. Bercorak
romantik/idealistis, masih secorak dengan angkatan sebelumnya, hanya saja
kalau romantik angkatan
Siti Nurbaya bersifat
fasip, sedangkan angkatan
Pujangga Baru aktif romantik. Hal ini berarti bahwa cita-cita atau ide
baru dapat mengalahkan atau menggantikan apa yang sudah dianggap tidak berlaku
lagi.
c. Angkatan Pujangga
Baru menggunakan bahasa
Melayu modern dan
sudah meninggalkan bahasa klise.
Mereka berusaha membuat
ungkapan dan gaya
bahasa sendiri. Pilihan kata,
Penggabungan ungkapan serta
irama sangat dipentingkan
oleh Pujangga Baru sehingga dianggap terlalu dicari-cari.
Ditilik bentuknya, karya angkatan Pujangga Baru
mempunyai ciri-ciri:
a. Bentuk puisi
yang memegang peranan
penting adalah soneta,
disamping itu ikatan-ikatan lain
seperti quatrain dan
quint pun banyak
dipergunakan. Sajak jumlah suku
kata dan syarat-syarat
puisi lainnya sudah
tidak mengikat lagi, kadang-kadang para
Pujangga Baru mengubah
sajak atau puisi
yang pendek-pendek, cukup
beberapa bait saja.
Sajak-sajak yang agak
panjang hanya ada beberapa buah, misalnya ”Batu Belah” dan
”Hang Tuah” karya Amir Hamjah.
b. Tema dalam
karya prosa (roman)
bukan lagi pertentangan
faham kaum muda dengan
adat lama seperti
angkatan Siti Nurbaya,
melainkan perjuangan
kemerdekaan dan pergerakan
kebangsaan, misalnya pada
roman Layar Terkembang karya
Sutan Takdir Alisyahbana
c. Bentuk karya
drama pun banyak
dihasilkan pada masa
Pujangga Baru dengan tema
kesadaran nasional. Bahannya
ada yang diambil
dari sejarah dan
ada pula yang semata-mata pantasi
pengarang sendiri yang menggambarkan jiwa dinamis.
3.
Pengarang Angkatan Pujangga Baru dan Karyanya
1. Sutan Takdir Alisjahbana
Orang
besar ini dilahirkan
di Natal (Tapanuli)
pada 11-02-1908. Setelah menamatkan HIS
di Bengkulu ia
memasuki Kweekschool di
Bukitinggi dan kemudian HKS
di Bandung. Setelah
itu ia belajar
untuk Hoof Dacte
di Jakarta dan
juga belajar pada Sekolah Hakim
Tinggi. Selain itu belajar pula tentang filsafat dan kebudayaan pada
Fakultas sastra. Pendidikan
yang beraneka ragam
yang pernah dialaminya
serta cita-cita dan keinginan
yang keras itu,
menyebabkan keahlian yang
bermacam-macam pula pada dirinya.
Karangannya mempunyai bahasa
yang sederhana tetapi
tepat. Karya-karyanya antara
lain:
a. Tak Putus
Dirundung Malang (roman, 1929)
b. Dian Tak
Kunjung Padam (roman, 1932)
c. Anak
Perawan Disarang Penyamun (roman, 1941)
d. Layar
Terkembang (roman tendenz, 1936)
e. Tebaran
Mega (kumpulan puisi/prosa lirik, 1936)
f. Melawat Ke
Tanah Sriwijaya (kisah, 1931/1952)
g. Puisi Lama
(1942)
h. Puisi Baru
(1946)
2. Amir Hamzah
Amir Hamzah
yang bergelar Pangeran
Indera Putra, lahir
pada 28-2-1911 di Tanjungpura (Langkat), dan meninggal pada
bulan Maret 1946. Ia keturunan bangsawan, kemenakan dan menantu Sultan Langkat,
serta hidup ditengah-tengah keluarga
yang taat beragama Islam. Ia mengunjungi HIS di Tanjungpura, Mulo di
Medan, dan Jakarta AMS, AI (bagian Sastra Timur) di Solo. Ia menuntut ilmu pada
Sekolah Hakim Tinggi sampai kandidat. Amir Hamzah lebih banyak mengubah puisi
sehingga mendapat sebutan “Raja Penyair” Pujangga Baru. Karya-karyanya antara
lain:
a.
Nyanyi Sunyi (kumpulan sajak, 1937)
b.
Buah Rindu (kumpulan sajak, 1941)
c.
Setanggi Timur (kumpulan sajak, 1939)
d.
Bhagawad Gita (terjemahan salah satu
bagian mahabarata)
3. Sanusi Pane
Sanusi
Pane lahir di
Muara Sipongi, 14-11-1905.
Ia mengunjungi SR di Padang Sidempuan, Sibolga,
dan Tanjungbalai, kemudian
HIS Adabiyah di
Padang, dan melanjutkan pelajarannya
ke Mulo Padang
dan Jakarta, serta
pendidikannya pada
Kweekschool Gunung Sahari
Jakarata pada tahun
1925. Pada tahun
1928, ia pergi
ke India untuk memperdalam pengetahuannya tentang kebudayaan India.
Sekembalinya dari India ia memimpin majalah Timbul. Di samping sebagai guru pada
Perguruan Jakarta, ia menjabat pemimpin surat kabar Kebangunan dan kepala
pengarang Balai Pustaka sampai tahun 1941. Pada jaman pendududkan Jepang
menjadi pegawai tinggi Pusat Kebudayaan Jakarta dan kemudian bekerja pada
Jawatan Pendidikan Masyarakat di Jakarta. Karya-karyanya antara lain:
a.
Pancaran Cinta (kumpulan prosa lirik,
1926)
b.
Puspa Mega (kumpulan puisi, 1927)
c.
Madah Kelana (kumpulan puisi, 1931)
d.
Kertajaya (sandiwara, 1932)
e.
Sandyakalaning Majapahit (sandiwara,
1933)
f.
Manusia Baru (Sandiwara, 1940)
4. Muhamad Yamin, SH.
Prof.
Muhammad Yamin, SH.
dilahirkan di Sawahlunto,
Sumbar, 23 agustus 1905.
Setelah menamatkan Volkschool,
HIS dan Normaalschool, ia mengunjungi sekolah-sekolah vak
seperti sekolah pertanian
dan peternakan di
Bogor. Kemudian menamatkan AMS di
Jogyakarta pada tahun 1927. Akhirnya ia memasuki Sekolah Hakim di Jakarta
hingga bergelar pada
tahun 1932. Pekerjaan
dan keahlian Yamin
beraneka ragam, lebih-lebih setelah Proklamasi Kemerdekaan 19’45, ia
memegang jabatan-jabatan penting dalam kenegaraan hingga akhir hayatnya (26
Oktober 1962). Ia pun tidak pernah absen dalam revolusi. Karya-karyanya antara lain:
a.
Tanah Air (kumpulan puisi, 1922)
b.
Indonesia Tumpah Darahku (kumpulan
puisi, 1928)
c.
Menanti Surat dari Raja (sandiwara,
terjemahan Rabindranath Tagore)
d.
Di Dalam dan Di Luar Lingkungan Rumah
Tangga (Terjemahan dari Rabindranath Tagore)
e.
Ken Arok dan Ken Dedes (sandiwara, 1934)
f.
Gajah Mada (roman sejarah, 1934)
g.
Dipenogoro (roman sejarah, 1950)
h.
Julius Caesar (terjemahan dari karya
Shakespeare)
i.
6000 Tahun Sang Merah Putih (1954)
j.
Tan Malaka (19’45)
k.
Kalau Dewi Tara Sudah Berkata
(sandiwara, 1957)
5. J.E. Tatengkeng
Lahir di Kalongan,
Sangihe, 19 Oktober
1907. Pendidikannya dimulai
dari SD kemudian pindah ke HIS
Tahuna. Kemudian pindah ke Bandung, lalu ke KHS Kristen di Solo. Ia
pernah menjadi kepala
NS Tahuna pada
tahun 1947. Karya-karyanya bercorak religius. Dia juga sering melukiskan
Tuhan yang bersifat Universal. Karyanya antara lain Rindu Dendam (kumpulan
sajak, 1934).
6. Hamka
Hamka
adalah singkatan dari
Haji Abdul Malik
Karim Amrullah. Ia
lahir di Maninjau, Sumatera
Barat, 16 Februari 1908. Dia putera Dr. H. Abdul Karim Amrullah, seorang teolog
Islam serta pelopor
pergerakan berhaluan Islam
modern dan tokoh
yang ingin membersihkan agama
Islam dari khurafat
dan bid’ah. Pendidikan
Hamka hanya sampai kelas
dua SD, kemudian
mengaji di langgar
dan madsrasah. Ia
pernah mendapat didikan dan
bimbingan dari H.O.S
Tjokroaminoto. Prosa Hamka
bernafaskan religius menurut
konsepsi Islam. Ia pujangga Islam yang produktif. Karyanya antara lain:
a.
Di Bawah Lindungan Ka’bah (1938)
b.
Di Dalam Lembah kehidupan (kumpulan
cerpen, 1941)
c.
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk (roman,
1939)
d.
Kenang-Kenangan Hidup (autobiografi,
1951)
e.
Ayahku (biografi)
f.
Karena Fitnah (roman, 1938)
g.
Merantau ke Deli (kisah;1939)
h.
Tuan Direktur (1939)
i.
Menunggu Beduk Berbunyi (roman, 1950)
j.
Keadilan Illahi
k.
Lembaga Budi
l.
Lembaga Hidup
m.
Revolusi Agama
7. M.R. Dajoh
Marius
Ramis Dajoh lahir
di Airmadidi, Minahasa,
2 November 1909.
Ia berpendidikan SR, HIS
Sirmadidi, HKS Bandung,
dan Normaalcursus di
Malang. Pada masa Jepang
menjabatat kepala bagian sandiwara di kantor Pusat Kebudayaan. Kemudian
pindah ke Radio
Makasar. Dalam karya
Prosanya sering menggambarkan
pahlawan-pahlawan yang berani, sedang dalam puisinya sering meratapi
kesengsaraan masyarakat. Karyanya antara lain:
a.
Pahlawan Minahasa (roman; 1935) .
b.
Peperangan Orang Minahasa dengan Orang
Spanyol (roman, 1931).
c.
Syair Untuk Aih (sajaka, 1935).
8. Ipih
Ipih
atau H.R. adalah
nama samaran dari
Asmara Hadi. Dia
lahir di Talo, Bengkulu, tanggal
5 September 1914.
Pendidikannya di HIS
Bengkulu, Mulo Jakarta, Bandung, serta
Mulo Taman Siswa
Bandung. Lebih dari
setahun ia ikut
dengan Ir. Soekarno di
Endeh. Setelah menjadi
guru, ia menjadi
wartawan dan pernah
memimpin harian Pikiran Rakyat di Bandung. Dalam karyanya terbayang
semangat gembira dengan napas kebangsaan dan perjuangan. Karya-karyanya antara
lain:
a.
Di Dalam Lingkungan Kawat Berduri
(catatan, 1941)
b.
Sajak-sajak dalam majalah
9. Armijn Pane
Armijn
Pane adalah adik
dari Sanusi Pane.
Lahir di Muarasipongi,
Tapanuli Selatan, 18 Agustus
1908. Ia berpendidikan
HIS, ELS, Stofia
Jakarta pada tahun
1923, dan pindah ke Nias, Surabaya, dan menamatkan di Solo. Kemudian
menjadi guru bahasa dan sejarah di
Kediri dan Jakarta
serta pada tahun
1936 bekerja di
Balai Pustaka. Pada masa
pendudukan Jepang menjadi
Kepala Bagian Kesusastraan
di Kantor Pusat Kebudayaan Jakarta, serta memimpin
majalah Kebudayaan Timur. Karyanya
antara lain:
a.
Belenggu (roman jiwa, 1940)
b.
Kisah Antara Manusia (kumpulan cerita
pendek, 1953)
c.
Nyai Lenggang Kencana (sandiwara, 1937)
d.
iwa Berjiwa (kumpulan sajak, 1939)
e.
Ratna (sandiwara, 1943)
f.
Lukisan Masa (sandiwara, 1957)
g.
Habis Gelap Terbitlah Terang (uraian dan
terjemahan surat-surat R.A Kartini, 1938)
10.
Rustam
Effendi
Lahir di Padang,
18 Mei 1905.
Dia aktif dalam
bidang politik serta
pernah menjadi anggota Majelis
Perwakilan Belanda sebagai
utusan Partai Komunis.
Dalam karyanya banyak dipengaruhi oleh bahasa daerahnya, juga sering
mencari istilah-istilah dari Bahasa Arab dan Sansakerta. Karyanya antara lain:
a.
Percikan Permenungan (kumpulan sajak,
1922)
b.
Bebasari (sandiwara bersajak, 1922)
11.
A.
Hasjmy
A. Hasjmy nama sebenarnya adalah Muhammad Ali
Hasjmy. Lahir di Seulimeun, Aceh, 28 Maret 1912. Ia berpendidikan SR dan
Madrasah Pendidkan Islam. Pada tahun 1936 menjadi guru di Perguruan Islam
Seulimeun. Karya-karyanya antara lain:
a.
Kisah Seorang Pengembara (kumpulan
sajak, 1936)
b.
Dewan Sajak (kumpulan sajak, 1940)
12.
Imam
Supardi
Karya-karyanya
antara lain:
a.
Kintamani (roman)
b.
Wishnu Wardhana (drama, 1937)
Sastrawan dan penyair lainnya dari angkatan Pujangga
Baru:
13.
Mozasa, singkatan dari Mohamad Zain Saidi
14.
Yogi, nama samaran A. Rivai, kumpulan sajaknya Puspa Aneka
15.
A.M. DG. Myala, nama sebenarnya A.M Tahir
16.
Intojo alias Rhamedin Or Mandank
C. Angkatan ‘45
1.
Sejarah
Lahirnya Angkatan ‘45
Jika
diruntut berdasarkan periodesasinya, sastra
Indonesia Angkatan ‘45
bisa dikatakan sebagai angkatan
ketiga dalam lingkup
sastra baru Indonesia,
setelah angkatan Balai Pustaka
dan angkatan Pujangga
Baru. Munculnya karya-karya
sastra Angkatan ‘45 yang
dipelopori oleh Chairil
Anwar ini memberi
warna baru pada
khazanah kesusastraan
Indonesia. Bahkan ada
orang yang berpendapat
bahwa sastra Indonesia
baru lahir dengan adanya karya-karya Chairil Anwar, sedangkan
karya-karya pengarang terdahulu seperti Amir Hamzah, Sanusi Pane, St.Takdir
Alisjahbana, dan lain-lainnya dianggap sebagai karya sastra Melayu. Pada mulanya
angkatan ini disebut
dengan berbagai nama,
ada yang menyebut Angkatan Sesudah
Perang, Angkatan Chairil
Anwar, Angkatan Kemerdekaan,
dan lain-lain. Baru pada
tahun 1948, Rosihan
Anwar menyebut angkatan
ini dengan nama
Angkatan ‘45. Nama ini segera
menjadi populer dan dipergunakan oleh semua pihak sebagai nama resmi. Meskipun namanya sudah ada, tetapi
sendi-sendi dan landasan ideal angkatan ini belum dirumuskan.
Baru pada tahun
1950 “Surat Kepercayaan
Gelanggang” dibuat dan diumumkan. Ketika itu Chairil Anwar sudah
meninggal. Surat kepecayaan itu ialah semacam pernyataan sikap yang menjadi dasar pegangan perkumpulan
“Selayang Seniman Merdeka”. Masa Chairil
Anwar masih hidup. Angkatan ‘45 lebih
realistik dibandingkan dengan Angkatan Pujangga Baru yang romantik idealistik.
Semangat patriotik yang ada pada sebagian besar sastrawan Angkatan ‘45
tercermin dari sebagian
besar karya-karya yang
dihasilkan oleh parasastrawan
tersebut. Beberapa karya Angkatan ‘45 ini mencerminkan perjuangan
menuntut kemerdekaan. Banyak pula di antaranya
yang selalu mendapatkan kecaman, di antaranya Pramoedya Ananta Toer.
Pramoedya dengan keprofesionalannya masih
eksis menghasilkan karya-karya
terutama mengenai perjuangan mencapai kemerdekaan Indonesia. Bahkan
sampai saat ini karya-karya Pramoedya masih digandrungi khususnya oleh penikmat
sastra. Sebegitu banyak orang
yang memproklamasikan kelahiran
dan membela hak hidup
Angkatan ‘45, sebanyak
itu pulalah yang
menentangnya. Armijn Pane berpendapat bahwa Angkatan ‘45 ini
hanyalah lanjutan belaka dari apa yang sudah dirintis oleh angkatan
sebelumnya, yaitu Angkatan
Pujangga Baru. Sutan
Takdir Alisyahbana pun
berpendapat demikian.
2.
Beberapa
Pendapat Tentang Angkatan ‘45
1.
Armijn Pane: Pujangga Baru
menentang adanya Angkatan
‘45 dan menganggap
bahwa tak ada
yang disebut Angkatan ‘45.
2.
Sutan Takdir Alisyahbana: Angkatan ‘45
merupakan sambungan dari Pujangga Baru.
3.
Teeuw: Memang berbeda
Angkatan ‘45 dengan
Angkatan Pujangga Baru,
tetapi ada garis penghubung, misalnya
Armijn Pane dengan
Belenggu-nya. (puncak-puncak kesusastraan Indonesia).
4.
Sitor Situmorang: Pujangga Baru masih
terikat oleh zamannya, yaitu zaman penjajahan, sedangkan Angkatan ‘45
dalam soal kebudayaan
tidak membedakan antara
Barat dan Timur, tetapi yang penting hakikat manusia.
Perjuangan Pujangga Baru baru mencapai kepastian dan ilmu pengetahuan.
5.
Pramoedya Ananta Toer: Angkatan Pujangga
Baru banyak ilmu
pengetahuannya tetapi tidak
banyak mempunyai penghidupan (pengalaman). Angkatan ‘45
kurang dalam ilmu
pengetahuan (karena perang)
tetapi sadar akan kehidupan.
3.
Karakteristik
Karya Angkatan ‘45
a.
Bercorak
lebih realistik dibanding
karya Angkatan Pujangga
Baru yang romantik-idealistik.
b.
Pengalaman hidup
dan gejolak sosial-politik-budaya mewarnai
karya sastrawan Angkatan ’45.
c.
Bahasanya lugas, hidup dan berjiwa serta
bernilai sastra.
d.
Sastrawannya lebih berjiwa patriotik.
e.
Bergaya ekspresi dan revolusioner
(H.B.Yassin).
f.
Bertujuan universal nasionalis.
g.
Bersifat praktis.
h.
Sikap sastrawannya “tidak berteriak
tetapi melaksanakan” .
4. Sastrawan Angkatan ‘45 dan Karyanya
1.
Chairil
Anwar
Chairil Anwar
lahir di Medan,
22 Juli 1922.
Sekolahnya hanya sampai
MULO (SMP) dan itu pun tidak tamat. Kemudian ia pindah ke Jakarta. Ia
merupakan orang yang banyak membaca dan belajar sendiri, sehingga
tulisan-tulisannya matang dan padat berisi. Chairil Anwar
berusaha memperbarui penulisan
puisi. Puisi yang
diubahnya berbentuk bebas, sehingga
disebut puisi bebas.
Ia diakui sebagai
pelopor Angkatan ‘45 di bidang sebagai alat untuk mencapai isi. Chairil Anwar termasuk penyair
yang penuh vitalitas
(semangat hidup yang menyala-nyala) dan
individualistis (kuat rasa
akunya). Puisi gubahannya
berirama keras (bersemangat),
tetapi ada juga yang bernafas ketuhanan seperti “Isa” dan “Do’a”. Karya-karya Chairil Anwar antara
lain:
a. Deru
Campur Debu (kumpulan puisi)
b. Tiga
Menguak Takdir (kumpulan puisi karya bersama Rivai Apin dan Asrul Sani)
c. Kerikil
Tajam dan Yang Terhempas dan Yang Putus (kumpulan puisi)
d. Pulanglah
Dia Si Anak Hilang (terjemahan dari karya Andre Gide)
e. Kena
Gempur (terjemahan dari karya Steinbeck)
2.
Asrul
Sani
Asrul Sani lahir di Rao, Sumatera
Barat, 10 Juni 1926. Ia seorang dokter hewan. Pernah memimpin
majalah Gema dan
harian Suara Bogor.
Tulisannya berpegang pada moral
dan keluhuran jiwa.
Asrul Sani adalah
seorang sarjana kedokteran
hewan, yang kemudian menjadi
direktur Akademi Teater
Nasional Indonesia (ATNI)
dan menjadi ketua Lembaga
Seniman Budayawan Muslimin
Indonesia (LESBUMI), juga
pernah duduk sebagai anggota
DPRGR/MPRS wakil seniman.
Asrul Sani juga
dikenal sebagai penulis skenario
film hingga sekarang. Karya-karya Asrul
Sani antara lain:
a. Sahabat
Saya Cordiaz (cerpen)
b. Bola
Lampu (cerpen)
c. Anak
Laut (sajak)
d. On
Test (sajak)
e. Surat
dari Ibu (sajak)
3.
Sitor
Situmorang
Lahir di
Tapanuli Utara, 21
Oktober 1924. Ia
cukup lama bermukim
di Prancis. Sitor juga
diakui sebagai kritikus
sastra Indonesia. Karya-karya
Sitor Situmorang antara lain:
a. Surat
Kertas Hijau (1954)
b. Jalan
Mutiara (kumpulan drama)
c. Dalam
Sajak (1955)
d. Wajah
Tak Bernama (1956)
e. Zaman
Baru (kumpulan sajak)
f. Pertempuran
dan Salju di Paris
g. Peta
Pelajaran (1976)
h. Dinding
Waktu (1976)
i.
Angin Danau (1982)
j.
Danau Toba (1982)
4.
Idrus
Lahir di Padang, 21 September 1921. Idrus dianggap
sebagai salah seorang tokoh pelopor
Angkatan ‘45 di
bidang prosa, walaupun
ia selalu menolak
penamaan itu. Karyanya bersifat
realis-naturalis (berdasarkan kenyataan dalam alam kehidupan) dengan sindiran
tajam. Karya-karyanya antara lain:
a. Dari
Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma (novel)
b. A
K I (novel)
c. Hikayat
Puteri Penelope (novel, terjemahan)
d. Anak
Buta (cerpen)
e. Perempuan
dan Kebangsaan
f. Jibaku
Aceh (drama)
g. Dokter
Bisma (drama)
h. Keluarga
Surono ( drama )
i.
Kereta Api Baja (terjemahan dari karya
Vsevold Iyanov, sastrawan Rusia)
5.
Hamzah
Fansuri
Dalam karya-karyanya tampak
pengaruh dari kakaknya, Amir Hamzah dan R. Tarogo. Karya-karyanya antara lain:
a.
Teropong
(cerpen)
b.
Bingkai
Retak (cerpen)
c.
Sine
Nomine (cerpen)
d.
Buku
dan Penulis (kritik)
e.
Laut
(sajak)
f. Pancaran
Hidup (sajak)
6.
Rivai
Apin
Penyair yang
seangkatan Chairil Anwar,
yang bersama-sama mendirikan “Gelanggang Seniman
Merdeka” ialah Asrul
Sani dan Rival
Apin. Ketiga penyair
itu, Chairil-Asrul-Rivai, dianggap sebagai trio pembaharu puisi
Indonesia, pelopor Angkatan ‘45.
Ketiga penyair itu
menerbitkan kumpulan sajak
bersama, Tiga Menguak
Takdir. Rivai Apin menulis
tidak selancar Asrul
Sani. Selain menulis
sajak, ia pun
menulis cerpen, esai, kritik,
skenario film, menerjemahkan, dan
lain-lain. Tahun 1954
ia sempat mengejutkan kawan-kawannya, ketika
keluar dari redaksi
Gelanggang dan beberapa waktu kemudian
ia masuk ke
lingkungan Lembaga Kebudayaan
Rakyat (Lekra), serta beberapa waktu sempat memimpin majalah kebudayaan
Zaman Baru yang menjadi organ kebudayaan
PKI. Setelah terjadi
G 30 S/PKI,
Rivai termasuk tokoh
Lekra yang karya-karyanya dilarang.
7.
Achdiat
Karta Mihardja
Ia
menguasai ilmu politik,
tasawuf, filsafat, dan
kemasyarakatan. Pernah menjadi
staf Kedubes RI di Canberra, Australia. Karya-karyanya antara lain:
a. Atheis
(roman)
b. Bentrokan
Dalam Asmara (drama).
c. Polemik
Kebudayaan (esai)
d. Keretakan
dan Ketegangan (kumpulan cerpen)
e. Kesan
dan Kenangan (kumpulan cerpen)
8.
Pramoedya
Ananta Toer
Lahir di Blora, 2 Februari 1925. Meskipun sudah
mulai mengarang sejak jaman Jepang
dan pada awal revolusi telah
menerbitkan buku Kranji
dan Bekasi Jatuh
(1947), namun baru menarik
perhatian dunia sastra
Indonesia pada tahun
1949, yaitu ketika cerpennya Blora,
yang ditulis dalam
penjara diumumkan, serta
ketika romannya Perburuan (1950)
mendapat hadiah sayembara
mengarang yang diselenggarakan oleh Balai Pustaka. Karya-karyanya antara lain:
a. Bukan
Pasar Malam (1951)
b. Di
Tepi Kali Bekasi (1951)
c. Gadis
Pantai Keluarga Gerilja (1951)
d. Mereka
yang Dilumpuhkan (1951)
e. Perburuan
(1950)
f. Tjerita
dari Blora (1963)
9.
Mukhtar
Lubis
Lahir di Padang, 7 Maret 1922. Sejak jaman Jepang ia
sudah bekerja di bidang penerangan.
Idenya bersifat kritik-demokrasi-konstruktif (membangun).
Di bidang kewartawanan ia
pernah mendapat hadiah
Ramon Magsay-say dari
Filipina. Karyanya banyak menggambarkan
perjuangan pada masa
revolusi, terutama aksi
polisional Belanda.
Karya-karyanya antara lain:
a. Tak
Ada Esok (roman)
b. Jalan
Tak Ada Ujung (roman jiwa)
c. Tanah
Gersang (novel)
d. Si
Jamal (cerpen)
e. Perempuan
(cerpen)
f. Kisah
dari Eropah (terjemahan)
g. Manusia
Indonesia
h. Maut
dan Cinta (novel)
i.
Penyamun Dalam Rimba (novel)
10.
Utuy
Tatang Sontani
Pada saat-saat pertama Jepang menginjakan kaki di
bumi Indonesia, pengarang kelahiran Cianjur tahun 1920 ini, telah mulai menulis
beberapa buah buku dalam bahasa Sunda, di antaranya sebuah roman yang berjudul
Tambera (1943). Karya-karyanya antara lain:
a. Suling
(1948)
b. Bunga
Rumah Makan (1948)
c. Awal
dan Mira (1952)
d. Manusia
Iseng
e. Sayang
Ada Orang Lain
f. Di
Langit Ada Bintang
g. Saat
yang Genting
h. Selamat
Jalan Anak Kufur
11.
Usmar
Ismail
Selain dikenal
sebagai sastrawan, Usmar
Ismail juga dikenal
sebagai sutradara film. Tahun
1950 ia mendirikan
Perfini. Karyanya bernafas
ketuhanan sejalan dengan pendapatnya bahwa seni harus mengabdi kepada kepentingan nusa, bangsa, dan agama. Karya-karyanya antara lain:
a. Permintaan
Terakhir (cerpen)
b. Asokamala
Dewi (cerpen)
c. Puntung
Berasap (kumpulan puisi)
d. Sedih
dan Gembira (kumpulan drama yang terdiri atas:
“Citra”, “Api”, dan “Liburan Seniman”)
e. Mutiara
dari Nusa Laut (drama)
f. Tempat
Yang Kosong
g. Mekar
Melati
h. Pesanku
(sandiwara radio)
i.
Ayahku Pulang (saudara dari cerita
Jepang)
12.
El
Hakim
El Hakim merupakan nama samaran
dari Dr. Abu Hanifah. Karyanya bernuansa ketuhanan dan
kesusilaan. Di bidang
kebudayaan ia berpendapat
bahwa Timur yang idealis harus berkombinasi dengan Barat,
tanpa menghilangkan ketimurannya.
Karya-karyanya antara lain:
a. Taufan
di Atas Asia (kumpulan)
b. Dokter
Rimbu (roman)
c. Kita
Berjuang
d. Soal
Agama Dalam Negara Modern
13.
Maria
Amin
Hasil karya
pengarang wanita ini
bercorak simbolik. Karyany-karyanya antara lain:
a. Tinjaulah
Dunia Sana
b. Penuh
Rahasia ( puisi )
c. Kapal
Udara ( puisi )
14.
Rosihan
Anwar
Rosihan
Anwar dikenal juga
sebagai jurnalis (wartawan).
Banyak tulisannya tentang tanggapan
sosial, yaitu mengupas
masalah yang timbul
dalam kehidupan. Ia pernah
memimpin harian Merdeka
Asia Raya dan
Mingguan Siasat. Karya-karyanya antara lain:
a. Radio
Masyarakat (cerpen)
b. Raja
Kecil, Bajak Laut di Selat Malaka
(roman)
c. Manusia
Baru (sajak)
d. Lukisan
(sajak)
e. Seruan
Nafas (sajak)
15.
Waluyati
Dalam Angkatan ‘45 ada seorang penyair wanita
bernama Waluyati yang lahir di
Sukabumi, 1924. Puisi-puisinya dimuat
dalam Pujani (1951),
Gema tanah Air
(H.B. Jassin, 1975), dan
Seserpih Pinang Sepucuk
Sirih (Toeti Heraty,
1979). Karya-karyanya antara
lain:
a. Berpisah
b. Siapa?
5.
Fenomena
Karya Angkatan ‘‘45
Dalam menuangkan
karyanya, Chairail Anwar
menggunakan bahasa Indonesia yang terbebas
dari pola bahasa
Melayu. Ia menciptakan
bahasa yang lebih
demokratis. Sebagai contoh, ia
tidak lagi menyatakan
“beta” seperti dalam
puisi salah satu
penyair Pujangga Baru, tetapi menyebut dirinya “aku”. Hal ini dapat kita
lihat dalam sajak Aku yang benar-benar bercorak baru. Meski puisinya banyak
diilhami puisi asing, namun puisi-puisinya memiliki gaya khas yang hanya
dimiliki oleh Chairil Anwar.
D. Angkatan
‘50
1.
Sejarah
Lahirnya Periode ‘50
Slamet
Muljono pernah menyebut
bahwa sastrawan Angkatan
‘50 hanyalah pelanjut (successor) saja, dari angkatan
sebelumnya (’45). Tinjauan yang mendalam
dan menyeluruh membuktikan
bahwa masa ini
pun memperlihatkan ciri-cirinya, yaitu:
a.
Berisi kebebasan sastrawan yang lebih
luas di atas kebiasaan (tradisi) yang diletakan pada tahun 1945.
b.
Masa ‘50 memberikan pernyataan tentang
aspirasi (tujuan yang terakhir dicapai nasional lebih lanjut). Periode ‘50
tidak hanya pengekor
(epigon) dari angkatan
‘45, melainkan merupakan survival, setelah melalui masa-masa
kegonjangan. Adapun ciri-cirinya yang
lebih rinci adalah sebagai berikut:
1. Pusat kegiatan
sastra makin banyak
jumlahnya dan makin
meluas daerahnya hampir di seluruh Indonesia, tidak hanya
berpusat di Jakarta dan Yogyakarta.
2. Terdapat pengungkapan
yang lebih mendalam
terhadap kebudayaan daerah
dalam menuju perwujudan sastra nasional Indonesia.
3. Penilaian
keindahan dalam sastra tidak lagi didasarkan kepada kekuasaan asing, tetapi
lebih kepada peleburan
(kristalisasi) antara ilmu
dan pengetahuan asing
dengan perasaan dan ukuran nasional.
2.
Ciri-ciri
Periode 50-an
Angkatan
50-an ditandai dengan
terbitnya majalah sastra
Kisah asuhan H.B.
Jasin. Ciri angkatan ini adalah karya sastra yang didominasi oleh cerita
pendek dan kumpulan puisi. Majalah tersebut bertahan sampai tahun 1956 dan
diteruskan dengan majalah sastra lainnya. Kemudian angkatan ini dikenal dengan
karyanya berupa sastra majalah Pada
angkatan ini muncul
gerakan komunis dikalangan
sastrawan yang bergabung dalam Lembaga
Kebudayaan Rakyat (Lekra),
yang berkonsep sastra
realisme sosialis. Timbullah perpecahan
antara sastrawan sehingga
menyebabkan mandegnya perkembangan sastra, karena
masuk ke dalam
politik praktis, sampai
berakhir pada tahun
1965 dengan pecahnya G30 S/PKI di
Indonesia.
Adapun ciri-ciri dari periode ini antara lain:
a. Umumnya
karya sastrawan sekitar tahun 1950-1960-an;
b. Sampai
tahun 1950-1955, sastrawan angkatan ‘45 juga masih menerbitkan karyanya;
c. Corak
karya cukup beragam, karena pengaruh faktor politik/idiologi partai;
d. Terjadi
peristiwa G 30 S/PKI sehingga sastrawan Lekra disingkirkan.
3.
Masalah
yang Dihadapi Periode 50
a. Angkatan
’50 mengalami kendala dalam menerbitkan karya-karyanya, dikarenakan Balai
Pustaka sebagai penerbit utama buku-buku sastra, kedudukannya tidak menentu.
Penerbit ini bernaung dibawah P dan K dan pergantian status yang dilakukan
hanya dalam waktu yang singkat dan
tidak menentu, di
tambah penempatan pemimpin
yang bukan ahli, sehingga tidak
dapat mengelola anggaran
yang tersedia yang
berakibat macetnya produksi karya.
b. Setelah Balai
Pustaka yang mengalami
kesulitan penerbitan, penerbit
yang lainnya pun mengalami nasib serupa, seperti penerbit
seperti Pembangunan dan Tintamas.
c. Oleh
sebab itu, karya-karya sastra hanya banyak bermunculan di majalah-majalah
seperti Gelanggang/Siasat, Mimbar Indonesia, Zenith, dan Pudjangga Baru. Oleh
sebab itu pula karya yang banyak ditampilkan terutama sajak, cerpen, dan
karangan-karangan lain yang pendek-pendek,
sesuai dengan kebutuhan
majalah-majalah tersebut, maka
tak anehlah kalau para pengarang
pun lantas hanya mengarang cerpen, sajak
dan karangan-karangan lain yang
pendek-pendek. Keadaan seperti
itulah yang menyebabkan
lahirnya istilah sastra majalah.
Istilah ini dilansir
dan diperkenelkan oleh
Nugroho Notosusanto dalam tulisannya Situasi 1954 yang dimuat di
majalah Kompas yang dipimpinnya.
4.
Sastrawan
Periode ‘50 dan Karyanya
1. Ajip Rosidi
Lahir di Jatiwangi,
Majalengka, 1938. Sejak
berumur 13 tahun
sudah menulis di majalah-majalah sekolah, kemudian di
majalah orang dewasa. Karya-karyanya antara lain:
a. Cari
Mauatan (kumpulan sajak, 1956)
b. Ditengah
keluarga (1956)
c. Pertemuan
Kembali (1960)
d. Sebuah
Rumah Buat Hari Tua
e. Tahun-Tahun
Kematian (1955)
f. Ketemu
di Jalan$ (kumpulan sajak bersama Sobrone Aidit dan Adnan, 1956)
g. Perjalanan
Pengantin (prosa,1958)
h. Pesta (kumpulan sajak, 1956)
2. Ali Akbar Navis
Lahir di Padang Panjang, 17 November 1924. Sejak
tahun 1950 mulai terlibat dalam kegiatan sastra. Ia keluaran INS Kayu Taman.
Karya-karyanya antara lain:
a. Bianglala (kumpulan cerita pendek, 1963)
b. Hujan
Panas (kumpulan cerita pendek, 1963)
c. Robohnya
Surau Kami (kumpulan cerita pendek, 1950)
d. Kemarau
(novel, 1967)
3. Bokor Hutasuhut
Karyanya seperti Datang Malam (1963)
4. Enday Rasyidin
Karyanya Surat Cinta
5. NH. Dini
NH.
Dini, nama lengkapnya
Nurhayati Suhardini, lahir
29 Pebruari 1936.
Setelah menamatkan SMA 1956,
lalu masuk kursus
stewardess, kemudian bekerja
di GIA Jakarta. Karya-karyanya banyak mengisahkan
kebiasaan barat yang bertentangan dengan timur. Karya-karyanya antara lain:
a. Dua
Dunia (1950)
b. Hati
yang Damai (1960)
6.
Nugroho Notosusanto
Lahir di Rembang,
15 Juni 1931.
Dia bergerak dalam
kemasyarakatan dan pernah menjadi Tentara Pelajar, lulusan
Fakultas sastra UI Jakarta. Karya-karyanya antara lain:
a. Hujan
Kepagian (kumpulan cerita pendek, 1958)
b. Rasa
Sayange (1961)
c. Tiga
Kota (1959)
d. Hujan
Tanahku Hijau Bajuku (kumpulan cerita pendek, 1963)
7. Ramadhan K.H
Lahirkan
di Bandung, 16
Maret 1927. Namanya
mulai muncul sekitar
tahun 1952. Karyanya berupa
sajak, cerita pendek,
dan terjemahan-terjemahan karya
Lorca, pengarang Spanyol. Karya-karyanya antara lain:
a. Api
dan Sirangka
b. Priangan
si Jelita (kumpulan sajak, 1958, mendapat hadiah BMKM)
c. Yerna
(terjemahan dari Lorca, 1959)
8. Sitor Situmorang
Lahir di Tapanuli, 21 Oktober 1924. Dia adalah
angkatan ‘45, yang tetap produktif menghasikan karya di tahun 50-an.
Karya-karyanya antara lain:
a. Pertempuran
dan Salju di Paris (1956, mendapat hadiah dari BMKM)
b. Jalan
Mutiara (kumpulan tiga sandiwara, 1954)
c. Surat
Kertas Hijau (kumpulan sajak, 1953)
d. Wajah
Tak Bernama (kumpulan sajak, 1955)
e. Jaman
Baru (kumpulan sajak)
f. Dalam
sajak
9. Subagio Sastrowardojo
Karyanya antara lain:
a. Simphoni
(sajak, 1957)
b. Kejantanan
di Sumbing (1965)
c. Perawan
Tua (cerpen)
d. Daerah
perbatasan
e. Salju.
10. Titis Basino
Karyanya antara lain: Dia, Hotel, Surat Keputusan
(cerpen, 1963).
11. Toto Sudarto Bachtiar
Lahir di Palimanan,
Cirebon, 12 Oktober
1929. Pendidikannya Cultuur-School di Tasikmalaya tahun
1946, Mulo Bandung
1948, SMA Bandung
1950, dan Fakultas
Hukum UI. Karya-karyanya antara lain:
a. Suara
(kumpulan sajak, 1950-1955)
b. Elsa
(kumpulan sajak, 1958)
12. Trisnojuwono
Lahir di Yoyakarta, 5 Desember 1929. Dia menamatkan
SMA tahun 1947. Sejak 1946 masuk
Tentara Rajyat Mataram,
1947-1948 anggota Corps
Mahasiswa di Magelang
dan Jombang. Tahun 1950
masuk tantara Siliwangi,
Combat Intelligence, Kesatuan
Komando, Pasukan Payung AURI sampai dapat Brevet. Karya-karyanya antara
lain:
a. Laki-laki
dan Mesiu (kumpulan cerita pendek, 1951/1957)
b. Angin
Laut (kumpulan cerita pendek, 1958)
c. Di
Medan Perang (1962)
d. Pagar
Kawat Berduri.
13. Muhammad Ali
Lahir di Surabaya, 25 April 1927. Pandidikannya HIS
dan kursus-kursus bahasa pada masa
Jepang. Dia bekerja
di Kotapraja Surabaya,
menjadi redaktur Mingguan
Pemuda dan Mingguan Pahlawan
(1949-1950). Ia mulai bergerak di bidang Sastra tahun 1942. Karya-karyanya
antara lain:
a. Siksa
dan Bayangan (Balai Buku Surabaya, 1955)
b. Persetujuan
dengan Iblis
c. Kubur
Tak Bertanda (1955)
d. Hitam
Atas Putih (1959)
14. Alexander Leo
Lahir di Lahat, 1935. Pendidikannya SMA Malang 1945.
Kemudian bekerja di Balai Pustaka bagian redaksi. Karya-karyanya antara lain:
a. Orang-orang
yang Kembali (kumpulan cerita pendek, 1956)
b. Mendung
(Novel)
15. Toha Muchtar
Karya-karyanya antara lain:
a. Pulang
(novel, 1958)
b. Daerah
Tak Bertuan ( 1963)
c. Bukan
Karena Kau (1968)
d. Kabut
Rendah (1968)
16. Riono Praktikto
Lahir di Semarang,
27 Agustus 1932.
Pendidikannya SMP 195,
kemudian masuk Fakultas
Pengetahuan Tehnik bagian bangunan umum. Karyanya-karyanya antara lain:
a. Api
(kumpulan cerita pendek, 1951)
b. Si
Rangka (1958)
17. Kirdjomuljo
Lahir di Yogyakarta, 1930. Sejak tahun 1958 termasuk
penyair produktif. Karyanya antara lain
Romance Perjalanan (1955).
18. Montinggo Busje
Karya-karyanya antara lain:
a. Malam
Jahanam (drama, mendapat hadiah ke-1 Departemen P &K)
b. Hari
Ini Tak Ada Cinta
c. Sejuta
Matahari
d. Malam
Penganten di Bukit Kera (Novel)
19. Misbah Jusa Biran
Karyanya antara lain Bung Besar (drama, mendapat hadiah ke-2).
20. Nasjah Jamin
Karya-karyanya antara lain:
a. Sekelumit
Nyanyian Sunda (drama, mendapat hadiah ke-3)
b. Hilanglah
Si Anak Hilang (novel, 1936)
c. Di
Bawah Kaki Pak Dirman (kumpulan cerita pendek, 1967)
21. N. Susy Aminah Aziz
Lahir di Jakarta, 24 Oktober 1937. Sejak 1957
menulis sajak dan cerita pendek dalam majalah-majalah di ibu kota. Ia juga
deklamator Tunas Mekar RRI Jakarta. Karya-karyanya antara lain:
a. Seraut
Wajahku (kumpulan sajak, 1961)
b. Tetesan
Embun (kumpulan sajak, 1961)
c. Mutiaraku
Hilang (novel biografi)
22. Titie Said
Lahir di Bojonegoro,
11 Juni 1935.
Ia pernah menjadi
redaksi majalah wanita. Karyanya antara lain Perjuanagan dan
Hati Perempuan (kumpulan cerita pendek, 1962)
23. W.S. Rendra
Karya-karyanya antara lain:
a. Balada
Orang-orang Tercinta (1957)
b. Empat
Kumpulan Sajak (1961)
c. Ia
Sudah Bertualang dan Cerita-Cerita Pendek Lainya (1963)
24. Iwan Simatupang
Lahir di
Sibolga, 18 Januari
1928. Dia merupakan
sastrawan modern yang
pernah dimiliki Indonesia. Iwan
sangat taat mempraktikan
filsafat eksistensialisme dalam
karya-karyanya. Ia juga
dikenal sebagai penulis
puisi, cerpen, esai,
dan drama. Iwan
adalah sastrawan yang mewakili
paradigma postmodernisma dan menganut civil
society international. Dalam pandangan Iwan, penyakit kebudayaan seperti
etatisme, liberalisme, dan individualisme
dapat diselesaikan atau
disembuhkan melalui pertolongan
orang luar (di antaranya
satrawan-penulis) secara proposional,
sistematis, dan universal.
Esainya banyak menghiasi majalah-majalah kebudayaan
seperti Zenith (1951-1954),
Kisah (1953-1957), Mimbar
Indonesia, Siasat, dan Sastra (1961-1964).
Karya-karyanya antara lain:
a. Bulan
Bujur Sangkar
b. Taman
Drama, kemudian dibukukan menjadi Petang
di Taman.
c. RT
Nol /RW Nol
d. Lebih
Hitam dari Hitam (cerpen, 1959)
e. Ziarah,
Kering dan Merahnya Merah (1968).
E. Angkatan 60-an
Angkatan ini ditandai dengan
terbitnya majalah sastra Horison. Semangat avant-garde sangat menonjol pada
angkatan ini. Banyak karya sastra pada
angkatan ini yang sangat beragam dalam aliran sastra, antara lain munculnya
karya sastra beraliran surrealistik,
arus kesadaran, arketip, absurd, dan lain-lain pada masa angkatan
ini di Indonesia. Penerbit Pustaka Jaya
sangat banyak membantu dalam menerbitkan karya karya sastra pada masa angkatan
ini. Sastrawan pada akhir angkatan yang
lalu termasuk juga dalam kelompok ini seperti Motinggo Busye, Purnawan
Tjondronegoro, Djamil Suherman, Bur Rasuanto, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko
Damono dan Satyagraha Hoerip Soeprobo dan termasuk paus sastra Indonesia, H.B. Jassin.
Seorang sastrawan pada angkatan
50-60-an yang mendapat tempat pada angkatan ini adalah Iwan Simatupang. Pada masanya, karya sastranya berupa novel,
cerpen dan drama kurang mendapat perhatian bahkan sering menimbulkan
kesalahpahaman; ia lahir mendahului zamannya.
1.
Sutardji Calzoum Bachri
Sutardji Calzoum Bachri lahir di
Rengat, Indragiri Hulu pada tanggal 24 Juni 1941 adalah pujangga Indonesia
terkemuka. Setelah lulus SMA Sutardji Calzoum Bachri melanjutkan studinya ke
Fakultas Sosial Politik Jurusan Administrasi Negara, Universitas Padjadjaran,
Bandung. Pada mulanya Sutardji Calzoum Bachri mulai menulis dalam surat kabar
dan mingguan di Bandung, kemudian sajak-sajaknyai dimuat dalam majalah Horison
dan Budaya Jaya serta ruang kebudayaan Sinar Harapan dan Berita Buana.
Dari sajak-sajaknya itu Sutardji
memperlihatkan dirinya sebagai pembaharu perpuisian Indonesia. Terutama karena
konsepsinya tentang kata yang hendak dibebaskan dari kungkungan pengertian dan
dikembalikannya pada fungsi kata seperti dalam mantra.
Pada musim panas 1974, Sutardji
Calzoum Bachri mengikuti Poetry Reading
International di Rotterdam. Kemudian ia mengikuti seminar International Writing Program di Iowa City, Amerika Serikat
dari Oktober 1974 sampai April 1975. Sutardji juga memperkenalkan cara baru
yang unik dan memikat dalam pembacaan puisi di Indonesia. Sejumlah sajaknya
telah diterjemahkan Harry Aveling ke dalam bahasa Inggris dan diterbitkan dalam
antologi Arjuna in Meditation
(Calcutta, India), Writing from the World
(Amerika Serikat), Westerly Review
(Australia) dan dalam dua antologi berbahasa Belanda: Dichters in Rotterdam (Rotterdamse Kunststichting, 1975) dan Ik wil nog duizend jaar leven, negen moderne Indonesische dichters
(1979). Pada tahun 1979, Sutardji dianugerah hadiah South East Asia Writer Awards atas prestasinya dalam sastra di
Bangkok, Thailand.
O Amuk Kapak merupakan penerbitan
yang lengkap sajak-sajak Calzoum Bachri dari periode penulisan 1966 sampai
1979. Tiga kumpulan sajak itu mencerminkan secara jelas pembaharuan yang
dilakukannya terhadap puisi Indonesia modern.
2.
Abdul Hadi Widji Muthari
Abdul Hadi Widji Muthari (lahir di
Sumenep, Madura, Jawa Timur, 24 Juni 1946; umur 62 tahun) adalah salah satu
sastrawan Indonesia. Sejak kecil ia telah mencintai puisi. Penulisannya
dimatangkan terutama oleh karya-karya Amir Hamzah dan Chairil Anwar, ditambah dengan
dorongan orang tua, kawan dan gurunya.
Beberapa karyanya :
1. Meditasi (1976)
2. Laut Belum Pasang (1971)
3. Cermin (1975)
4. Potret Panjang Seorang Pengunjung
Pantai Sanur (1975)
5. Tergantung Pada Angin (1977)
6. Anak Laut, Anak Angin (1983)
3.
Sapardi Djoko Damono
Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono
(lahir di Surakarta, 20 Maret 1940; umur 68 tahun) adalah seorang pujangga
Indonesia terkemuka. Ia dikenal dari berbagai puisi-puisi yang menggunakan
kata-kata sederhana, sehingga beberapa di antaranya sangat populer. Beberapa karyanya :
1. Dukamu Abadi – (kumpulan puisi)
2. Mata Pisau dan Akuarium – (kumpulan
puisi)
3. Perahu Kertas – (kumpulan puisi)
4. Sihir Hujan – (kumpulan puisi)
5. Hujan Bulan Juni – (kumpulan puisi)
6. Arloji – (kumpulan puisi)
7. Ayat-ayat Api – (kumpulan puisi)
4.
Goenawan Soesatyo Mohammad
Goenawan Soesatyo Mohamad (lahir di
Karangasem, Batang, Jawa Tengah, 29 Juli 1941; umur 67 tahun) adalah seorang
sastrawan Indonesia terkemuka. Ia juga salah seorang pendiri Majalah
Tempo. Penyair, esais,
wartawan, yang sampai sekarang menjadi pimpinan umum majalah Tempo ini
termasuk penanda tangan Manifes Kebudayaan. GM adalah juga penerima Anugerah
Seni pemerintah RI, penerima Hadiah A. Teeuw tahun 1992 dan Hadiah Sastra ASEAN
tahun 1981.Di samping prestasi-prestasi di atas, GM pernah menjadi wartawan
Harian KAMMI, anggota DKJ, pimred Express, pimred majalah Zaman, redaktur
Horison, anggota Badan Sensor Film.
Ia
menulis kumpulan sanjak Interlude, Parikesit (1971);kumpulan esai Seorang
Penyair Muda Sebagai Si
Malinkundang (1972); Catatan Pinggir I (1982), Catatan Pinggir 2 (1989),
Catatan Pinggir 3 yang dihimpun dari majalah Tempo. Karyanya yang lain:
Asmaradahana (kumpulan puisi, 1992); Seks, Sastra, Kita (kumpulan esai);
Revolusi Belum Selesai” (kumpulan esai); Misalkan Kita di Serayewo (antologi
puisi, 1998).
Goenawan Mohamad adalah seorang
intelektual yang punya wawasan yang begitu luas, mulai pemain sepak bola,
politik, ekonomi, seni dan budaya, dunia perfilman, dan musik. Pandangannya
sangat liberal dan terbuka. Seperti kata Romo Magniz-Suseno, salah seorang
koleganya, lawan utama Goenawan Mohamad adalah pemikiran monodimensional. Beberapa karya Goenawan Mohammad antara lain
:
1. Interlude
2. Parikesit
3. Potret Seorang Penyair Muda Sebagai
Si Malin Kundang – (kumpulan esai)
4. Asmaradana
5. Misalkan Kita di Sarajevo
5.
Iwan Martua Dongan Simatupang
Iwan Martua Dongan Simatupang lahir
di Sibolga, Sumatera Utara tanggal 18 Januari 1928. Ia belajar di HBS di Medan,
lalu melanjtukan ke sekolah kedokteran (NIAS) di Surabaya tapi tidak selesai. Kemudian
belajar antropologi dan filsafat di Leiden dan Paris. Tulisan-tulisannya dimuat
di majalah Siasat dan Mimbar Indonesia mulai tahun 1952. Karya novel yang terkenal Merahnya Merah
(1968) mendapat hadiah sastra Nasional 1970, dan Ziarah (1970) mendapat hadiah
roman ASEAN terbaik 1977. Iwan
Simatupang meninggal di Jakarta 4 Agustus 1970.
Beberapa karyanya antara lain :
1. Ziarah
2. Kering
3. Merahnya Merah
4. Koong
5. RT Nol / RW Nol – (drama)
6. Tegak Lurus Dengan Langit
6.
Taufiq Ismail
Taufiq Ismail (lahir di Bukittinggi,
25 Juni 1935; umur 73 tahun) ialah seorang sastrawan Indonesia.
Pengkategoriannya sebagai penyair Angkatan ’66 oleh Hans Bague Jassin
merisaukannya, misalnya dia puas diri lantas proses penulisannya macet. Ia
menulis buku kumpulan puisi, seperti Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia, Tirani
dan Benteng, Tirani, Benteng, Buku Tamu Musim Perjuangan, Sajak Ladang Jagung,
Kenalkan, Saya Hewan, Puisi-puisi Langit, Prahara Budaya: Kilas Balik Ofensif
Lekra/PKI dkk, Ketika Kata Ketika Warna, Seulawah-Antologi Sastra Aceh, dan
lain-lain.
Penyair
ini terkenal dengan kumpulan sanjak Tirani dan Benteng, tertbit tahun 1966.
Sanjak berjudul Seorang Tukang Rambutan dan Istrinya, Karangan Bunga, Sebuah
Jaket Berlumur Darah, Kami adalah Pemilik Sah Republik Ini, Yang Kami Minta
Hanyalah… bisa dijumpai dalam buku-buku tersebut. Kumpulan sanjaknya yang lain,
Sajak Ladang Jagung (1973) terbit setelah ia pulang dari Amerika. Dalam buku
tersebut, kita bisa membaca Kembalikan Indonesia Padaku, Beri Daku Sumba,
Bagaimana Kalau ….. Sejak puluhan tahun yang lalu (1974) Taufiq bekerja sama
dengan Bimbo Group dalam penulisan lirik lagu. Kita bisa dengar nikmati lagu
dan lirik Aisyah Adinda Kita, Sajadah Panjang, Balada Nabi-nabi, Bermata tapi
Tak Melihat, Ibunda Swarga Kita, dan lain-lain dari dirinya. Taufiq Ismail juga
menulis Sajak-sajak Si Toni, Balai-balai, Membaca Tanda-tanda, Abad ke-15
Hijriah, Rasa Santun yang Tidur, Puisi-puisi Langit.
Pada
awal tahun 1994 diluncurkan buku antologi puisi berjudul Tirani dan Benteng
cetak ulang dua kumpulan puisinya yang terkenal itu. Buku tersebut diberi
pengantar oleh sang penyair secara cukup panjang dan mendalam. Di antara kata
pengantar dan dua kumpulan sanjak tersebut disertakan pula dalam buku ini
Sajak-sajak Menjelang Tirani dan Benteng. Pada tahun-tahun seputar Reformasi
ditulisnya puisi berjudul Takut 98 dan antologi puisi Malu Aku Jadi Orang
Indonesia (MAJOI) terbit tahun 1998. Bersama DS Mulyanto, rekan sastrawan
Angkatan ’66, Taufiq Ismail mengeditori buku tebal berjudul Prahara Budaya
(antologi esai, 1995), bersama LK Ara dan Hasyim Ks menyusun buku tebal juga
berjudul Seulaweh Antologi Sastra Aceh (1995).
7. Bur
Rasuanto
Bur Rasuanto
dilahirkan di Palembang, 6 April 1937, adalah pengarang, penyair, wartawan. Ia
menulis kumpulan cerpen Bumi yang Berpeluh (1963) dan Mereka Akan Bangkit
(1963). Bur Rasuanto juga menulis roman Sang Ayah (1969); Manusia Tanah
Air (1969) dan novel Tuyet (1978).
8. Subagio
Sastrawardoyo
Subagio Sastrawardoyo
dilahirkan di Madiun, 1 Febuari 1924, meninggal di Jakarta, 18 Juli 1995.
Penyair, pengarang, esais ini, pernah menjadi redaktur Balai Pustaka, dosen
bahasa Indonesia di Adelaide, dosen FS UGM, SESKOAD Bandung, Universitas
Flinders, Australia Selatan. I menulis kumpulan sanjak Simphoni (1957); Daerah Perbatasan,
Kroncong Motenggo (1975). Kumpulan esainya berjudul Bakat Alam dan
Intelektualisme (1972); ManusiaTerasing di Balik Simbolisme Sitor, Sosok
Pribadi dalam Sajak (1980); antologi puisi Hari dan Hara; kumcerpen Kejantanan
di Sumbing (1965). Cerpennya Kejantanan di Sumbing dan puisinya Dan Kematian
Makin Akrab meraih penghargaan majalah Kisah dan Horison.
9. Titie
Said Sadikun
Titie Said Sadikun dilahirkan
di Bojonegoro, 11 Juli 1935. Pengarang dan wartawati yang pernah menjadi
redaktur majalah Wanita, Hidup, Kartini, Famili ini menulis kumpulan cerpen
Perjuangan dan Hati Perempuan (1962), novel Jangan Ambil Nyawaku (1977), Lembah
Duka, Fatimah yang difilmkan menjadi Budak Nafsu, Reinkarnasi, Langit Hitam di
Atas Ambarawa.
10.
Arifin C. Noer
Arifin C. Noer
dilahirkan di Cirebon 10 Maret 1941, meninggal di Jakarta 28 Mei 1995. Penyair
yang juga dramawan dan sutradara film ini menulis sanjak Dalam Langgar,
Dalam Langgar Purwadinatan, naskah drama Telah Datang Ia, Telah Pergi Ia ,
Matahari di Sebuah Jalan Kecil , Monolog Prita Istri Kita dan Kasir Kita (1972,
Tengul (1973), Kapai-kapai (1970), Mega-mega (1966), Umang-umang (1976), Sumur
Tanpa Dasar (1975), Orkes Madun, Aa Ii Uu, Dalam Bayangan Tuhan atawa
Interogasi, Ozon. Karya-karyanya yang lain: Nurul Aini (1963); Siti Aisah
(1964); Puisi-puisi yang Kehilangan Puisi-puisi (1967); Selamat pagi, Jajang
(1979); Nyanyian Sepi (1995); drama Lampu Neon (1963); Sepasang Pengantin
(1968); Sandek,Pemuda Pekerja (1979)
Selain
penyair dan dramawan yang memimpin Teater Kecil, Arifin C. Noer juga penulis
skenario dan sutradara film yang andal. Karya skenarionya antara lain: G 30
S/PKI; Serangan Fajar; Taksi; Taksi Juga; Bibir Mer.
Film-film
yang disutradarinya: Pemberang (1972); Rio Anakku (1973); Melawan badai (1974);
Petualang-petualang (1978); Suci Sang Primadona (1978); Harmonikaku (1979).
Pada tahun 1972 Arifin menerima Hadiah Seni dari Pemerintah RI dan pada tahun
1990 menerima Hadiah Sastra ASEAN.
11.
Hartoyo Andangjaya
Hartoyo Andangjaya
dilahirkan di Solo 4 Juli 1930, meninggal di kota ini juga pada 30 Agustus
1990. Penyair yang pernah menjadi guru SMP dan SMA di Solo dan Sumatra Barat
ini menulis sanjak-sanjak terkenal berjudul Perempuan-perempuan Perkasa,
Rakyat, juga Sebuah Lok Hitam, Buat Saudara Kandung. Sanjak-sanjak tersebut
bisa dijumpai dalam bukunya Buku Puisi (1973). Musyawarah Burung (1983) adalah
karya terjemahan liris prosaya tokoh sufi Fariduddin Attar. Seratusan puisi
karya penyair sufi terbesar sepanjang sejarah, Maulana Jalaluddin Rumi, diambil
dari Diwan Syamsi Tabriz, diterjemahkan dan dihimpunnya di bawah judul buku
Kasidah Cinta.
Hartoyo
juga menulis antologi puisi Simponi Puisi (bersama DS Mulyanto, 1954),
Manifestasi (bersama Goenawan Mohamad dan Taufiq Ismail, 1963), kumpulan syair
Dari Sunyi ke Bunyi (1991).Karya-karya terjemahannya: Tukang Kebun (Tagore,
1976), Kubur Terhormat bagi Pelaut (antologi puisi J. Slauerhoff, 1977),
Rahasia hati (novel Natsume Suseki,1978); Puisi Arab Modern (1984).Hartoyo
Andangjaya termasuk penanda tangan Manifes Kebudayaan.
12.
Slamet Sukirnanto
Slamet Sukirnanto
dilahirkan di Solo 3 Maret 1941. Penyair ini menulis buku kumpulan puisi Kidung
Putih(1967); Gema Otak Terbanting; Jaket Kuning (1967), Bunga Batu (1979),
Catatan Suasana (1982), Luka Bunga (1991). Bersama A. Hamid Jabbar, Slamet
mengeditori buku Parade Puisi Indonesia (1993). Dalam buku itu, termuat
sanjak-sanjaknya: Rumah, Rumah Anak-anak Jalanan, Kayuh Tasbihku, Gergaji, Aku
Tak Mau; Bersama Sutarji Calzoum Bachri dan Taufiq Ismail, Slamet menjadi
editor buku Mimbar Penyair Abad 21.
13.
Mohammad Diponegoro
Mohammad Diponegoro dilahirkan
di Yogya 28 Juni 1928, meninggal di kota yang sama 9 Mei 1982. Pengarang,
dramawan, pendiri Teater Muslim, penyiar radio Australia ini
menulis cerpen Kisah Seorang Prajurit, roman Siklus, terjemahan puitis juz Amma
Pekabaran/Kabar Wigati (1977), kumpulan esai ketika ia menjadi redaktur Suara
Muhammadiyah berjudul Yuk, Nulis Cerpen, Yuk (1985). Mohammad Diponegoro juga
menulis antologi puisi bersama penyair lain bertajuk Manifestasi (1963), drama
Surat pada Gubernur, Iblis (1983), buku esai Percik-percik Pemikiran Iqbal
(1984), antologi cerpen Odah dan Cerita Lainnya (1986).
14.
Hariyadi Sulaiman Hartowardoyo
Hariyadi Sulaiman Hartowardoyo
dilahirkan di Prambanan, 18 Maret 1930, meninggal di Jakarta, 9 April 1984,
mengarang roman Orang Buangan (1971), dan Perjanjian dengan Maut (1975),
kumpulan sanjak Luka Bayang (1964), menerjemahkan epos Mahabharata. Hariyadi
juga menulis buku astrologi Teropong Cinta (1984).
15.
Satyagraha Hurip
Satyagraha Hurip dilahirkan
di Lamongan 7 April 1934, meninggal di Jakarta 14 Oktober 1998, mengarang
cerpen Pada Titik Kulminasi, kumcerpen Tentang Delapan Orang, novel Sepasang
Suami Istri (1964), Resi Bisma (1960), serta menyunting antologi esai Sejumlah
Masalah Sastra (1982). Karya-karyanya yang lain: Burung Api (cerita anak-anak,
1970); Sarinah Kembang Cikembang (kumcerpen, 1993). Satyagraha adalah editor
buku Cerita Pendek Indonesia I – IV (1979) dan penulis terjemahan Keperluan
Hidup Manusia (novel Leo Tolstoy, 1963).
Cerpen-cerpennya
dimuat di Kompas, Republik, Matra, antara lain: Surat Kepada Gubernur, Sang
Pengarang. Ia juga menulis kumpulan cerpen Gedono-Gedini (1990) dan Sesudah
Bersih Desa (1989).
16.
Titis Basino PI
Titis Basino PI dilahirkan
di Magelang 17 Januari 1939, menulis cerpen Rumah Dara, novel Pelabuhan Hati
(1978); Di Bumi Aku Bersua di Langit Aku Bertemu (1983); Bukan Rumahku (1983);
Welas Asih Merengkuh Tajali (1997); Menyucikan Perselingkuhan (1998),
Dari Lembah ke Coolibah (1997); Tersenyum pun Tidak untukku Lagi (1998); Aku
Supiyah Istri Hardian (1998); Bila Binatang Buas Pindah Habitat (1999); Mawar
Hitam Milik Laras (2000); Hari yang Baik (2000). Pada tahun 1999 Titis menerima
Hadiah Sastra Mastera.
17.
Bambang Sularto
Bambang Sularto dilahirkan
di Purworejo 11 September 1934, meninggal di Yogyakarta tahun 1992, terkenal
dengan dramanya Domba-domba Revolusi (1962). Juga ditulisnya novel Tanpa Nama
(1963); Enam Jam di Yogya,drama tak Terpatahkan (1967); buku Teknik Menulis
Lakon (1971)
18.
Jamil Suherman
Jamil Suherman
dilahirkan di Surabaya 24 April 1924, meninggal di Bandung 39 November 1985.
mengarang roman Perjalanan ke Akhirat; kumcerpen Ummi Kulsum(1963),
kumpulan sanjak Nafiri (1983), novel Pejuang-pejuang Kali Pepe (1984); Sarip
Tambak Oso (1985) . Juga menulis drama yang sangat terkenal berjudul Mahkamah
di Seberang Maut.
19.
Umar Kayam
Umar Kayam
dilahirkan di Ngawi 30 Maret 1932, Guru Besar UGM sang budayawan dan
pameran Bung Karno yang menulis kumcerpen Seribu Kunang-kunang di Manhattan
(1972) dan Sri Sumarah dan Bawuk (1975).
Novelnya
yang sangat terkenal berjudul Para Priyayi (1992) dan Jalan Menikung (2000).
Karyanya yang lain berjudul Ke Solo ke Jati dan Bi Ijah, keduanya berbentuk
cerpen, kumcerpen Parta Krama (1997), kumpulan esai Seni, Tradisi,
Masyarakat (1981); kumpulan kolom Mangan Ora Mangan Kumpul, Sugih Tanpa
Bandha, Madhep Ngalor Madhep Ngidul. Pada tahun 1987 Umar Kayam memperoleh
Hadiah Sastra ASEAN
20.
Budiman S. Hartoyo
Budiman S. Hartoyo dilahirkan
di Solo 5 Desember 1938 menulis antologi puisi Lima Belas Puisi (1972) ;
Sebelum Tidur (1977). Banyak menulis puisi-puisi religius, di antaranya puisi
tentang pengalaman spiritualnya ketika ia beribadah haji ke Tanah Suci. Dalam
bunga rampai Laut Biru Langit Biru susunan Ayip Rosidi bisa dibaca
sanjak-sanjak sufistiknya antara lain: Jarak Itu pun Makin Menghampir, Bukalah
Pintu Itu, Di depan-Mu Aku Sirna Mendebu.
21.
Gerson Poyk
Gerson Poyk dilahirkan
di Pulau Rote Timor 16 Juni 1931 mengarang novel Sang Guru (1971), kumcerpen
Matias Anankari (1975), novelet Surat Cinta Rajagukguk, Cinta Pertama, Kecil
Itu Indah Kecil Itu Cinta. Gerson juga menulis cerpen berjudul Bombai, Puting
Beliung, Pak Begowan Filsuf Hati Nurani;.
22.
Ramadhan K.H.
Ramadhan K.H. dilahirkan
di Bandung, 15 Maret 1927, meninggal di Cape Town, Afrika Selatan, 15 Maret
2006, adalah penyair, novelis, penerjemah. Sebentar berkuliah di ITB, pindah ke
Akademi Dinas Luar Negeri, pernah bekerja di Sticusa Amsterdam, pernah menjadi
redaktur majalah Kisah, Siasat, Budaya Jaya, anggota DKJ, direktur pelaksana
DKJ., mengikuti Festival Penyair Internasional di Amsterdam tahun 1992, mewakili
Indonesia dalam Kongres Penyair Sedunia dfi Taipeh tahun 1993, pernah bermukim
di Falencia, Spanyol, Paris, Los Angeles, Jenewa, Bonn.
Ramadhan
menulis kumpulan sanjak Priangan Si Jelita. Terkenal dengan romannya Royan
Revolusi, novelnya Kemelut Hidup mengangkat tema sosial dengan mengetengahkan
sebuah figur yang jujur, seperti Si Mamad nya Syuman Jaya. Novelnya yang lain
berjudul Keluarga Permana, dari perjalanan cinta Inggit Ganarsih dengan
Bung Karno, ditulisnya roman biografi Kuantar Ke Gerbang. Karya-karya Frederico
Garsia Lorca, sastrawan Spanyol, diterjemahkan menjadi Romansa Kaum Gitana.
Ramadhan
menulis novel yang mengasosiasikan pembaca pada korupsi yang terjadi di
Pertamina berjudul Ladang Perminus Bersama G. Dwipayana, Ramadhan menulis
otobiografi Suharto, Pikiran, Ucapan, dan Tindak Saya.
23.
Muhammad Saribi Afn
Muhammad Saribi Afn dilahirkan di
Klaten 15 Desember 1936, penyair dengan kumpulan sanjaknya Gema Lembah
Cahaya (1963). Karyanya yang lain, sebuah antologi bersama penyair-penyair
Islam berjudul Manifestasi. Di Panji Masyarakat, ia menulis puisi panjang Yang
Paling Manis ialah Kata. Dari mendengarkan kuliah subuh Buya HAMKA, lahirlah
bukunya Hamka Berkisah tentang Nabi dan Rasul.
24.
Mansur Samin
Mansur Samin dilahirkan
di Batangtoru Sumatra Utara 29 April 1930, penyair, pengarang cerita
kanak-kanak, wartawan, guru. Kumpulan sanjaknya Perlawanan (1966) dan Tanah Air
(1969) merupakan sanjak-sanjak demonstrasi atau rekaman peristiwa kebangkitan
Orde Baru, sebagaimana Tirani dan Benteng karya Taufiq Ismail dan Mereka Telah
Bangkit karya Bur Rasuanto. Juga menulis antologi puisi Dendang Kabut Senja
(1969), Sajak-sajak Putih (1996), drama Kebinasaan Negeri Senja (1968)
Cerkan-cerkannya antara lain: Si Bawang, Telaga di Kaki Bukit, Gadis Sunyi, Empat
Saudara, Berlomba dengan Senja.
25.
Rahmat Joko Pradopo
Rahmat Joko Pradopo dilahirkan di
Klaten 3 November 1939, penyair yang juga Guru Besar dari Fakultas
Sastra UGM. Ditulisnya antologi puisi Matahari Pagi di Tanah Air (1967), Hutan
Bunga (1990); Jendela Terbuka (1993). Sebagai ahli sastra, Rahmat menulis buku
berjudul Pengkajian Puisi (1987); Bahasa Puisi Nyanyi Sunyi dan Deru Campur
Debu (1982); Beberapa Teori Sastra, Metode Kreitik dan Penerapannya (1995).
F. Angkatan
Kontemporer
1.
Periode Angkatan 70’an
a. Ikhwal Periode
70-an
Tahun
1960-an adalah tahun-tahun subur bagi kehidupan dunia perpuisian Indonesia.
Tahun 1963 sampai
1965 yang berjaya
adalah para penyair
anggota Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat). Karya Sastra
sekitar tahun 1966
lazim disebut angkatan
‘66. H.B. Jassin
menyebut bahwa pelopor angkatan
‘66 ini adalah
penyair-penyair demonstran, seperti
Taufiq Ismail, Goenawan Mohamad,
Mansur Samin, Slamet Kirnanto, dan sebagainya. Tahun 1976
muncul puisi-puisi Sutardji
Calzoum Bachri yang
menjadi cakrawala baru dalam
dunia perpuisian Indonesia. Berikut ini disajikan beberapa penyair dan
karyanya.
b.
Sastrawan
Angkatan 70-an dan Karyanya
1.
Goenawan
Mohamad
Lahir di
Batang, Jawa Tengah,
29 juli 1941.
Ia adalah tokoh
pejuang angkatan ‘66 dalam
bidang sastra budaya.
Memimpin majalah Tempo
sejak 1971 hingga
tahun 1998. Tahun 1972
mendapatkan Anugerah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia dan pada tahun
1973 ia
mengikuti Festival Penyair
Internasional di Rotterdam.
Ia banyak menulis
puisi dengan dasar dongeng-dongeng daerah
atau cerita wayang
disertai renungan kehidupan. Buku kumpulan puisinya adalah
Parikesit (1972), Potret Seorang Penyair Muda Sebagai Si Malin kundang
(1972), Interclude (1973),
Asmarandana (1995), dan
Misalkan Kita di Sarajevo (1998).
2.
Taufiq
Ismail
Lahir di
Bukit Tinggi, 25
Juni 1937. Dibesarkan
di Pekalongan, putra
seorang wartawan berdarah Minang. Ia merupakan dokter hewan lulusan IPB.
Ia juga dikenal sebagai dramawan terkenal di Bogor pada era 1960-an.
Taufiq Ismail dikenal
sebagai penyair puisi-puisi
demonstrasi. Ia sendiri
aktif dalam demonstrasi. Kumpulan
puisinya dibukukan dalam Tirani (1966) dan Benteng (1966). Pernah mengikuti
Festival Penyair Internasional di Rotterdam (1971), International Writing
Programm di Universitas Lowa (1973-1972), dan Kongres Penyair Dunia di
Taipei (1973). Ia pernah menerima Anugerah
Seni dari Pemerintah Republik Indonesia tahun 1970. Kumpulan puisinya yang lain
adalah Puisi-Puisi Sepi (1971), Pelabuhan, Ladang, Angin, dan Langit (1971),
dan Sajak-sajak Ladang Jagung (1975).
3.
Sapardi
Djoko Darmono
Puisi-puisi Sapardi
Djoko Damono dikenal
sebagai puisi “sangat
sopan”, “sangat gramatikal”, dan
“sangat lembut”. Semula sang penyair tidak pernah dikaitkan dengan
puisi-puisi protes atau
kritik sosial, namun
kesan itu hilang
setelah ia menulis
Ayat-ayat Api (2000). Meskipun
ada kesan bahwa
puisi-puisi Sapardi adalah
puisi-puisi kamar yang
harus dibaca dalam keadaan
sunyi, namun banyak
juga puisi-puisinya yang
sangat populer dan dideklamasikan dalam
lomba-lomba deklamasi serta
dapat dikategorikan sebagai
puisi auditorium (cocok untuk dibaca di pentas). Kepenyairan Sapardi
membentang sejak tahun
1960-an hingga saat
ini. Kumpulan puisinya terakhir
berjudul Ayat-ayat Api. Kepenyairannya tidak mengganggu penjelajahannya
dalam dunia ilmu
sastra, sampai beliau
menjadi pakar sastra,
Dekan Fakultas Sastra Universitas Indonesia, dan terakhir
sebagai anggota Komisi Disiplin Ilmu Sastra dan Filsafat, Dirjen Pendidikan
Tinggi Depdiknas. Kumpulan-kumpulan
puisinya adalah Dukamu
Abadi (1969), Mata
Pisau (1974), Akuarium (1974),
Perahu Kertas (1984),
Sihir Hujan (1989),
Hujan Bulan Juni
(1994) dan Ayat-ayat Api (2000).
4.
Hartoyo
Andang Jaya
Lahir di
Solo, 1930, dan
meninggal dunia di
kota itu pula
pada tahun 1990.
Pernah menjadi guru SLTP,
SMU, dan STM.
Ia pernah menjadi
direktur majalah kanak-kanak
Si Kuncung (1962-1964). Panggilan kepenyairanya sangat kental, sehingga
ia tidak mau bekerja di luar bidangnya
itu. Ia meninggal
dalam keadaan sakit-sakitan. Setahun
kemudian, hari kematiannya diperingati
di Taman Budaya
Surakarta (Solo) dan
Taman Ismail Marzuki (Jakarta). Karyanya antara
lain Simfoni Puisi
(bersama D.S. Moeljanto,
1945) dan Buku
Puisi (1973).
5.
Sutardji
Calzoum Bachri
Sutardji Calzoum
Bachri pernah menyatakan
diri sebagai “Presiden
Penyair Indonesia”. Pelopor penulisan
puisi konkret dan
mantra ini akhir-akhir
ini banyak terlibat dalam pembacaan puisi di sekolah
dalam rangka pembinaan apresiasi puisi. Ia
merintis bentuk baru
dalam perpuisian Indonesia,
uaitu puisi konkret
dan mantra, puisi itu
dikembalikan pada kodratnya
yang paling awal
yaitu sebagai kekuatan
bunyi yang tidak “dijajah”
oleh makna atau
pengertian. Sutardji lahir
di Rengat, Riau,
24 juni 1941.
Ia pernah mendapat Hadiah
Seni dari Pemerintah
Republik Indonesia (1993)
dan dari Dewan Kesenian Jakarta
(1976-1977) juga dari
South East Asia
Write Award (Bangkok,
1981). Kumpulan puisinya berjudul O, Amuk Kapak (1981). Selain itu,
kritik sastranya dilontarkan dalam masalah penulisan terkenal dengan nama kredo
puisi.
6.
Abdul
Hadi W.M.
Abdul
Hadi Wiji Muntari lahir di sumenep pada tanggal 24 juni tahun 1944, ia pernah
kuliah di Fakultas Sastra UGM hingga Sarjana Muda (1967), Fakultas Filsafat UGM
(1968-1971) dan Universitas Padjajaran (1971-1973), dia pernah tinggal di pulau
penang. Selain itu, dia bekerja sambil belajar di Universitas Sains Malaysia
sejak tahun 1991. Kumpulan puisinya Riwayat
(1967), Laut Belum
Pasang (1972), Potret Panjang Seorang Pengunjung Pantai
Sanur (1975), Meditasi (1976),
Tergantung pada Angin (1977) dan Anak Laut Anak Angin (1984).
7.
Yudhistira
Adhi Nugraha Massardi
Lahir
di Subang, Jawa Barat, 28 Februari 1954. Novelnya yang terkenal yaitu Arjuna Mencari Cinta
(1977) dan Dingdong
(1978). Sementara itu
kumpulan puisinya dibukukan dalam Omong Kosong (1978), Sajak
Sikat Gigi (1978), Rudi Jalak Gugat (1982). Puisi-puisinya mirip
dengan puisi mbling,
yaitu puisi yang
keluar dari pakem penulisan puisi
yang harus memperhatikan
rima, bunyi, verifikasi,
dan tipografi, tapi
bukan berarti bahwa puisinya dibuat dengan main-main atau tanpa
kesungguhan.
8.
Apip
Mustopa
Lahir
di Garut, 23 April 1938. Terakhir bekerja sebagai pengasuh ruang sastra budaya
RRI Manokwari (1969-1970).
Karyanya ditulis dalam
bahasa Indonesia dan
Sunda. Puisi-puisinya juga dimuat
dalam antologi sastra karya Ajip Rosidi Laut Biru Langit Biru.
9.
D.
Zawami Imron
Lahir di
Sumenep, Madura dan
memperoleh pendidikan di
lingkungan pesantren. Ia pernah
mendapat Hadiah Penulisan
Puisi dari Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan (1985). Buku
kumpulan puisinya adalah
Semerbak Mayang (1977),
Bulan Tertusuk Larang (1980), Nenek Moyangku Air Mata
(1985), Cerulit Emas (1986), Bantalku Ombak, Selimutku Angin (1996), Semerbak
Mayang (1997), dan Madura Aku Darah-Mu (1999).
2.
Periode
Angkatan 2000 atau Reformasi
a.
Sejarah
Angkatan Reformasi
Seiring
terjadinya pergeseran kekuasaan politik dari tangan Soeharto ke B.J. Habibie
lalu K.H. Abdurahman
Wahid (Gus Dur)
dan Megawati Soekarno
Putri, muncul wacana tentang sastrawan reformasi. Munculnya
angkatan ini ditandai dengan maraknya karya-karya sastra puisi,
cerpen maupun novel,
yang bertemakan sosial-politik, khususnya
seputar reformasi. Di rubrik sastra Harian Republika misalnya, selama
berbulan-bulan dibuka rubrik sajak-sajak peduli bangsa atau sajak-sajak reformasi.
Berbagai pentas pembacaaan sajak dan penerbitan buku antologi puisi juga
didominasi sajak-sajak bertema sosial-politik. Sastrawan reformasi merefleksikan
keadaan sosial dan
politik yang terjadi
pada akhir 1990-an,
seiring dengan jatuhnya Orde
Baru. Peristiwa reformasi
1998 banyak melatar
belakangi kelahiran
karya-karya sastra seperti
puisi, cerpen, dan
novel. Bahkan, penyair
yang semula jauh
dari tema sosial-politik, seperti Sutardji Calzoum Bachri, Acep Zamzam
Noer dan Ahmadun Yosi Herfanda, juga ikut meramaikan suasana itu dengan
sajak-sajak sosial-politik mereka.
b.
Ciri-ciri Periode 2000
1.
Isi karya sastra sesuai situasi
reformasi;
2.
Bertema sosial-politik, romantik,
naturalis;
3.
Produktivitas karya sastra lebih marak
lagi, seperti puisi, cerpen, novel;
4.
Disebut angkatan reformasi;
5.
Tahun 1998 merupakan puncak dari
angkatan 90-an;
6.
Banyak
munculnya sastrawan baru
yang membawa angin
baru dalam kesusastraan Indonesia,
contohnya Ayu Utami
yang muncul di
akhir 90-an dengan karyanya
Saman, sebuah fragmen
dari cerita Laila
Tak Mampir di New
York.
7.
Tema sosial-politik, romantik, masih
mewarnai tema karya sastra;
8.
Banyak muncul kaum perempuan;
9.
Disebut angkatan modern;
10.
Karya
sastra lebih marak
lagi, termasuk adanya
sastra koran, contohnya
dalam H.U. Pikiran Rakyat;
11.
Adanya sastra bertema gender,
perkelaminan, seks, feminisme;
12.
Banyak muncul karya populer atau gampang
dicerna, dipahami pembaca;
13.
Adanya sastra religi;
14.
Muncul cyber sastra di Internet.
c.
Sastrawan Angkatan 2000 dan Karyanya
1.
Ahmadun
Yosi Herfanda
Lahir
di Kaliwungu, Kendal, 17 Januari 1958. Pendidikan:
Alumnus FPBS IKIP Yogyakarta menyelesaikan S2 di jurusan Magister Teknologi Informasi
pada Univ. Paramadina Mulia, Jakarta, 2005.
Ia pernah menjadi
Ketua III Himpunan
Sarjana Kesastraan Indonesia
( 1993-1995) dan Ketua Presidium Komunitas Sastra
Indonesia (1999-2002), Tahun 2003, bersama cerpenis Hudan Hidayat
dan Maman S.
Mahayana menerbitkan Creative
Writing Institute. Ahmadun Pernah
menjadi Anggota Dewan
Penasihat Majelis penulis
Forum Lingkar Pena. Contoh karyanya: Resonasi Indonesia
2.
Acep
Zamzam Noer
Lahir
di Tasik pada tanggal 28 Februari 1960.
Pendidikan: Alumnus Seni Rupa ITB dan Universitas Italia Stranieri,
Italia. Kumpulan Puisinya:
1. Tamparlah
Mukaku, 1982
2. Aku
Kini Doa, 1986
3. Antologi
Pesta Sastra, 1987
4. Kasidah
Sunyi, 1989
5. Ketika
Kata Ketika Warna, 1995
6. Kota
Hujan, 1996
7. Di
Luar Kota, 1997
8. Di
Atas Umbria, 1999
3.
Justina
Ayu Utami
Lahir
di Bogor, 21 November 1968. Pendidikan:
Fak. Sastra UI. Ia pernah
menjadi wartawan di
majalah Humor, Matra,
Forum Keadilan. Tak lama
setelah penutupan Tempo,
Editor dan Detik
di masa Orde
Baru, dia ikut mendirikan Aliansi
Jurnalis Independen yang
memprotes pembredelan. Kini
ia bekerja di jurnal
kebudayaan Kalam dan
di Teater Utan
Kayu. Novelnya yang pertama
yaitu Saman, mendapatkan
sambutan dari berbagai
kritikus karena gaya penulisan Ayu
yang terbuka bahkan
terkesan vulgar, inilah
yang membuatnya menonjol dari
pengarang-pengarang lainnya. Selain itu, Saman meraih sayembara penulisan novel
Dewan Kesenia Jakarta 1998, berkat novel itu juga Ayu mendapat Prince Claus
Award 2000 dari Frince Claus Fund, sebuah yayasan yang bermarkas di Den Haag
Belanda. Ayu Utami
dalam novel Saman
berhasil menciptakan representasi seksualitas. “mengarang bagi
saya adalah kesedihan, melibatkan, meleburkan diri dan menerima
kemungkinan yang tak
direncanakan.”
4.
Dorotea
Rosa Herliany
Lahir
di Magelang, 20 Oktober 1963 Pendidikan:
FPBS IKIP Sanata
Dharma, Yogyakarta, Jurusan
Sastra Indonesia (1987). Ia
mendirikan Forum Situs Kata dan menerbitkan berkala budaya Kolong Budaya. Kini
ia mengelola penerbit
Tera di Magelang,
juga ia mendirikan Indonesia Tera,
sebuah kelompok belajar
kebudayaan dan masyarakat,
lembaga swadaya non-profit yang
bekerja dalam lapangan
penelitan, penerbitan, dan pengembangan jaringan informasi untuk
pendidikan dan kebudayaan masyarakat. Ia
menulis sajak dan cerpen. Kumpulan
sajaknya: Nyanyian Gaduh
(1987), Matahari yang Mengalir (1990), Kepompong Sunyi (1993), Nikah
Ilalang (1995), Mimpi Gugur Daun
Zaitun (1999), Kill
the Radio (2001).
Kumpulan cerpennya: Blencong
(1995), Karikatur dan Sepotong Cinta (1996).
5.
Afrizal
Malna
Lahir
di Jakarta, 7 Juni 1957 Pernah mengikuti Poetry International Rotterdam (1996)
Kumpulan puisinya: Abad yang Berlari (1984), Yang Terdiam dalam Microfon
(1990), Kalung dari Teman (1999), Anjing
Menyerbu Kuburan (1996).
6.
Sony
Farid Maulana
Lahir
di Tasikmalaya, 19 Februari 1962. Pendidikan: Jurusan
Teater Akademi Seni
Tari Indonesia (1986).
Semasa kuliah sudah menulis
puisi yang bertemakan
sosial, politik, agama,
kesunyian, dan kesepian. Sekarang
menulis puisi, prosa,
esai, dan laporan
jurnalistik di HU Pikiran Rakyat Bandung. Puisi-puisinya
dibukukan dalam Variasi Parijs Van Java (2004), Tepi Waktu Tepi Salju (2004), Selepas
Kata (2004), Secangkir Teh (2005), Sehampar
Kabut (2006), Angsana
(2007). Buku Sehampar
Kabut masuk dalam lima besar Khatulistiwa Literary Award
2005-2006.
7.
Nenden
Lilis
Lahir
di Garut, 26 September 1971 Kumpulan puisi tunggalnya Negeri Sihir (1999),
kumpulan cerpen Dua Tengkorak Kepala
(2000). Pernah membaca puisi di Poetry Festival Belanda (1999).
8.
Seno
Gumira Ajidarma
Ayahnya
Prof. Dr. M.S.A. Sastroamidjojo Pendidikan: IKJ Jurusan Sinematografi Mengikuti
teater alam pimpinan Azwar A. N. Beberapa puisinya pernah dimuat di
Horizon. Kemudian ia
menulis cerpen antara
lain: “Manusia Kamar”
(1988), “Penembak Misterius” (1993),
“Saksi Mata” (1994),
“Dilarang Menyanyi di Kamar
Mandi” (1995). Novelnya
Matinya Seorang Penari
Telanjang (2000). Pada tahun 1987
ia mendapat Sea Write Award. Berkat cerpennya “Saksi Mata” ia mendapat Dinny
O’Hearn Prize for Literary (1997).
9.
Dewi
Lestari ( Dewi Dee )
Lahir
di Bandung, 20 januari 1976. Ayah, Ibu:
Yohan Simanungsong-Turlan Siagian. Pendidikan:
Univ. Parahyangan dengan gelar sarjana politik.
Ketiga novelnya yaitu
Ksatria, Putri, dan
Bintang Jatuh; Akar; dan
Petir mendapat nominasi Khatulistiwa Literary Award tahun 2002 dan 2003.
follow me
BalasHapusmakasih sob,
BalasHapussedang puyeng nih, ada tugas sastrayang hasrus dikerjakan,
sangat membantu sekali1
Ini sumbernya darimana ya?
BalasHapus